Percintaan anak sekolah dengan dibumbui masalah-masalah pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menahan malu
Suasana kantin menjadi tidak terkendali. Yang awalnya fokus menikmati makanan, kini semua mata tertuju pada perkelahian antara Dela dan Viola. Keributan yang mereka berdua ciptakan menarik perhatian seluruh penghuni kantin.
"Lo emang jelmaan iblis!" teriak Dela, sambil menarik kuat rambut Viola. Kekuatannya tampak luar biasa, menunjukkan amarahnya yang sudah memuncak.
Viola merasakan sakit yang menusuk di kulit kepalanya. "Lo yang jelmaan setan! Gue nggak berurusan sama lo, kenapa lo malah ribut sama gue!" teriak Viola, suaranya bercampur antara amarah dan kesakitan. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Dela dan dia juga terus menarik rambut Dela dengan kuat.
Tiba-tiba, Pak Heru, kepala sekolah, datang dan berhasil memisahkan Dela dan Viola. Kedua perempuan itu tampak berantakan, rambut mereka kusut dan pakaian mereka sedikit robek. Meskipun sudah dipisahkan, amarah mereka masih belum padam. Mereka masih saling beradu mulut, menunjukkan rasa kesal dan dendam yang terpendam.
"Kalian itu perempuan, kenapa berantem, hah! Nggak malu kalian berantem masih di area sekolah?!" bentak Pak Heru, suaranya menggema di kantin yang masih ramai. Ia tampak kesal dengan perilaku kedua siswinya.
Dela menatap Viola dengan sengit. "Dia duluan, Pak, yang sengaja numpahin es ke makanan," tuduh Dela, mencoba menjelaskan duduk perkaranya.
"Gue bilang kan nggak sengaja, lo budeg apa bodoh sih!" balas Viola, suaranya masih tinggi dan penuh emosi. Ia tetap bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Pak Heru tampak pusing menghadapi kedua siswi yang keras kepala itu. Konflik di antara mereka belum berakhir.
Guru tersebut kemudian membawa Dela dan Viola ke ruang kepala sekolah, meninggalkan keributan di kantin yang masih belum sepenuhnya mereda. Bisikan-bisikan masih terdengar di antara para siswa yang menyaksikan kejadian tersebut.
Dara, Sella, dan Andra saling pandang. Mereka merasa lega karena pertengkaran itu akhirnya berakhir, tetapi kekhawatiran akan konsekuensi yang akan mereka hadapi masih membayangi. Mereka telah menjadi saksi kejadian tersebut, dan keterlibatan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mereka pun mengikuti kepala sekolah yang membawa Dela dan Viola. Dara sangat kesal pada Viola. Sesuai dugaannya, Viola memang belum puas berbuat jahat pada dirinya. Kali ini, Viola bahkan sudah melibatkan Dela dalam masalahnya. Entah apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Viola, kelakuannya tampaknya sudah kelewatan batas.
Kedua orang itu dibawa ke dalam ruangan kepala sekolah. Sementara Dara, Sella, dan Andra menunggu di depan ruangan. Mereka mengintip melalui kaca jendela, melihat apa yang terjadi di dalam ruangan kepala sekolah dari balik kaca. Mereka tampak cemas dan tegang, menunggu konsekuensi dari kejadian yang telah mereka saksikan. Ketegangan dan rasa khawatir masih membayangi mereka. Mereka menunggu dengan cemas.
Degup jantung Dara semakin tak menentu. Ia menggigiti bibir bawahnya, menunggu keputusan kepala sekolah yang menentukan nasib Dela. Tatapannya yang awalnya tertuju pada pintu ruang kepala sekolah, kini teralihkan pada sosok yang baru saja masuk halaman sekolah. Sosok yang dikenalnya.
"Abang?" gumam Dara, mengerutkan dahi bingung melihat Nino, kakak Dela, berjalan mendekat. Kehadiran Nino di sini, di tengah kecemasannya, menimbulkan pertanyaan baru.
Nino berhenti di hadapan Dara, raut wajahnya serius. "Abang ke sini karena tadi kepala sekolah telepon. Katanya Dela buat masalah?" suaranya terdengar tenang, namun ada sorot kekhawatiran di matanya.
Dara menghela napas panjang, mencoba meredakan kecemasannya. Kenangan kejadian tadi kembali berputar di kepalanya, membuat dadanya sesak. "Sebenarnya Dela nggak salah, Bang. Dela cuma mau membela aku. Cuma ya… gitu, Dela nggak bisa menahan emosinya," jelas Dara, suaranya sedikit terbata. Ia merasa bersalah karena Dela harus berurusan dengan kepala sekolah gara-gara dirinya.
"Intinya, salahnya aku, Bang. Karena perempuan itu mencoba jahatin aku," tambahnya, merasa perlu menjelaskan semuanya agar kakaknya mengerti. Ia harus menjelaskan agar Nino tidak salah paham dan marah pada Dela. Ia tahu, bagaimanapun juga, Dela sangat menyayanginya.
Nino tersenyum lembut, tangannya terulur mengusap pucuk kepala Dara dengan penuh kasih sayang. Sentuhan lembut itu mampu sedikit meredakan kecemasan yang menggelayut di hati Dara. "Nggak, itu bukan salah kamu, itu salah perempuan yang mencoba berbuat jahat sama kamu," ujarnya, suaranya menenangkan.
"Tenang aja, Abang nggak akan menyalahkan Dela ataupun kamu," lanjut Nino, memberikan jaminan yang membuat Dara sedikit lebih lega.
Dara mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. "Intinya nanti… Abang jangan menyalahkan Dela ya?" pintanya, suaranya sedikit bergetar. Kekhawatirannya masih belum sepenuhnya hilang.
"Iya, tenang aja," jawab Nino, menenangkan. "Kalau gitu, Abang masuk dulu ya." Ia pun melangkah menuju ruang kepala sekolah, Meninggalkan Dara yang masih diliputi kecemasan, namun sedikit lebih tenang setelah mendengar penjelasan Nino.
Di samping Dara, Andra, yang sedari tadi berdiri di sana, menahan amarahnya dengan mengepalkan kedua tangan. Melihat interaksi penuh kasih sayang antara Dara dan Nino, api cemburu membakar hatinya.
Sentuhan lembut Nino pada Dara, perhatian yang begitu tulus, semuanya membuat dadanya sesak. Ia ingin menjauhkan Dara dari pria itu, ingin Dara hanya untuk dirinya sendiri. Rasa kepemilikan yang kuat menguasai pikirannya.
Andra mendekat ke arah Dara, mengusap kepala Dara sekaligus menghilangkan jejak tangan pria itu pada kepala Dara. "Ra, maaf ya rambut kamu tadi ada kotorannya," kilah Andra.
Dara yang sedari tadi pikirannya sedang runyam hanya menganggukan kepalanya saja. Sementara Sella yang sedari tadi melihat interaksi itu hanya berdecih. "Mana ada kotoran, emang dasarnya orang gila," gumam Sella dengan lirih.
Andra mendekat ke arah Dara, tangannya terulur untuk mengusap rambut Dara, seolah tanpa sengaja menghapus jejak sentuhan Nino di kepala Dara. "Ra, maaf ya, rambut kamu tadi ada kotorannya," katanya, suaranya terdengar sedikit kaku, suatu kilah yang terdengar dipaksakan. Gerakannya tampak terburu-buru, menunjukkan rasa tidak nyamannya melihat interaksi Dara dan Nino sebelumnya.
Dara, yang pikirannya masih dipenuhi kecemasan tentang Dela, hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia terlalu lelah untuk memperhatikan detail kecil seperti itu.
Di samping mereka, Sella menyaksikan adegan tersebut dengan pandangan sinis. Ia berdecih pelan, suaranya cukup lirih agar hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "Mana ada kotoran, emang dasarnya orang gila," gumamnya, nada sarkasmenya terdengar jelas. Ia tampaknya menyadari motif sebenarnya di balik tindakan Andra.
"Sell, gue takut Dela di skors gara-gara gue," ucap Dara pada Sella, suaranya bergetar, menunjukkan kecemasan yang masih menggelayut di hatinya. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran yang mendalam.
Sella tersenyum singkat, mencoba menenangkan sahabatnya. "Udah, Ra, ini bukan salah lo kok. Gue juga sama halnya kaya Dela, gue marah waktu Viola jahatin lo," jelasnya, lalu memeLuk Dara erat, memberikan dukungan dan rasa nyaman. Pelukan hangat itu diharapkan mampu mengurangi beban yang dipikul Dara.
"Iya, Ra, itu bukan salah kamu. Ini memang salahnya Viola. Jadi jangan salahkan diri kamu sendiri," timpal Andra, suaranya terdengar lebih tenang daripada sebelumnya. Ia berusaha meyakinkan Dara dan ikut berperan dalam menenangkan sahabatnya itu.
Di tengah suasana tegang dan dipenuhi kecemasan, pintu ruangan kepala sekolah terbuka. Muncullah Dela bersama kakaknya, Nino, dan di seberang mereka, Viola bersama kedua orang tuanya. Ketegangan di ruangan itu semakin terasa.
"Sekali lagi saya minta maaf atas perlakuan anak saya," ucap Ibu Viola dengan nada penuh penyesalan, suaranya terdengar tulus dan menunjukkan rasa bersalahnya atas tindakan Viola.
"Saya akan berperilaku tegas pada anak saya," timpal Ayah Viola, menunjukkan keseriusannya dalam mendisiplinkan anaknya. Sikap kedua orang tua Viola menunjukkan komitmen mereka untuk bertanggung jawab atas perilaku anak mereka.
Namun, Viola, yang tampaknya masih tidak menyadari kesalahannya, bereaksi dengan kasar. "Pah, Mah, apaan sih? Orang dia yang salah! Udah deh jangan merendahkan diri di depan orang lain," protesnya, suaranya tinggi dan menunjukkan raut wajah yang tidak suka. Sikapnya yang tidak menunjukkan penyesalan membuat suasana semakin tegang.
Kedua orang tua Viola menatap Viola dengan pandangan tajam, kemarahan mereka terlihat jelas. "Viola!" tegas kedua orang tua Viola serempak, suara mereka menunjukkan ketidaksetujuan yang keras terhadap sikap anaknya. Suasana menjadi hening sesaat, menunggu reaksi selanjutnya.
Viola bergegas meninggalkan mereka, meninggalkan tatapan tidak suka yang tertuju padanya. Ia tampak kesal dan tidak terIma dengan hukuman yang diterimanya. "Sekali lagi, maafkan anak saya," ucap Ayah Viola sekali lagi, suaranya terdengar lesu, menunjukkan rasa malunya yang mendalam.
Nino hanya mengangguk singkat sebagai respon atas permintaan maaf orang tua Viola. Kedua orang tua itu pun berlalu, meninggalkan ruangan dengan wajah yang penuh rasa malu dan menyesal atas perilaku anak perempuan mereka. Suasana tegang sedikit mereda.
"Del, gimana? Apa yang terjadi sama lo?" tanya Dara dengan khawatir, menunjukkan rasa peduli dan perhatiannya pada sahabatnya.
Dela hanya tersenyum, menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Nggak papa, gue cuma disuruh bersihin gudang selama tiga hari, sementara Viola sih disuruh bersihin kamar mandi selama tujuh hari," jelasnya, suaranya terdengar santai, menunjukkan bahwa ia mampu menghadapi konsekuensi atas tindakannya.
"Hah, kok bisa, Del?" tanya Sella, terkejut dengan hukuman yang diterima Viola. Ia penasaran bagaimana Dela bisa mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
"Bisa dong, gue kan pinter," jawab Dela dengan sedikit percaya diri, menunjukkan kecerdasannya. "Gue suruh semua orang buat lihat CCTV di kantin, dan memang benar Viola itu sengaja tumpahin minuman ke lo, Ra. Jadi kepala sekolah memberikan hukuman lebih berat ke Viola." Dela menjelaskan dengan lugas bagaimana ia berhasil meyakinkan kepala sekolah dengan bukti yang ada.