Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ilusi
Pagi itu mereka meninggalkan Venice dengan kereta cepat menuju Florence. Langit biru membentang bersih, hanya dihiasi awan tipis yang bergerak perlahan. Dari balik jendela, hamparan pedesaan Italia yang subur terbentang, seolah sengaja menyambut kedatangan mereka.
Esok harinya, setelah sarapan dengan roti hangat dan kopi hitam khas Italia, Rendra mengajak Dinda keluar. Florence terasa hidup di setiap langkah. Jalanan berbatu, suara lonceng gereja, dan deretan bangunan bergaya Renaissance menyambut mereka.
Rendra membiarkan Dinda berjalan di depannya. Memberinya ruang untuk menikmati suasana dengan bebas. Hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah galeri, di mana karya-karya seni dunia berdiri menyambut. Sesekali ia menjelaskan detail-detail lukisan atau patung yang ada di sana.
Mereka berhenti di sebuah kapel kecil yang agak sepi. Di dindingnya terbentang lukisan besar berjudul The Tribute Money, karya Masaccio. Warna-warnanya memang sudah pudar dimakan waktu, tapi sosok-sosok di dalamnya masih tampak hidup. Barisan murid Yesus digambarkan sedang berdiskusi, sementara latar belakang pegunungan tampak nyata seolah bisa dijejaki.
Rendra mendekat, suaranya rendahnya menggema di telinga Dinda, "Coba lihat perspektifnya. Dulu, teknik seperti ini dianggap revolusioner, karena seniman mulai menghitung jarak dan cahaya secara matematis. Itu sebabnya lukisannya terasa hidup, seolah ruangnya nyata."
Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Masaccio termasuk pelopor. Sebelum dia, kebanyakan lukisan datar. Tapi lihat ini..." ia menunjuk pada detail wajah-wajah murid Yesus yang berbeda satu sama lain, kemudian pada bayangan yang jatuh di tanah, "...bayangan, cahaya, bahkan ekspresi wajah, semuanya diatur seperti dunia yang benar-benar ada."
Dinda menarik napas, kagum. Untuk pertama kalinya ia merasa sedang menatap bukan sekadar lukisan, melainkan jendela menuju masa lalu, ketika seni mulai bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.
Setelah puas berlama-lama di kapel, mereka melanjutkan langkah ke Galleria dell'Accademia. Di ujung lorong panjang yang diterangi cahaya alami dari kubah kaca, berdirilah sosok marmer putih setinggi lebih dari lima meter. Dia David.
Patung itu begitu monumental hingga membuat setiap langkah terasa lebih lambat. Dari kejauhan, tubuh David tampak sempurna. Proporsi wajah, dada, lengan, dan kaki terukir dengan presisi yang hampir mustahil. Tapi semakin dekat, semakin jelas bahwa detail kecilnya justru yang membuatnya hidup. Urat di tangan yang menegang, otot leher yang terlihat kencang, bahkan tatapan mata yang penuh kewaspadaan.
Dinda mendongak, ia terpesona.
Rendra berdiri di sampingnya, tangannya menyelip di saku, suaranya datar tapi mengandung kekaguman yang tak ia sembunyikan. "Kamu lihat cara Michelangelo menangkap momen ini? David bukan digambarkan setelah mengalahkan Goliath, tapi tepat sebelum melempar batu. Tegang, penuh konsentrasi, tapi tenang. Itulah kenapa patung ini terasa hidup. Karena dia menangkap detik yang menentukan."
Ia melirik ke arah wajah David, lalu kembali ke Dinda, "Lihat juga proporsinya. Kepala dan tangannya sengaja dibuat lebih besar. Itu bukan kesalahan, tapi trik supaya dari bawah, dari sudut pandang manusia seperti kita, sosok ini kelihatan sempurna."
Dinda meneguk pelan, matanya tak lepas dari patung itu. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Bukan hanya keindahan bentuk, tapi energi yang terpancar, seolah marmer dingin itu menyimpan denyut kehidupan.
Tapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat ia terpana. Sosok di sebelahnya tak kalah mengagumkan. Di balik sorot matanya yang tajam, ternyata ada kecerdasan dan wawasan luar biasa yang tersimpan. Seolah setiap karya seni, setiap sejarah, bisa ia uraikan dengan begitu mudah. Kini semua prestasinya di Wikipedia tampak masuk akal.
Patung David berdiri megah di hadapannya, dan Dinda mendapati dirinya menatap Rendra dengan cara yang sama. Ia mabuk kepayang. Hampir saja ia meraih Rendra untuk menciumnya, tapi kehadiran Heru di dekat mereka menahan langkahnya.
Kekagumannya pada Rendra nyata, tapi sekaligus membawa bahaya yang samar. Ia sadar bahwa dirinya mulai terpesona oleh penampilan luar pria itu, bukan oleh kualitas yang membentuk kepribadian utuhnya. Sama seperti David, Rendra yang penuh cela terlihat sempurna dari sudut pandang tertentu. Dinda sadar bahwa mungkin itu ilusi, tapi ia tetap terpikat.
...***...
Hari berikutnya perjalanan berlanjut ke Roma. Di sana, mereka menginap di sebuah hotel butik di dekat Spanish Steps. Rendra tampaknya sengaja memilih tempat-tempat yang tidak terlalu ramai untuk menjaga privasi mereka.
Pagi itu, Dinda terbangun oleh suara gemuruh di kejauhan. Rendra sudah tidak ada di sampingnya. Ia menemukan pria itu sedang menelepon seseorang di balkon. Tangan kiri menggenggam ponsel, tangan kanan memegang rokok yang sesekali ia hisap. Bahu pria itu tegap, dagu sedikit terangkat, dan suaranya tegas. Entah apa yang sedang ia bicarakan dengan orang yang ada di telepon, tapi ia jadi tampak seperti orang yang berbeda.
Tak lama kemudian, Rendra masuk dan melihat Dinda sudah terjaga. Ekspresinya berubah seketika. Ia tersenyum samar sambil membuang putung rokok di asbak dekat pintu. Lalu langkahnya mendekat dan merangkak naik ke atas ranjang. Perlahan bibirnya menyentuh bibir Dinda dengan lembut.
"Pagi, sayang." ucapnya dengan suara hangat, napasnya masih beraroma rokok.
"Pagi." Dinda tersenyum.
"Ayo mandi. Ada banyak tempat bagus di Roma." Dia mundur sedikit dan duduk bersila di hadapan Dinda.
"Boleh hari ini kita pergi tanpa Heru?" Tanya Dinda ragu. Ia tidak nyaman ada orang lain di sekitar mereka. Merasa terganggu karena diawasi sepanjang perjalanan dari jarak sedekat itu.
"Kenapa?"
"Aku mau kita pergi berdua."
Rendra berpikir sejenak, lalu kemudian menyetujuinya.
"Oke. Kita pergi tanpa Heru." Ia mengecup pipi Dinda kemudian bertanya, "Kamu bisa selesai sebelum jam sembilan?"
"Ya." Dinda mengangguk.
---
Beberapa jam kemudian, mereka berjalan menyusuri Colosseum, Forum Romawi, hingga melempar koin di Trevi Fountain. Dinda sempat melirik Rendra, pria itu mengulum senyum saat Dinda meniru gaya turis lain yang melempar koin sambil memejamkan mata.
Setelah itu, mereka singgah di sebuah butik mewah di Via Condotti.
"Pilih apapun yang kamu suka," kata Rendra sambil menoleh padanya.
Dinda sempat ragu, tapi Rendra mendekat, berbisik di telinganya, "Ini hadiah untuk istriku."
Wajah Dinda pun memanas, ia salah tingkah. Ini pertama kalinya Rendra menyebutnya 'istri'.
Dinda asyik melihat-lihat koleksi gaun yang dipajang, sementara Rendra menunggu di sofa sambil memainkan ponselnya. Kemudian seorang pria bule bertubuh tinggi dengan rambut pirang menghampirinya. Senyuman pria itu lebar dan terlalu percaya diri.
"Beautiful." ucapnya. Mata pria itu melirik gaun yang ada ditangan Dinda, lalu beralih menatap wajahnya.
"Yes, the fabric is really nice." jawab Dinda sambil tersenyum.
"Not the dress." balas pria itu cepat, matanya menelusuri tubuh Dinda tanpa malu, "Your eyes. As beautiful as the Roman sky at sunset."
Dinda menahan dirinya untuk tidak mendengus. Tatapan mata itu sangat kurang ajar. Dan rayuan norak macam apa itu? Mungkin pria ini datang dari tahun 70'an. Ia menunduk dan berpura-pura sibuk, "Thank you." balasnya singkat.
"My name is Marco." lanjut pria itu, mengulurkan tangan, "If you need a more personal guide, I can show you places you'll never find in any tourist book."
Dinda mundur selangkah, memilih berpindah ke sisi lain butik untuk menghindar. Namun Marco masih mengikutinya.
"You're so pretty. Where are you from? Japan? China?" tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Dinda hendak menolak dengan sopan, tapi sebuah suara dingin memotong tajam dari belakang.
"May I ask what your business is with my wife?" tanya Rendra, berdiri di antara Dinda dan Marco. Wajah Rendra terlihat tegang, matanya menatap tajam ke arah pria bule itu.
Marco sedikit terkejut, namun segera mengendalikan diri, "Oh, nothing. I was just admiring her beauty."
"She's not here for your gaze. I suggest you leave while I'm still being polite." Suara Rendra rendah, namun tajam.
Marco tertawa kecil, mencoba menyepelekan, "Hey, easy there, man. I'm just joking. There's nothing wrong with giving a compliment."
"Mas, udah biarin aja." Dinda menyentuh lengan Rendra, ia mulai gelisah. Ini bisa saja jadi serius.
Tapi Rendra malah melangkah maju mendekati tubuh Marco, "If your intention was just a compliment, you should've stopped after the first sentence." balas Rendra dingin. Matanya tajam, rahangnya mengeras, "Now, step back, or I'll make you."
Keheningan sejenak tercipta, membuat udara di butik mendadak berat. Marco menyadari situasi memanas. Dengan senyum kecut, ia mengangkat bahunya dan berjalan menjauh, tapi matanya masih sempat melirik Dinda sebelum benar-benar keluar dari butik.
Rendra meraih pinggang Dinda, menariknya lebih dekat sambil mendesis marah, "Bajingan itu kira dia bisa ganggu kamu di depan mataku?"
Bagi Dinda, momen itu menyisakan campuran rasa. Ia lega karena terbebas dari situasi yang tidak menyenangkan, tapi juga sadar pada tekanan lain yang hadir. Genggaman Rendra sepertinya bukan sekadar proteksi, melainkan penegasan kepemilikan. Ada garis tipis yang membedakan sikap protektif dengan posesif, dan ia tidak yakin Rendra berdiri di sisi yang mana.
...***...
Pagi berikutnya, bukannya mengajak Dinda berjalan-jalan ke Villa Doria Pamphilj sesuai rencana, Rendra justru membawa kabar berbeda. Mereka masih berada di lobi hotel saat itu.
"Kita pergi ke Selatan hari ini." Rendra tersenyum, lalu meraih tangan Dinda.
"Ke mana?" tanya Dinda heran.
"Amalfi Coast. Aku mau kamu lihat laut Italia."
Dinda agak terkejut, tapi juga penasaran. Ia tak menduga Rendra merencanakan sesuatu di luar jadwal mereka.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di Napoli, lalu berlayar dengan express cruiser menuju pesisir Amalfi. Birunya Laut Tyrrhenia terhampar luas, berkilau diterpa matahari sore. Angin laut menyapu lembut wajah Dinda, membuat rambutnya menari di udara. Ia berdiri di dek samping Rendra, menyaksikan garis tebing dramatis yang mulai tampak dari kejauhan. Matahari perlahan turun, menciptakan semburat oranye dan merah di cakrawala.
Hanya ada mereka berdua di sana. Rendra setengah berdiri di belakang kemudi. Rambut dan kemejanya sudah acak-acakan diterpa angin,
posturnya tegap, tangannya mantap di setir kapal, seolah ia sedang mengendalikan dunia.
Dinda memerhatikannya dari sisi dek, duduk tanpa suara. Rasanya tak nyata. Ia baru saja menikah, dan sekarang suaminya yang sangat tampan sedang mengemudikan yacht seperti tokoh fiksi.
"Kamu lagi menikmati pemandangan?" Suara Rendra memecah keheningan, nadanya dalam dan sedikit nakal. Dia tau sedang ditatap.
Dinda tersenyum, "Ya."
Rendra menghentikan kemudi, lalu berjalan pelan ke arahnya. Langkahnya pasti dan mata hazel pria itu terkunci padanya. Di bawah cahaya matahari yang hampir terbenam, wajah Rendra terlihat lebih tajam, lebih memikat, dan lebih berbahaya.
"Ayo sini." katanya lembut, menarik tangan Dinda, membawanya ke bagian belakang dek.
Mereka tiba di area berjemur terbuka. Matras tebal membentang di sana.
Rendra duduk lalu menarik Dinda ke pangkuannya. Tangannya melingkari pinggang Dinda, kemudian mencium bahunya yang telanjang.
"Kamu cantik pakai baju ini." Gumamnya, "Tapi aku lebih suka kalau dilepas."
Awalnya Dinda kira dia bercanda. Tapi saat tangannya berusaha melepas tali gaun Dinda yang terikat di leher, ia tau Rendra serius.
Dinda menahan napas. Jantungnya berdebar, "Di sini?" bisiknya.
Rendra menyeringai, "Ya. Nggak ada orang lain selain kita."
Bahkan ada kamar nyaman di bawah. Bagaimana bisa dia memintanya melakukan itu di ruang terbuka seperti ini? Dia sepertinya sedang menguji seberapa jauh Dinda bersedia menyerah pada keinginannya.
Beberapa hari menjadi istri Rendra, membuat Dinda mulai menyadari hal-hal baru. Tidak mudah menebak isi kepalanya. Contohnya ide gilanya saat ini. Sikapnya juga penuh kontradiksi.
Dia adalah pria yang lembut, tapi dominan. Tenang, tapi penuh kejutan. Matahari terbenam dan yacht, ini seperti strateginya untuk membuat Dinda tunduk. Bersamanya, kedekatan emosional sepertinya bukan proses yang benar-benar alami, tapi hasil dari strategi pendekatan berulang yang terencana. Dan Dinda tidak yakin, apakah itu niat jahat atau memang caranya hidup.
Tapi yang jelas Dinda sadar bahwa pola ini tidak wajar. Sulit sekali membedakan ketulusan dan manipulasinya. Namun sekeras apapun Dinda berusaha menolak pesona Rendra dengan pikiran rasional, ia selalu kalah. Pria ini sangat tau cara memanfaatkan daya pikatnya.
...***...