"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proses
......................
Hari itu, cahaya matahari menyusup masuk melalui celah tirai jendela apartemen. Sinar keemasannya jatuh menyamping di lantai kayu, membentuk pola-pola hangat yang menari pelan di permukaannua.
Udara yang masuk mulai terasa panas, bercampur dengan aroma samar sisa kopi yang sudah dingin, sebagai jejak pagi yang ditinggalkan Kaan sebelum pergi bekerja.
Kring! Kring!
Suara dering ponsel Murni tiba-tiba memecah keheningan. Ia segera melirik layar ponsel yang menampilkan nama kontak 'Mbak Elda'.
Tanpa pikir panjang, ia segera menekan tombol hijau yang langsung menyambungkan panggilannya pada sang penelepon. Belum sempat Murni berbicara, suara tegas Elda sudah lebih dulu terdengar dari seberang, “Aku sudah di parkiran basement. Turun sekarang.”
Sebelum Murni sempat menjawab, sambungan telepon seketika diputus secara sepihak. Murni buru-buru mengambil tas kecilnya dan melangkah keluar.
Dalam waktu singkat, ia tiba di area parkiran basement. Matanya langsung menangkap sosok Elda yang sudah menunggunya, sembari bersandar di pintu mobil hitamnya. Penampilannya terlihat mencolok, dengan jaket kulit gelap, jeans hitam ketat, dan sepatu boots, yang berhasil memancarkan aura garang yang tak bisa diabaikan orang yang melihatnya.
Kontras sekali dengan penampilan Murni yang mengenakan long dress biru terang serta hijab pashmina putih yang lembut, memperlihatkan aura kalem yang bertolak belakang dengan Elda.
Tanpa banyak bicara, keduanya masuk ke dalam mobil, dan tak lama kemudian kendaraan itu melaju meninggalkan kawasan apartemen.
Dua puluh menit kemudian.
Mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern-minimalis, jauh dari keramaian kota. Lokasinya cukup tersembunyi, namun terasa nyaman dan aman. Tepat sekali saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12:14, yang menandakan jika waktu makan siang sudah berjalan beberapa menit yang lalu.
Sesampainya di dalam rumah, Elda langsung mengajak Murni menuju ruang makan.
Begitu tiba di sana, mata Murni langsung tertuju pada meja makan yang tertata rapi dengan hidangan-hidangan menggugah selera. Ada nasi hangat yang mengepul, ayam panggang madu dengan taburan wijen, sup krim jamur, dan salad sayur segar yang disajikan dalam mangkuk kaca lebar. Di sudut meja, ada sepiring besar pastel isi dan semangkuk saus cocolan berwarna jingga pekat.
Tak jauh dari meja makan, berdiri seorang pria muda mengenakan jas rapi. Rambutnya ditata klimis, dan penampilannya sangat terorganisir, mengingatkan Murni pada seorang pegawai kantoran. Tanpa ekspresi terkejut atau heran, pria itu melangkah maju dan dengan cekatan menarik salah satu kursi di tengah, mempersilakan Elda duduk. Sikapnya menunjukkan bahwa perlakuan seperti ini sudah menjadi kebiasaan.
Murni pun ikut duduk, memilih kursi di sisi kanan Elda. Ia mulai mengambil sendok, lalu menyendok nasi secukupnya dan mengambil sepotong ayam panggang.
“Ayo makan, jangan ragu,” ujar Elda sembari menyilangkan kaki. “Kau harus makan banyak. Pelatihan pertamamu akan dimulai hari ini.”
Murni mengangguk pelan. Awalnya, semuanya tampak biasa. Ia menunduk, bersiap menyendok nasi ke dalam mulutnya—
Trang!
Sebuah suara dentingan logam nyaring terdengar, membuat Murni tersentak. Ia mengangkat manik matanya sedikit dan mendapati sendok Elda sudah bertengger, menghantam sendok milik Murni di udara.
Suasana yang semula hening berubah tegang.
Tatapan Elda menajam, dan di sudut bibirnya terukir senyuman sinis yang nyaris seperti ejekan.
“Kelas pertamamu dimulai sekarang,” ucapnya pelan namun jelas, seolah baru saja membuka babak baru yang tak bisa dihindari.
.
.
Murni masih terpaku di tempat duduknya, belum sempat menyentuh makanannya lagi setelah dentingan logam itu terdengar.
Sementara Elda masih menatapnya dengan tatapan tajam penuh penilaian.
“Perbaiki posisi dudukmu,” ucapnya dingin, sambil menepuk ringan punggung Murni dengan dua jari. Sentuhannya tidak keras, tapi cukup membuat Murni terkejut dan segera menegakkan tubuhnya.
Beberapa detik berikutnya, barulah Murni menyadari bahwa sedari tadi ia memang duduk dengan sedikit membungkuk, menekuk ke depan, dengan tangan yang terlalu dekat ke piring.
Elda menyilangkan tangan dan bersandar di kursinya.
“Bobi.”
Pria muda yang berdiri di sisi meja langsung mendekat begitu namanya disebut. Seolah paham akan yang dimaksudkan Elda, pria bernama Bobi itu seketika mengeluarkan sebuah rotan ramping sepanjang lengan orang dewasa yang sejak awal ia sembunyikan di balik punggungnya.
Bobi menyerahkan rotan itu dengan sikap sopan, Elda langsung menggenggam rotan itu, lalu menunjuk ke deretan peralatan makan di samping piring Murni.
“Kau lihat garpu dan sendok itu?” Suaranya tenang tapi tak memberi ruang untuk membantah. “Makan di meja seperti ini, tidak bisa sembarangan.”
Rotan itu bergerak, menunjuk tepat ke bagian luar garpu yang paling kiri.
"Itu untuk makanan utama. Ini untuk salad. Dan ini untuk dessert.” Ia menunjuk satu per satu berbagai macam model sendok yang ada di sana, gerakannya teratur dan tegas.
“Ambil yang paling luar terlebih dahulu, dan gunakan ke dalam seiring bergantinya hidangan.” Lanjutnya sembari menunjuk Dinner Spoon terlebih dahulu.
Murni menelan ludah, lalu perlahan menggenggam sendok utama terlebih dahulu.
“Jangan asal pegang,” potong Savielda cepat. “Pegang sendokmya seperti ini.”
Elda mengambil salah satu garpu cadangan di hadapannya dan memperagakan cara menggenggam yang anggun namun stabil, dengan posisi jari membentuk sudut elegan di sekitar gagang.
Murni menirukannya, sedikit kaku, tapi berhasil.
Savielda mengamati sebentar. “Lumayan. Lain kali, lebih rileks.”
Rotan di tangannya kini menunjuk ke cara Murni memegang sendok. “Jangan terlalu tinggi. Letakkan ibu jarimu di bagian atas, bukan di samping. Itu membuat tanganmu terlihat seperti anak kecil yang baru belajar makan.”
Murni buru-buru memperbaiki posisi jemarinya dan berusaha mengingat tiap detail kecil yang diberikan.
“Dan saat kau makan,” lanjut Savielda, suaranya kini lebih tanpa menghilangkan ketegasannya, “kau tidak menunduk ke piring. Angkat makananmu ke mulut, bukan mulutmu ke makanan.”
Rotan itu kembali bergerak, kali ini menyentuh bahu Murni perlahan.
“Duduk tegak. Tunjukkan kelasmu bahkan saat kau hanya menyuap nasi.”
Murni diam sembari mengangguk paham. Pipinya sedikit memanas, bukan karena marah, tapi karena gugup dan tertekan oleh atmosfer intens yang diciptakan oleh Savielda.
Namun di balik tekanan itu, ia juga menyadari bahwa ia saat ini sedang belajar sesuatu yang tak pernah diajarkan di rumah, sekolah, atau lingkungan manapun sebelumnya.
Dan ia harus bisa menjadi seseorang yang bisa duduk di meja yang sama dengan orang-orang seperti Kaan… dan keluarganya.
.
.
.
Waktu berlalu tanpa terasa. Setelah pelajaran makan yang melelahkan secara mental itu, keduanya telah menyelesaikan makan siang.
Murni menghela napas berat sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sembari memijat tengkuk dan punggungnya yang terasa kaku, sekaligus mencoba meredakan ketegangan yang menggumpal sejak pertama kali sendoknya dipukul.
Savielda meliriknya sekilas, sembari tersenyum puas..
“Sekarang kau tahu bukan, seberapa sulitnya masuk ke keluarga Kaan?” ucapnya sambil menyeka sudut bibirnya dengan tisu.
Murni mengangguk perlahan, tatapannya menerawang. “Iya, selama ini aku pikir orang-orang yang makan di acara TV itu hanya tinggal makan. Duduk, ambil sendok, lalu makan. Tapi ternyata… makan pun ada aturannya. Dan itu, benar-benar bikin aku kewalahan.”
Savielda mengeluarkan kekehan yang terdengar seperti cemoohan halus.
“Mereka yang kau lihat di TV itu hanya aktor, Murni. Orang-orang biasa yang dibayar untuk berpura-pura menjadi orang kelas atas,” katanya, mengambil cangkir teh dan menyesapnya tenang.
“Padahal mereka tetap saja orang kelas menengah ke bawah. Tidak ada yang benar-benar paham cara hidup kelas atas, kecuali mereka yang memang terlahir di sana.”
Ia meletakkan kembali cangkirnya, lalu berdiri anggun tanpa suara.
“Kalau kau pikir ini sudah cukup melelahkan, maka kau belum melihat apapun,” katanya ringan, memutar tubuh, sebelum akhirnya melangkah keluar ruang makan.
“Mari kita lanjut ke pelajaran selanjutnya.” Timpalnya sebelum benar-benar pergi dari sana.
Murni yang sempat terdiam, buru-buru bangkit dan menyusul langkah Savielda dengan langkah cepat. Hatinya masih berdebar, tapi semangat untuk belajar mulai tumbuh dalam dirinya.
Apapun yang menantinya di pelajaran berikutnya, ia akan coba hadapi. Karena kalau tidak, maka mungkin ia benar-benar tak akan pernah layak berjalan di sisi Kaan.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣