NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:153.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6. Mahar Harga Diri

“Maaf,” suara penghulu memecah sunyi. “Mas kawinnya apa, Saudara Kian?”

Kian tercekat.

Pertanyaan sederhana—tapi di telinganya terdengar seperti dentuman meriam.

Tangannya perlahan merogoh dompet. Hampa. Tak ada niat. Tak ada persiapan

Yang ia temukan hanya beberapa lembar rupiah, selembar dolar, dan… secuil harga diri yang masih terselip.

Ia keluarkan semua—berantakan, terburu-buru. Jemarinya gemetar. Wajahnya datar, tapi matanya mulai meredup.

Pria yang biasa menggenggam proyek miliaran, kini terpaksa menggenggam lembaran uang lusuh di hadapan saksi.

Fikri, yang duduk tak jauh darinya, buru-buru maju. Ia mencoba menyelamatkan situasi dengan menyusun dan menghitung cepat.

“Seratus dolar... satu lembar. Seratus ribu... satu. Lima puluh ribu... satu. Sepuluh ribu empat lembar. Lima ribuan satu...”

Fikri berhenti. Lirikannya singkat, menuju Kian.

Yang dimaksud hanya menunduk—senyum tipis di bibirnya, tapi bukan senyum yang seharusnya.

Lebih mirip retakan kecil di antara reruntuhan harga diri.

Fikri kembali bersuara pelan, “Total uang tunai sejumlah satu juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah…”

Keheningan menyusul. Tajam. Telak.

Penghulu menatapnya.

Kanya menunduk, tangannya menggenggam selimut erat di pangkuan.

"Mas kawin?

Dia... bahkan tak menyiapkannya?

Lucu sekali. Ini akad, bukan rapat. Tapi dia datang seolah hanya untuk membaca laporan, bukan mengikat janji hidup.

Haruskah aku tertawa? Atau menangis?

Apa ini pertanda buruk? Atau hanya bukti bahwa aku bukan tujuan... hanya alat transaksi?

Ayah... kau yakin menitipkanku pada pria ini? Pada seseorang yang lupa bahkan hal paling dasar dalam pernikahan?

Kepalaku menunduk. Bukan karena malu, tapi karena hatiku goyah.

Aku... pengantin yang bahkan mas kawinnya harus diimprovisasi."

Dan Kian... hanya bisa berharap lantai menelannya saat itu juga.

Para perawat dan saksi saling melirik. Nilainya bahkan lebih kecil dari harga tas tangan langganan istri CEO.

Tak ada yang berkomentar. Tapi justru diam itu seperti palu godam yang menghantam batin Kian.

Dan itu belum berakhir.

Kian menarik napas dalam-dalam. Dadanya naik turun.

Kesal. Jengah. Dan... kalah.

Tanpa sepatah kata, ia menatap jam di pergelangan tangannya: Rolex GMT‑Master II Ice—model platinum bertabur berlian, salah satu seri paling eksklusif di dunia.

Harganya?

Sekitar US$485.000—setara dengan Rp7,2 miliar.

Sebuah simbol prestise. Kekuasaan. Gengsi.

Dan hari ini… ia lepaskan.

"Jam ini… sebanding dengan sebuah Lamborghini Aventador baru.

Atau tiga unit Alphard full-spec sekaligus.

Bahkan bisa beli sembilan unit Pajero Dakar tanpa mikir cicilan.

Dan seiring waktu, nilainya akan terus melejit—karena semakin langka dan dicari para kolektor.

Tapi hari ini? Aku serahkan ini sebagai mahar.

Demi akad yang bahkan belum tentu berumur panjang. Gila."

Perlahan, Kian membuka tangkai jam itu—lambang status yang selama ini ia banggakan dalam setiap rapat, konferensi, dan wawancara.

Dalam hati ia kembali menggumam:

“Ini bukan sekadar transaksi mas kawin. Ini… pelepasan simbol kekuasaan. Karena aku sedang dijebak dalam perangkap hidup.”

Tanpa menoleh, ia letakkan di atas meja kecil di depan penghulu—seolah menyerahkan sisa terakhir harga dirinya di hadapan semua yang hadir.

“Tambahkan,” ucapnya datar. “Itu jam saya.”

Datar—tapi getir.

Kian menunduk.

Dalam hatinya, sumpah serapah mulai berseliweran:

“Shit… memalukan. Seumur hidup, ini kali pertama aku merasa... kerdil.

Ini bukan akad. Ini penghukuman. Di depan penghulu, suster, dokter, saksi, bahkan perempuan bercadar yang akan kupanggil istri—aku seperti badut dalam drama keluarga.

Sial, Pak Hasan… Ini cara elegan Anda mempermalukan saya, ya?”

Ruangan kembali hening.

Bahkan suara tetesan infus pun terdengar seperti peringatan—bahwa ini bukan permulaan yang indah, tapi semacam eksekusi perlahan.

“Baik. Akadnya kita mulai.”

Suara penghulu memecah keheningan. Tenang, dalam, dan bergema pelan di ruang yang sunyi.

Ia mulai membaca kalimat pembuka.

Sederhana. Sakral.

Namun terasa seperti gemuruh yang menandai akhir dari satu kehidupan... dan awal dari kehidupan yang lain.

Penghulu menatap Hasan dan Kian bergantian.

“Silakan saling menjabat tangan untuk ijab kabul. Dan Saudara Kian, mohon jawab dengan jelas dan tegas.”

Hasan mengulurkan tangan. Kian menyambutnya—dingin, nyaris tak bernyawa.

Entah karena suhu ruangan, atau karena ia mulai benar-benar menyadari:

ia sedang melangkah masuk ke perangkap yang tak bisa lagi dihindari.

Lalu...

Dengan suara lemah, tapi jernih dan penuh khidmat, Pak Hasan bersuara:

“Saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya, Kanya Zahira binti Hasan, dengan Saudara Kian Ardhana bin Keynan Sanjaya, dengan mas kawin satu juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah dan satu buah jam tangan Rolex, dibayar tunai.” Hasan menghentak jabatan tangannya—tegas, menyadarkan Kian agar segera menjawab sebelum akad itu dianggap batal.

Sesaat itu…

Semua menahan napas.

Kian menelan ludah.

Suara mesin infus terasa seperti detak bom waktu.

Kian menggigit bibir bawahnya.

Tangan kirinya mengepal di atas lutut—diam-diam menyalurkan gugup, amarah, dan… rasa kalah.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Wajahnya kosong.

Seperti pria yang tak tahu apakah ia akan masuk ke pelaminan... atau ke jurang.

“Ini dia.

Kalimat yang akan mengikatku selamanya.

Kalimat yang akan menjauhkan aku dari Friska… dan menyeretku ke jalan yang tak pernah kuinginkan.

Tapi ini juga jalan menuju tanah itu… dan kursi CEO yang selama ini kuincar.

Ayo. Katakan, Kian. Ini bukan waktunya untuk berpikir lagi. Kamu sudah di ambang. Jangan mundur dan jadi banci.”

Kian mendongak.

Tatapannya kosong.

Tapi bibirnya mulai bergerak—perlahan, nyaris tanpa getar.

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Kanya Zahira binti Hasan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

Hening.

Lalu, serempak, saksi bersuara lantang:

“Sah.”

Kanya membuka mata. Air matanya jatuh pelan di balik cadarnya—tanpa suara. Tak ada isak, tak ada tangis keras. Hanya sesak yang tak bisa diucapkan.

Semua orang di ruangan itu mengucap, “Alhamdulillah.”

Tapi di hati Kian...

“Sah.

Satu kata itu… seperti rantai yang melilit leherku sendiri.”

Ia memaksakan senyum. Menyalami penghulu. Lalu para saksi.

Menunduk dalam. Dalam sekali. Seolah menyembunyikan keraguan di balik ketenangan palsu.

“Satu langkah menuju warisan itu… tapi mengandaskan cintaku.”

Di atas ranjang, Kanya mencengkeram selimut erat-erat. Jemarinya gemetar.

“Aku sudah menikah… dengan pria yang bahkan tak aku kenal.

Dan... mungkin takkan pernah bisa kucintai.”

Suasana akad telah usai.

Satu per satu orang mulai pamit. Dokter, perawat, penghulu, pengacara, dan para saksi menyalami Kian dan Pak Hasan untuk terakhir kalinya.

Ucapan selamat, doa, dan sapaan sopan terdengar sekejap… lalu sirna ditelan keheningan.

Kini hanya mereka bertiga di ruangan itu.

Kanya masih di atas brankar. Kian duduk tegak di sisi tempat tidur. Dan Pak Hasan… bersandar lemah di kursi roda, napasnya makin pendek.

Wajahnya pucat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Tapi sorot matanya masih penuh kuasa seorang ayah.

Tanpa basa-basi, ia membuka suara.

“Aku ingin bicara,” ucapnya serak, tapi tegas.

Kian mengangguk dan mendekat. Ia duduk merunduk sedikit, mendekatkan telinga.

“Tolong…” Suara Pak Hasan berat. “Jangan minta hakmu dulu sebagai suami.”

Kian diam.

“Biarkan Kanya menyelesaikan sekolahnya. Satu semester lagi, setelah itu… terserah kamu ingin bawa dia ke rumahmu, ke keluargamu, ke mana pun. Tapi sekarang, jangan ganggu anakku dulu.”

Kian mengangguk sopan, suaranya tenang.

“Saya mengerti, Pak. Saya bukan orang sekejam itu.”

Baru ia hendak bicara lebih lanjut, suara lirih tapi tajam memotong.

"Aku juga punya syarat."

Kian menoleh cepat. Kanya masih duduk diam di atas ranjang. Cadarnya belum dilepas. Pakaian putihnya sederhana, tapi sorot matanya… tidak.

Tidak pasrah. Tidak takut. Tapi tajam, penuh tekad.

“Aku tidak akan menunjukkan wajahku padamu…” katanya, pelan namun jelas. “…dan aku tidak ingin disentuh sampai aku mencintaimu.”

Kian terdiam.

Kalimat itu dingin. Tapi menyisakan jejak panas di dalam dadanya—entah karena harga dirinya terusik, atau karena untuk pertama kalinya, perempuan itu menunjukkan nyalinya.

Tatapan mereka bertemu. Diam. Hening. Tegang.

Lalu Kian mengangguk pelan, sambil menarik senyum tipis.

“Baik,” jawabnya pendek.

Namun dalam hati…

“Sok mahal.

Paling juga sebentar lagi datang sendiri ke pelukanku.

Siapa sih yang bisa nolak pesona pria sepertiku?”

Ia berdehem pelan, lalu menoleh pada Pak Hasan.

“Pak, kami sudah menikah. Bahkan Bapak sudah mengikat saya dengan perjanjian itu. Mulai sekarang Kanya adalah tanggung jawab saya seumur hidup.”

Suaranya mulai mantap. “Jadi… tentang tanah itu—”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
love_me🧡
tanpa mereka sadari ada orang dibalik kamar mandi😀
love_me🧡
Friska belum pergi toh
Momz Haikal Sandhika
friska kenapa ga pulang aja sih,,, klo mau sekedar menunjukan rasa Terima kasih kan bisa dateng pagi atau siang nya ga mesti nginep dong,,,
tapi bagus deh akhir nya friska denger sendiri pengakuan kian tentang perasaan nya ke friska dan bagai mana perasaan nya ke kanya..
Dek Sri
lanjut
Siti Jumiati
Friska ketahuan kalau ada didalam kamar mandi
Cicih Sophiana
Friska knp gak pulang aja dari td malam... biar kamu ada jg Friska kan gak di anggap ada sama mereka... dari pada lebih sakit hati mending pulang istirahat...
Siti Jumiati
apakah Friska yang mengintip dibalik kamar mandi
Cicih Sophiana
Alhamdulillah Kian sdh sadar...
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Cicih Sophiana
semoga tdk membahayakan nyawa Kian...
phity
sdh kublng kan friska mestiny smlam kmu pamit sj sm kanya ini msh bertahan sja tp ad bagusnya si kmu tau yg sebenarnya...smoga itu menyadarkanmu
asih
hancur sudah lah hatinya friska ..niat .au mencari yg lebih baik Dari Kian ehh malah KTM sama yg kayak ngono kasian Kali kau fris
anonim
Looooo...Friska kenapa masih di rumah sakit - menginap pula.
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... Pokoknya Sampai Kanaya Hamil Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Puji Hastuti
Lanjut kk
Puji Hastuti
Friska ternyata kamu bukan rumah bagi kian /Grin/
septiana
Alhamdulillah... sekarang mereka sudah saling terbuka.. untuk Friska,jadikan ini semua sebagai pelajaran semoga kamu segera mendapatkan jodoh yg terbaik.
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
bukan juga .. alasannya akhlaknya Kanya..bukan kerana kecantikan isterinya semata-mata
Felycia R. Fernandez
setelah dihadang penjahat, setelah hampir meninggal...
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
Anitha Ramto
kasihan banget kamu Friska...dengar Pengakuan Kian pada Kanya yang sangat takut kehilangan Kanya,ternyata Kian hanya mengagumimu bukan mencintaimu,sekarang kamu dengar sendirikan kalo Kian dan Kanya saling nencintai dan mereka pasangan yang serasi,, Kanya ada apa yaaa sampe kaget begitu...

di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
far~Hidayu❤️😘🇵🇸: baguslah biarkanlah dia tahu yg benar supaya dia berhenti menjadi pelakor
total 1 replies
Liana CyNx Lutfi
Nahkan sdh saling terbuka dan sdh saling mencintai,friska belajarlah dr kanya soal kesabaran dan keikhlasan jngn krn sakit hati trs mencari pelarian carilah yg bnr2 tulus menerima
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!