Maira salah masuk kamar hotel, setelah dia dijual paman dan bibinya pada pengusaha kaya untuk jadi istri simpanan. Akibatnya, dia malah tidur dengan seorang pria yang merupakan dosen di kampusnya. Jack, Jackson Romero yang ternyata sedang di jebak seorang wanita yang menyukainya.
Merasa ini bukan salahnya, Maira yang memang tidak mungkin kembali ke rumah paman dan bibinya, minta tanggung jawab pada Jackson.
Pernikahan itu terjadi, namun Maira harus tanda tangan kontrak dimana dia hanya bisa menjadi istri rahasia Jack selama satu tahun.
"Oke! tidak masalah? jadi bapak pura-pura saja tidak kenal aku saat kita bertemu ya! awas kalau menegurku lebih dulu!" ujar Maira menyipitkan matanya ke arah Jack.
"Siapa bapakmu? siapa juga yang tertarik untuk menegurmu? disini kamu numpang ya! panggil tuan. Di kampus, baru panggil seperti itu!" balas Jack menatap Maira tajam.
'Duh, galak bener. Tahan Maira, seenggaknya kamu gak perlu jadi istri simpanan bandot tua itu!' batin Maira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Tidak Menyadari
Maira masih tertegun diam melihat makanan yang ada di atas meja di depannya.
Sedangkan Jack sudah menikmati makanannya, duduk di kursi yang bersebrangan dengan Maira.
"Makanlah!" kata Jack.
Maira mengangkat kepalanya. Dia meraih satu nasi box dengan lauk lengkap. Dan makan makanan itu tanpa melirik atau melihat ke arah Jack sama sekali.
Baru menghabiskan setengah makanannya, Jack sudah meletakkan kotak makanannya di atas meja.
Maira yang melihat itu juga segera meletakkan kotak makannya. Meski dia baru makan seperempat bagian.
"Kamu tidak suka?" tanya Jack tiba-tiba.
Maira tertegun sebentar, dan kembali meraih kotak makannya itu.
"Suka, maaf" kata Maira yang kembali makan.
'Hem, tidak nyaman sekali seperti ini. Kenapa aku takut sekali padanya sih? ini kak di luar jam kampus. Aku juga seharusnya sudah kembali, rasanya canggung sekali' batin Maira.
Maira sungguh merasa tidak nyaman, mau makan juga rasanya sulit di telan. Dia seperti di awasi, padahal dia yakin sebenarnya Jack sama sekali tidak melihat ke arahnya. Tapi Maira merasa seperti itu.
Karena sebenarnya, memang begitu. Sambil makan, sebenarnya Jack memang memperhatikan Maira.
Maira sudah tidak tahan lagi, kalau memang Jack memanggilnya untuk minum obat. Bukankah itu bisa di lakukan sekarang? dan setelah itu dia bisa pergi dari tempat ini kan? Maira pun meletakkan kotak makanannya dan minum satu botol air mineral di dekat kotak makannya.
"Saya sudah selesai pak, saya ambilkan obatnya ya?" tanya Maira.
Dia sungguh ingin cepat mengakhirinya, dia ingin segera keluar dari ruangan yang memberikannya perasaan begitu tegang ini.
Jack tidak menjawab, dia hanya menoleh sekilas ke arah Maira yang terlihat bergegas ke arah meja. Maira mencari obat yang dimaksud oleh Jack. Katanya tadi ada di atas meja. Tapi, kenapa dia tidak menemukannya.
'Ya ampun, apa mataku ikutan berdebar sampai dia tidak bisa melihat dengan benar. Obatnya mana? kenapa gak ada? ayo Maira, temukan obat itu, dan kabur!' batin Maira mencoba memindai sisi meja dari sebelah kiri.
Tapi sama saja, mau di lihat dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri. Obat yang dimaksud Jack itu tidak ada. Di atas meja, hanya ada alat tulis, beberapa buku, lalu berapa hiasan meja yang pasti mahal. Tidak ada itu obat, padahal ukurannya kan cukup besar. Harusnya terlihat. Kenapa ini sungguh tak bisa terlihat.
Sementara Jack, yang mengeluarkan obat dari saku jasnya, menoleh sekilas ke arah Maira.
'Dia benar-benar gadis yang pantang menyerah. Seharusnya dia menyadari obat ini sudah tidak ada disana. Kenapa masih dicari!' batin Jack.
Sementara Maira, dia memang seperti yang pria itu katakan. Dia sangat pantang menyerah. Tetap memperhatikan space demi space meja itu.
'Mungkin jatuh!' batinnya yakin.
Matanya bahkan melebar, Maira segera berjongkok, mencari di bawah meja. Dia memperhatikan setiap kotak lantai marmer yang warnanya memang gelap itu.
Melihat apa yang dilakukan oleh Maira, spontan Jack berdiri.
"Gadis ini..."
Jack menutupi sudut meja dengan telapak tangannya.
'Dimana ya?' batin Maira yang masih memperhatikan sampai di bawah kursi Jack, 'sepertinya tidak ada. Aku tanya saja!' batinnya yang langsung hendak bangkit.
Dugh
Mata Maira melebar, mulutnya juga sedikit terbuka. Karena kepalanya nyaris terbentur sudut meja. Untung tangan Jack ada di sana.
"Agkh, maaf pak. Maaf, pasti sakit ya?"
Maira panik, dan gerakan refleksnya adalah meraih tangan Jack dah meniupnya.
Jack memperhatikan itu, tatapan pria yang biasanya begitu dingin pada wanita lain, kecuali Tamara itu. Berubah menjadi tatapan yang begitu teduh ketika melihat Maira meniup telapak tangan Jack.
"Maafkan saya, tapi obatnya tidak ada. Mungkin hilang!" kata Maira dengan sedikit gugup.
'Hilang?' batin Jack, 'dia berpikir obatnya hilang?' tambahnya yang langsung menyembunyikan obat yang ada di tangannya itu di balik punggungnya.
Maira kembali meniup tangan Jack.
"Masih sakit tidak?" tanya Maira yang merasa bersalah. Karena Jack ingin melindungi kepalanya, tangan pria itu jadi merah.
Jack menarik tangannya.
"Tidak! karena obatnya hilang. Maka ikut aku pulang ke apartemen. Disana masih ada yang lain!"
Maira terdiam.
'Dia yang mau minum obat kan? kenapa aku harus pulang bersamanya?" batin Maira.
"Tapi, semua ini..." Maira memperhatikan meja yang berantakan.
"Biarkan saja, Paul akan mengurusnya. Tanganku keduanya sakit. Kamu pesan taksi online saja. Kita naik taksi bersama!"
Dan setelah mengatakan itu, pria itu langsung berjalan ke arah pintu.
Maira masih tidak bisa mempercayai ini. Dia takut, Jack hanya sedang mengujinya. Apakah dia masih akan patuh pada aturan yang dibuat Jack atau tidak.
"Pak Jack. Kalau kita naik taksi bersama, bagaimana kalau ada yang melihat?" tanya Maira membuat langkah Jack terhenti.
Jack menghela nafas panjang.
"Aku akan tunggu di depan kafe samping kampus. Kamu bisa naik duluan dari kampus!" kata Jack yang langsung keluar.
"Baik" sahutnya meski Jack sudah pergi cukup jauh.
Maira meraih ponselnya dan memesan taksi online. Sementara Jack mengusap kepalanya kasar sambil berjalan menjauh dari ruangannya itu.
'Ada apa denganku. Aku yang membuat aturan itu. Kenapa aku lupa!' gerutunya dalam hati.
Dia sepertinya mulai tidak sadar. Jika sebenarnya, dia memiliki perasaan lain pada Maira. Bukan hanya kasihan, sayangnya dia belum benar-benar menyadari hal itu.
Begitu Maira berada di dalam taksi online, dia mengatakan pada supirnya agar berhenti di depan kafe sebentar.
"Pak supir, tolong berhenti di depan kafe. Itu, pria itu bersamaku ke apartemen!"
"Dia suami nona?" tanya supir itu.
Maira pikir, paling tidak dia harus mengatakan sesuatu yang masuk akal. Agar supir taksi itu mau berhenti.
"Em, iya. Dia suamiku!" kata Maira.
Maira pikir, supir taksi itu kan tidak mengenalnya. Jadi dia rasa itu tidak masalah kan, dia bilang seperti itu. Belum tentu merasa akan bertemu lagi.
Mobil itu berhenti tepat di depan Jack. Maira membuka kaca jendela mobil.
"Tuan... "
"Nona, kenapa memanggil suamimu dengan panggilan tuan? itu sangat tidak romantis!" kata supir taksi yang sepertinya memang seorang ekstrovert itu.
Jack mendengar itu.
"Istriku memang suka memanggilku begitu, benarkan nyonya Romero?" tanya Jack yang duduk di samping Maura.
Maira mematung. Dia terlihat seperti membeku di tempatnya.
'Apa dia marah? dia panggil nyonya Romero? dia benar-benar marah!' batin Maira merasa jantungnya makin lemah tiap ditatap tajam begitu oleh Jack.
***
Bersambung...
lanjut up lagi thor