Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulih
Dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat, Pak Sujak membasuh liur yang belepotan di wajah Jaka. Mengganti kaosnya dengan kaos yang baru.
Sekali lagi diusapnya wajah Jaka dengan penuh kasih sayang.
"Wong urip iki memang ndak muda, kita harus bisa untuk ikhlas menjalaninya, kamu ki kudu sabar ya ... tapi kudu kuat juga, kamu pasti sembuh," kata Pak Sujak.
Jaka menitikkan air mata, dia mengerti tapi masih terkungkung di alam bawah sadarnya. Dia ingin keluar, tapi belum berhasil. Luka yang menganga terlalu lebar dan Jaka masih belum bisa ikhlas menerimanya.
Kali itu Pak Sujak tak mengajaknya keluar lagi, dia akan merasa tenang kalau Jaka hanya di dalam saja.
Setelah Pak Sujak, keluar dan melanjutkan pekerjaannya, Jaka termenung duduk di atas matrasnya. Diam tak bergerak, merasakan semilir angin sore yang sejuk membuatnya ngantuk.
Jaka membaringkan diri seenaknya dan memejamkan mata.
#########
Jaka berjalan tertatih, tubuhnya penuh luka, keranjang kuenya rusak, isinya sudah tak ada lagi, tercecer entah kemana.
Sudah bukan hal yang mengejutkan bagi Jaka, tapi jadi suatu yang menakutkan untuk berjualan lagi.
Modal Ibu sudah berkali - kali habis tanpa ada hasil sama sekali. Semua hanya karena tubuh Jaka yang kurus, kecil, tak bisa melawan orang - orang yang membullynya.
Jaka dengan perasaan bersalah, masuk dalam rumah, meletakkan keranjang kuenya.
Ibu keluar dari dapur terkejut melihat anaknya pulang dengan kondisi lebih memprihatinkan.
Diam tak bicara, Ibu menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang hendak mengalir dari sudut matanya.
Jaka tertunduk, tak tahu harus bicara apa, Ibu mendekat dan memeluknya, isak itu tak bisa disembunyikan lagi.
"Besok Ibu akan bekerja lagi, jadi kamu ndak usah jualan lagi."
Jaka mengangguk, Ibu melepaskan pelukannya. Dia berjalan ke belakang, diambilnya air hangat dan handuk kecil untuk membersihan luka - luka Jaka.
"Kamu anak pintar, kamu harus sekolah yang rajin ya, biar besok kamu bisa kerja di tempat yang lebih baik," kata Ibu sambil terus membersihkan tangan Jaka yang kotor.
Jaka diam, menahan sakit, dan menahan tangis.
"Kamu ini kudu kuat jalani hidup, terkadang hidup memang tak berpihak pada kita, menyakitkan, tapi kamu kudu kuat, jalanmu masih panjang," ucap Ibu sambil membelai kepala anaknya.
Tubuh Jaka sudah dibersihkan dan luka juga sudah diobati dengan obat seadanya.
Jaka tak merasakan sakit pada luka - luka yang diobati Ibu, tapi dia sakit melihat Ibunya yang menangis lagi.
Ibu membelai rambut Jaka, dan diciumnya dengan penuh kasih.
Air di sudut mata Jaka, mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Dia memeluk Ibu, membenamkan wajah dibahunya, seorang yang lembut hati, tapi kokoh menjalani hidup. Dan Ibu membelainya.
#########
"Ibu ... huuu uuu ... Ibu ... uuuu,"
tangis Jaka sesenggukkan.
"Ibu ... Bu ... Ibu!" teriak Jaka.
Pak Sujak yang masih terjaga, sedang menghabiskan teh hangat di teras, terkejut mendengar teriakan Jaka, dia buru - buru masuk ke kamar.
Dilihatnya Jaka meraih sesuatu yang tak dia lihat, sambil berteriak, Pak Sujak mendekat dan menggoyangkan beberapa kali.
"Nak Jaka ... Nak ... bangun Nak,"
Jaka yang terkejut, tiba - tiba membuka mata, memandang sekelilingnya, memandang Pak Sujak dengan wajah basah oleh air mata.
"Pak ... Ibu mana Pak, mana Ibu, tadi dia di sini, mana Ibu!" teriaknya panik, sambil mengguncangkan tangan Pak Sujak.
Pak Sujak menepuk tangan itu beberapa kali, mencoba memberikan ketenangan. Tapi setidaknya Pak Sujak sedikit lega, Jaka bisa mengenalinya.
"Ibu sudah bahagia di sana Nak, sudah tak lelah lagi, sudah tak sedih lagi," kata Pak Sujak pelan.
Mata Jaka mengawasi Pak Sujak dengan seksama, ingin benar mempercayai apa yang baru dikatakan olehnya.
Jaka beringsut ke belakang. Melepaskan tangan Pak Sujak dari tangannya.
"Tidaaak ... tidaak ... tidak Pak, tidak, Ibu baru saja di sini,"
Pak Sujak menatapnya dengan iba. Dia tak tahu harus bagaimana.
Memberi sedikit jeda, Pak Sujak berkata lagi,"Memang tak mudah menerima kenyataan, tapi Nak Jaka kudu kuat, harus bisa nrimo, Ibu sudah berpulang, kalau Nak Jaka sayang sama Ibu, ijinkan Ibu bahagia di sana."
"Tidaaakk ... tidaakk ... haaaa ...
huaaahh haaaahh ...!" tangis Jaka memecah keheningan malam.
Pak Sujak mendekat, menepuk bahu Jaka yang meraung dalam posisi sujud. Di belainya punggung Jaka dengan penuh kasih, dan Jaka meluapkan segalanya, semuanya, hingga tak tersisa sedikit pun.
Lelah menangis, akhirnya Jaka tertidur lagi, Pak Sujak dengan sabar menemani, membelainya dengan kasih. Matanya basah, hidup memang mempunyai ceritanya sendiri, dirinya dengan luka yang ini, dan Jaka dengan luka yang itu. Menyakitkan.
Pak Sujak tertidur dalam posisi duduk, dan bersandar di dinding, tangannya menggenggam tangan Jaka.
Kehangatan tangan Pak Sujak memberikan ketenangan pada Jaka. Saat dia membuka mata.
dilihatnya, ini bukan tangan Ibu yang lembut, tapi tangan Pak Sujak, yang kasar, tapi kehangatan tangan ini sama.
Jaka mengusap lagi air yang ada di pelupuk matanya. Pelan - pelan Jaka menarik tangannya dari genggam tangan Pak Sujak. Mengambil sarung, dan menutupkan pada tubuh Pak Sujak yang pulas.
Perlahan Jaka bangun, dia berjalan pelan ke belakang, mengambil minum, untuk menghilangkan haus setelah berteriak tadi.
Kesadarannya telah terbentuk, dia sudah ingat tentang dirinya, tentang Ibu yang berpulang, tentang pekerjaan yang diberikan Pak Adi.
Mengusap wajahnya, Jaka merenungkan semua nasehat yang dia dengar, dari Ibu, atau pun dari Pak Sujak.
"Aku harus kuat, demi Ibu. Ibu sudah bahagia di sana, aku harus melanjutkan jalanku," kata Jaka dalam hati.
Meskipun air mata mengambang lagi di mata, tapi Jaka bisa dengan mantap menghapusnya.
Pagi itu langit masih gelap, Jaka membuatkan minum untuk Pak Sujak, dia juga merebus singkong sebagai teman kopi pahit.
Aroma kopi dan singkong rebus merasuk dalam penciuman Pak Sujak. Dia membuka mata, terkejut saat melihat tak ada Jaka di sana.
Pak Sujak buru - buru bangun, dengan timpang, dia berjalan ke belakang, tampak Jaka berdiri di sana, mengangkat singkong rebus dari dalam penanak nasi, dipindahkan ke piring, dan meletakkannya di meja.
Pak Sujak terngangah, mengucek matanya, memastikan dengan apa yang ada di depannya.
"Nak Jaka?"
"Iya, Pak. Ini kopi sama singkongnya sudah matang Pak, mari di nikmati," kata Jaka.
Pak Sujak berjalan pelan menghampiri Jaka, memeluknya dengan penuh kasih. Jaka membalas pelukan itu.
"Bagus, Nak. Kamu harus kuat ... kuat ya Nak,"kata Pak Sujak, dia merenggangkan pelukan itu, sambil menepuk bahu Jaka.
"Maturnuwin, Pak. Selama ini Bapak sudah merawat saya, seperti Ibu," jawab Jaka.
Mereka duduk berdua, menikmati kopi dan singkong rebus. Menyiapkan hati untuk melanjutkan perjalanan yang mereka pun tak tahu, hari depan akan seperti apa.