Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 5
Lanjut 🔥
---
Kai tersenyum tipis.
Senyum orang yang paham, bukan orang yang terhibur.
“Len… gue udah lama kenal lo. Tapi kalimat barusan? Itu baru pertama kali gue dengar.”
Arlen menoleh, alis sedikit naik.
“Maksud lo?”
“Kebanyakan petarung bilang: *‘Gue akan lindungi orang yang gue sayang.’*”
Kai menepuk amplop di meja, lalu lanjut, suaranya rendah:
“Tapi lo beda. Lo gak cuma mau lindungi adek lo.”
“Lo mau bikin dunia yang mau nyakitin dia… takut duluan.”
Darren menyilangkan lengan, bergumam, “Itu bukan level kakak lagi. Itu level bos final.”
Regar mengangguk tanpa bercanda sedikit pun.
Arlen tak menanggapi. Tapi rahangnya mengeras.
---
### **Sementara itu — di balik pintu kamar Najla**
Najla bersandar di pintu begitu tertutup.
Napaknya dia pergi, tapi otaknya justru mulai *bekerja*.
*Council… undangan hitam… eksekusi… garis darah terakhir?*
“Garis darah my foot…” gumamnya kesal, tapi di ujung suara ada sedikit gemetar.
Dia berjalan ke meja, membuka laci, dan mengeluarkan barang yang selama ini dia sembunyikan:
Sebuah **pecahan pin logam** dengan simbol Arselion — yang dia pungut sendiri malam musuh menyerang rumah.
Symbol yang *semua orang di rumah pura-pura gak pernah liat*.
Najla memutarnya dengan jari.
“Kalau mereka mau gue juga…”
Matanya menyipit, dan untuk pertama kalinya… dia *tidak terlihat seperti adik yang harus diselamatkan.*
“…berarti permainan ini bukan cuma punya Abang doang.”
---
### Kembali ke dapur
Kai mendorong amplop sedikit ke depan Arlen.
“Council kasih lo 72 jam.”
“Untuk apa?” tanya Darren.
“Datang ke sidang. Bawa diri lo sendiri. Tanpa bala bantuan.”
Regar terkekeh hampa.
“Kalau dia datang sendirian, itu bukan sidang. Itu jagal ayam gaya bangsawan.”
Kai menatap blank.
“Siapa bilang Arlen ayam?”
Darren langsung nyengir. “Fair point.”
Tapi mata Kai kembali serius ke Arlen.
“Kalau lo nggak datang…”
Ia mengeluarkan satu foto dari saku.
Foto lama. Anak kecil dua orang. Yang laki-laki memeluk adiknya, wajahnya masih polos, kaos oblong, tangan lecet, tapi senyumnya protektif.
Najla kecil.
Arlen jauh lebih muda.
“Council akan anggap janji perlindungan lo ke garis darah terakhir… batal.”
Sunyi jatuh seperti palu godam.
Yang disinggung bukan ancaman kematian.
Tapi *janji Arlen sebagai kakak.*
Dan itu jauh lebih berbahaya.
---
Arlen meraih foto itu, menatapnya lama sekali.
Lalu tanpa emosi, ia berdiri.
“Gue dateng.”
Kai langsung bangkit, suaranya menekan:
“Lo gila? Lo tahu apa yang mereka mau dari lo!”
Arlen berjalan ke wastafel, mencuci tangannya perlahan, seperti orang yang sudah memutuskan nasib sebelum percakapan dimulai.
“Gue tahu.”
Regar berdiri. Darren juga.
“Bang, kalau lo pergi, kita pergi.” kata Regar.
“Paket hemat, gak bisa pisah-pisah.” tambah Darren.
Arlen menatap dua sahabat yang lebih mirip saudara itu, lalu sedikit menyeringai.
“Gue pergi sebagai kepala keluarga. Kalian bukan kepala keluarga. Kalian rombongan dramatis.”
Darren tersedak, tapi Regar cuma mendengus.
“Itu artinya?” tanya Regar.
Arlen menyambar jaketnya.
“Artinya kita tetap masuk bareng…”
Lalu dia menoleh, senyum setengah miring, setengah berbahaya:
“…tapi mereka harus sadar, mereka bukan sidang buat gue.”
“Mereka arena… yang lagi undang gue bertarung.”
Kai menarik napas.
“Lo bener-bener anak Arselion.”
“Ya.” jawab Arlen ringan.
“Tapi gue bukan pewaris aturan mereka.”
Langkahnya berhenti di depan pintu keluar, suara terakhirnya dingin:
“Gue pewaris kehancuran mereka.”
Klik.
Pintu tertutup.
---
Di dalam kamar, Najla mendengar semuanya.
Bukan lewat telinga.
Tapi lewat *insting keluarga yang sama berbahayanya.*
Dia berdiri, meraih jaket hoodie-nya, memakainya dengan tenang.
Kalimat terakhir Arlen terngiang:
*“Makanya sebelum dia masuk sendiri ke neraka… gue harus pastiin neraka itu duluan takut sama dia.”*
Najla menyeringai pelan.
“Oh abang…”
Lalu dia membuka jendela kamarnya, menatap dunia luar yang baru mulai terang.
“…neraka itu belum kenal gue aja.”
---