Ini bukanlah tentang idol Kpop yang memerankan sebuah cerita. Bukan juga cerita fiksi yang berakhir dengan idola. Namun cerita ini terus mengalir bak realita. "Kalian yakin kita bisa nonton konser NCT dan ngelanjutin kuliah di Korea?" "Gue yakin kita bisa! Lagipula kita punya banyak waktu. Kita bisa nabung buat nonton konser. Dan belajar buat ajuin beasiswa ke Korea! Gak ada yang gak mungkin kalau kita mau berusaha!" ucap Yerika yang terus yakin akan mimpi mereka. Elina mengangguk. "Lagipula, kita juga gak bego-bego amat." Yerika tersenyum. "Mulai besok, kita harus giat belajar! Dan kita manfaatin untuk nabung dari sekarang!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Prepti ayu maharani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18 [1]
18 : 즉석 음식[Makanan Instan]
^^^Jangan terlalu keras pada diri sendiri, karena tidak apa-apa untuk melakukan sesuatu yang salah.^^^
^^^- Zhong Chenle^^^
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ayana berjalan memasuki apartemennya dan menatap pintu di hadapannya. Tangannya berusaha ingin mengetuk, namun kembali ia urungkan.
Ia menghela napas kasar lalu melangkah keluar mencari udara segar.
Ayana menatap ke arah langit. Matanya menerawang menatap langit malam yang di hiasi bintang yang berkelap-kelip.
Meskipun bintang itu terlihat ramai, rasa sepi kembali menyeruak pada dirinya. Ia kembali menghela napas kasar dan membalikan tubuhnya.
Ayana tersentak saat menyadari Vania sudah berada di hadapannya.
Ia melihat mata Vania yang sembab. Apakah Vania menangis karena mengkhawatirkannya?
Ayana menggeleng pelan, ia segera membuang pikiran tersebut. Lagipula ia tak peduli. Ayana akhirnya melangkah masuk melewati Vania yang tengah menatapnya dengan perasaan pilu.
"Ayana, akhirnya lo pulang," ucap Elina yang berpapasan dengan Ayana.
Ayana hanya mengangguk dengan ekspresi datarnya. Ia melangkah masuk meninggalkan kedua sahabatnya menuju kamar.
Elina dan Vania menatap punggung yang mulai menjauh dari pandangan.
"Ayana," lirih Vania yang menatap punggung Ayana.
Elina merangkul Vania dengan maksud menenangkan. Elina paham dan tahu betul kalau sahabatnya ini masih di hantui rasa bersalah.
"Gimana, El?" tanya Vania dengan suara parau.
Elina tersenyum. "Lo tenang aja, Ayana cuma butuh waktu."
Vania mengangguk dan berdoa semoga apa yang Elina ucapkan memang benar, kalau Ayana hanya membutuhkan waktu untuk memaafkannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Makan dulu Ay," ucap Vania yang melihat Ayana keluar dari kamarnya.
Ayana menggeleng tanpa menoleh dan melangkah menuju kamar mandi.
Vania menghela napas. Ia akan terus bersabar sampai mendapatkan hati sahabatnya kembali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
'Tok! Tok! Tok!'
"Masuk!" teriak Ayana.
Vania tersenyum dan memutar kenop pintu kamar Ayana. Ia berjalan masuk dan menghampiri Ayana yang tengah merebahkan tubuhnya di kasur.
Vania menunduk dan kembali memandang sahabatnya. "Ay, gue-"
"Gue ngantuk banget." Ayana menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
Vania menghela napas. Ia memandang tubuh sahabatnya dengan tatapan sedih. Ia benar-benar terluka melihat Ayana yang mendiamkannya.
Sampai kapan Ayana akan seperti ini padanya?
Ia benar-benar merindukan sosok Ayana yang periang dan manja padanya.
"Kalau gitu gue keluar. Selamat istirahat, Ay."
Vania berjalan keluar dan menutup pintu kamar Ayana dengan hati-hati.
Setelah Vania pergi, Ayana membuka selimutnya dan menangis.
Ia tak ingin membenci Vania, tetapi perasaannya masih terasa kesal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi-pagi sekali, Ayana sudah terlihat rapih. Sepertinya ia sudah bersiap untuk berangkat ke kampus.
Ayana meraih tasnya dan berjalan meninggalkan kamarnya.
"Pagi Ay," ucap Vania saat melihat Ayana baru saja keluar dari kamar.
Ayana hanya mengangguk dengan ekspresi datarnya menjawab salam Vania.
Ini sudah genap Tiga hari Ayana mendiamkan Vania. Bahkan Ayana pun terlihat masih marah dengan Elina, karena menurutnya, Elina juga ikut merahasiakan semua ini.
"Yer, gue berangkat duluan," ucap Ayana pada Yerika lalu melangkah pergi.
Semenjak kejadian itu, Ayana lebih memilih berangkat ke kampus sendiri. Yerika pun mengerti dan membiarkannya. Ia tahu jika sahabatnya tersebut butuh waktu untuk sendiri.
"Ini udah Tiga hari Ayana marah sama gue, gue takut Ayana nggak mau maafin gue," ucap Vania.
Yerika tersenyum tipis. "Nggak usah khawatir, dia bakal secepatnya kok maafin lo."
Elina merangkul pundak Vania dan berkata, "Iya, Van. Ayana hanya butuh waktu untuk ngelupain itu. Dan setelah dia lupa, dia bakal maafin lo dan kita bakal kaya dulu lagi."
Vania mengangguk dengan senyuman.
"Yaudah, kita berangkat juga yuk," usul Yerika dan kedua sahabatnya pun mengangguk.
Saat ketiganya bersiap untuk berangkat ke kampus, ada sebuah mobil berhenti tepat di depan apartemen mereka. Pemilik mobil itu adalah Dae-hyun.
Ya, semakin hari Dae-hyun dan Yerika semakin dekat. Meskipun belum ada hubungan di antara keduanya, namun sikap Dae-hyun kepada Yerika seperti sepasang kekasih pada umumnya. Selalu terkesan manis.
"Gais, gue nggak papa nih berangkat di anter Dae-hyun?"
Elina melipat kedua lengannya di depan dada. "Santuy aja kali, ah. Dah sono berangkat, kasian Dae-hyun, dia juga 'kan mau berangkat ke kampusnya."
Yerika mengangguk. "Mau titip salam buat Seo-jun nggak lo?" tanyanya pada Elina.
Elina tersenyum lebar. Sahabatnya yang satu ini memang paling mengerti perasaannya.
Setelah dua sejoli itu menghilang dari pandangan, Vania dan Elina pun bersiap untuk berangkat ke kampus seperti biasa.
"Udah di kunci 'kan tadi?"
Vania mengangguk. "Yaudah yuk, berangkat."
Keduanya mulai melangkahkan kaki meninggalkan apartemen. Namun baru tiga langkah mereka berjalan, mereka harus berhenti karena ada seorang kurir pengantar barang yang datang.
"Apa benar ini alamat Reina Vaniela?" tanya kurir tersebut.
Vania mengangguk. "Benar, Ahjeossi. Saya Reina Vaniela," jawab Vania.
Kurir itu mengangguk lalu menyerahkan paket tersebut pada Vania. "Silahkan tanda tangan disini," ujarnya.
Vania mengangguk lalu menandatangani. Setelah menerima paket, Vania pun kembali ke dalam untuk menaruh paketnya sebelum berangkat ke kampus.
"Lo beli apa sampai di paketin segala?" tanya Elina saat Vania sudah di luar dan bersiap untuk berangkat.
"Sesuatu yang bisa bikin Ayana nggak badmood," jawab Vania.
Elina mengerutkan dahinya, "Apaan?"
Vania tertawa. "Ada deh."
Elina menyunggingkan senyumnya. "Lo gimana sama Nevan?" tanya Elina di sela-sela perjalanan mereka.
Vania terdiam sejenak, ada sesuatu yang ia pikirkan. "Gue minta Nevan untuk jangan hubungin gue sementara waktu. Dan untungnya Nevan ngerti."
"Lo yang sabar ya, Van."
Vania mengangguk dengan senyuman.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"AYANA!"
Ayana menghentikan langkahnya saat ada suara yang memanggilnya. Ayana segera menoleh dan mendapati Nevan tengah berjalan menghampirinya.
Ayana menyipitkan matanya. Untuk apa Nevan menghampirinya?
"Vania nggak sama gue," ucap Ayana begitu Nevan sampai di hadapannya.
Nevan sedikit mengatur napasnya. "Gue bukan mau nanyain Vania," ujarnya.
"Terus?"
"Gue mau minta maaf sama lo,"
"Untuk apa lo minta maaf?" potong Ayana.
Nevan menghela napasnya. "Karena gue, persahabatan lo sama Vania jadi berantakan. Gue minta maaf," ujarnya.
Ayana membuang tatapannya acuh. "Nggak perlu lo sesali. Lagipula lo nggak tahu apa-apa." Ayana melipat lengannya di depan dada.
"Termasuk perasaan lo?" tanya Nevan membuat Ayana melebarkan matanya.
"Lo nggak ada hak buat bahas perasaan gue. Dan soal perasaan gue ke lo, itu dulu. Sekarang udah beda. Dan mungkin dulu gue buta karena udah suka sama orang yang gue sendiri aja nggak kenal."
"Kalau gitu kenapa lo marah sama Vania?"
"Itu hak gue. Dan itu nggak ada urusannya sama lo," ucap Ayana.
Nevan tersenyum miring. "Gue ada hak atas itu. Karena gue sayang sama Vania, gue cinta sama Vania. Begitupun dengan Vania. Vania sayang sama gue, dia cinta sama gue. Dan kalau lo tahu, Vania rela nggak nerima gue karena lebih mentingin perasaan lo!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...