‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3 dan Series #4
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Harga Sebuah Nafas
...•••Selamat Membaca•••...
Malam turun di Jakarta. Lampu kamar Sofia menyala redup, hanya satu lampu meja di sudut ranjang yang memberi cahaya hangat samar, menyinari setumpuk berkas kuliah dan sepotong gaun pertunangan yang tergantung rapi di balik pintu. Tapi semua itu tak lagi indah di matanya.
Sofia duduk di tepi ranjang. Masih mengenakan gaun pastel dari siang tadi. Tangannya gemetar dan matanya sembab. Tak ada air mata tersisa, yang ada hanya dada naik-turun dengan cepat, seperti seseorang yang tenggelam dalam hidupnya sendiri.
Pintu diketuk sekali tanpa menunggu jawaban, pintu langsung dibuka.
Ayah Sofia masuk lebih dulu, mengenakan sarung dan kemeja putih lengan panjang, peci masih menempel di kepala. Ibunya menyusul pelan di belakang, hijabnya rapi, ekspresinya lebih rapi lagi, nyaris tanpa emosi.
Mereka berdiri di dalam kamar, menatap Sofia seolah gadis itu tak lebih dari kesalahan yang harus diperbaiki. Mereka bersikukuh bahwa apa yang mereka lakukan pada Sofia adalah sebuah kebaikan. Udara dalam ruangan menegang, padahal AC menyala.
“Sofia,” ucap ayahnya dengan nada lembut, tapi mengandung bias tajam. “Kamu tahu kenapa kami sangat kecewa hari ini?”
Sofia tidak menjawab. Hanya menunduk, menatap lantai marmer.
“Kamu mempermalukan kami,” lanjut ayahnya. “Kamu izinkan orang luar... orang Kristen itu menghina kami di rumah kami sendiri. Dia juga sudah membuka aib calon suami kamu, itu dosa besar Sofia. Membuka aib seseorang bukanlah suatu kebaikan. Allah akan murka dengan semua itu.”
Sofia menggigit bibirnya. Nafasnya mengeras, tapi ia belum cukup kuat untuk menantang. Apa yang dikatakan ayahnya tidak benar sama sekali.
“Kami mengangkat kamu dari Gaza. Kami rawat dan beri pendidikan terbaik. Tapi sekarang... kamu lupa daratan? Kau lupa siapa yang memberimu hidup?” suara ibunya meluncur tajam, tetap rendah namun menyayat seperti bisikan ular yang berbisa.
“Ibu, Ayah... aku bersyukur. Aku tahu semua yang sudah kalian lakukan...”
“Kalau kamu tahu,” potong sang ibu, “maka kamu tidak akan menolak rencana ini. Haidar bukan hanya pilihan kami. Dia jaminan. Agar hidupmu tetap terarah dan kami yang tahu mana yang baik untukmu.”
Sofia menarik napas panjang, dadanya sesak luar biasa.
“Ayah... Haidar mencium perempuan lain. Dia menyentuh... bahkan—”
“Kamu tidak tahu batas, Sofia!” sergah sang ayah. “Kami sudah pertimbangkan semuanya. Haidar memang keras tapi dia juga butuh istri yang bisa menjinakkannya. Dan kamu harus belajar untuk menunduk, menjalani. Bukan memberontak seperti ini.” Suara ayahnya yang kian meninggi membuat Sofia terdiam seribu bahasa.
Ibunya kembali menambahkan dengan nada lebih dingin, “ Kamu yang berutang budi pada kami Sofia. Sudah sepatutnya kamu menjadi penebus dari hubungan keluarga ini.”
“Penebus?” bisik Sofia nyaris tak terdengar.
“Ya. Dan kamu pikir kami tidak tahu? Keseharian kamu di Madrid seperti apa? Kamu kuliah di kedokteran dengan uang dari kami, tapi kamu lebih banyak sibuk berdandan dan main dengan Maula. Anak orang kaya yang tidak tahu batas. Sekarang dia datang mengobrak-abrik rencana kita. Dan kamu ikut-ikutan?” nada sang ibu semakin menggores.
Sofia menggertakkan gigi tapi tidak membalas. Selama bersama Maula, sama sekali dia tidak pernah berfoya-foya.
“Kamu berutang nyawa, Sofia. Hidupmu ini bukan milikmu sepenuhnya, milik Allah yang dititipkan pada kami. Jadi kami berhak untuk mengatur kamu.” Sofia tak bisa lagi menahan tangisnya, seakan agama ini justru mencekat dirinya. Padahal ajaran islam sesungguhnya bukan seperti ini.
...***...
Bel rumah berbunyi. Tak lama, ibu Sofia kembali masuk ke dalam kamar.
“Sofia, turun sebentar. Haidar ingin bicara.”
Baru saja Sofia hendak turun, pintu kamarnya terbuka lagi dan menampakkan sosok Haidar yang masuk tanpa izin ke dalam kamar Sofia, mengunci pintu itu dan spontan Sofia menjaga jarak.
“Kenapa kamu nyelonong masuk begini?” tegur Sofia.
“Kenapa? Kamu marah?” suaranya lembut, dibuat seolah masuk akal. “Kita ini sudah mau menikah, Sof. Kamu harus belajar lebih dewasa dan aku ini calon suami kamu.”
“Aku tahu, tapi tidak baik berduaan di dalam kamar begini.” Haidar mendekat dan Sofia menjauh.
“Orang tuamu saja mengizinkan.” Haidar meraih lengan Sofia dan mendorong tubuh Sofia ke dinding.
“Kamu pikir kamu bisa melawan aku? Kamu pikir kamu bisa keluar dari rencana ini hidup-hidup? Orang tua kamu butuh aku. Kamu juga. Semua butuh aku.”
“Kamu perempuan baik, Sof. Tapi perempuan baik yang keras kepala... harus dilatih dulu.” Ia menyentuh cermin meja rias, lalu menatap Sofia dari bayangan.
“Aku dengar kamu menangis hari ini. Aku suka itu. Artinya kamu belum mati rasa.”
“Keluar dari kamarku.” Haidar tersenyum. Tapi matanya tidak ikut tersenyum.
“Tenang. Islam melarang sentuhan sebelum akad, aku tahu itu. Tapi setelah itu... aku bebas menyentuh kamu sesuka hati. Mau kamu nangis, teriak, shalat tahajud tiap malam, itu tidak akan mengubah hakku atas kamu.”
Sofia menampar Haidar dengan kuat. Haidar menangkap pergelangan tangan Sofia dan mencengkeramnya.
“Jangan pernah pukul aku lagi. Tapi kalau kamu memang keras, aku tahu cara melunakkanmu.”
Haidar menarik Sofia dan membantingnya ke atas tempat tidur dengan kuat, Sofia merasa kepalanya teramat pusing karena kuatnya dorongan itu.
Haidar membuka baju yang dia pakai lalu melepaskan ikat pinggangnya, Sofia siaga untuk tidak disentuh tapi telat, Haidar lebih dulu menindih tubuhnya dan membuka hijab Sofia dengan paksa.
Sofia berteriak dan itu di dengar oleh kedua orang tuanya dan saudaranya yang lain, tapi mereka tidak peduli sama sekali.
Haidar menampar kuat pipi Sofia hingga gadis itu mengeluarkan darah segar dari hidung dan sudut bibirnya.
“Lepas, Haidar... kau tidak boleh melakukan ini padaku, aku tidak mau,” teriak Sofia sambil menangis ketika Haidar menciumi tubuhnya dengan liar.
“Persetan dengan dirimu, sebentar lagi kita akan menikah.” Haidar menarik baju Sofia hingga robek dan menampakkan tubuh Sofia yang sangat indah dan mulus.
Sofia menangis dengan kuat, ingin dia menutupi tubuhnya tapi kedua tangannya diikat oleh Haidar menggunakan dasi dan dinaikkan ke atas.
Tubuh Sofia telentang tak berdaya, Haidar terus membuka pakaian itu hingga menyisakan celana legging hitam panjang dan bra hitam. Sofia berteriak dan tak ada yang peduli.
Haidar membuka seluruh pakaiannya, seketika Sofia memejamkan mata karena tak ingin melihat Haidar begitu.
“Aku tidak mau kesucian yang kujaga selama ini direnggut oleh pria ini Ya Allah. Tolong selamatkan aku, aku tidak mau berzina begini.”
Sofia bahkan terus menjerit dan berdoa dalam hatinya. Bibirnya masih terus meraung dan berteriak, Haidar mulai menggerayangi tubuh Sofia yang putih mulus tanpa cacat itu, dia menciumi perut Sofia dengan liar, memainkan lidahnya di sana dan membuka kaki Sofia lebih lebar, menempatkan tubuhnya di tengah kaki itu.
“Berteriaklah sesuka hatimu, kau milikku sekarang, jalang kecil,” seru Haidar dengan senyum iblisnya.
“Cabut saja nyawaku, Ya Allah.”
...•••Bersambung•••...