"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih baik
Udara di kamar itu masih dingin. Aroma eucalyptus dari humidifier mengambang samar, berpadu dengan bau antiseptik yang selalu hadir dalam ruang perawatan. Langit luar semakin terang, hujan mulai memudar, tapi tirai tipis yang menutup jendela membuat sinarnya hanya menjadi bayang pucat yang menyentuh lantai marmer abu-abu.
Audy melangkah masuk dengan anggun. Sepatu haknya bergema lembut di lantai, dan tak lama, langkah Ivana menyusul di belakangnya, tenang, tanpa suara, seperti bayangan yang setia pada kegelapan.
Tatapan Audy langsung tertuju pada Hania. Dingin. Tak ada senyum basa-basi. Hanya pandangan menusuk yang tak membutuhkan kata-kata untuk menunjukkan siapa yang berkuasa di ruangan itu.
"Apa semua sudah selesai?" Suara dingin Audy. Ekor matanya mengarah ada ampul kosong yang Hania pegang.
Hania mengangguk kecil , menunduk. Tangannya meremas pelan, ampul yang ada di tangannya. Audy mendengus kecil, menyeringai melihat Hania yang mengigil seperti anjing yang kehujanan saat malam hari. Sedikit aneh, tapi itu baik. Itu berarti dia paham posisinya, dan siapa nyonya rumah di mansion itu.
“Saya ingin sendiri dengan suami saya,” ucap Audy pelan, tapi tegas . Suara wanita itu tajam seperti pisau belati yang terbungkus sutra keanggunannya.
"Baik, Nyonya." Hania mundur teratur, memberikan ruang itu Audy untuk lebih dekat ke ranjang Brivan.
Hania menunduk. Tidak bisa membantah, tak punya kekuatan untuk menolak. Ia menatap Brivan sejenak, lalu mulai melangkah menjauh. Ada perasaan lega luar biasa. Hania sempat takut Audy mendengar apa obrolannya denga Fira.
Fira pun melakukan hal yang sama, ia tak berkata apapun, hanya berjalan lurus ke kamar mandi untuk mencuci tangannya, sebelum akhirnya keluar bersama Hania. Pintu tertutup, Fira menengenggam tangan Hania, dua gadis itu saling menatap dan menghela nafas panjang.
"Hampir saja," lirih Hania yang disambut angggukan oleh Fira.
"Sangat menegangkan."
"Kau mau ke dapur, aku akan membuatkanmu puding kurma," ucap Fira sambil melangkah lebih dulu kearah dapur.
"Puding," gumam Hania dengan mata berbinar. Wanita berbadan dua itu pun segera menyusul langkah Fira dengan riang, seolah lupa dengan ketegangan yang baru ia rasakan.
Audy berjalan mendekat. Langkahnya pelan, bergetar… atau pura-pura bergetar. Ia duduk di sisi tempat tidur, mengusap tangan Brivan yang masih dingin namun terasa nyata. Tangannya menyusuri wajah suaminya perlahan, menyentuh alisnya, garis rahangnya, dan bibir yang lama tak pernah berucap.
“Sayang… bukalah matamu. Aku… aku nggak sanggup terus begini,” bisiknya. Suaranya pecah—penuh rindu. Tapi hanya sejenak.
Karena kemudian, matanya sedikit mengerut. Suasana hatinya berubah perlahan, seperti kabut yang ditelan cahaya pagi.
Wajah cantik itu mengeras. Sentuhannya tetap lembut, tapi tatapannya berubah. Bukan cinta… tapi ketakutan. Kegelisahan yang tumbuh dari ketidakpastian. Dari rasa takut kehilangan kendali.
Ucapan Mario beberapa hari lalu kembali terngiang di pikirannya.
"Dia akan tahu… jika calon anak kalian sudah tidak ada. Dia akan tahu kamu hancur, dan tidak bisa memiliki keturunan lagi, dia juga akan tahu ada wanita lain yang sedang mengandung anaknya. Lalu .... Apa yang akan dia lakukan, Audy ...?"
"Brivan tidak akan siap, kau juga tidak. Dunia yang kalian usahakan akan pecah berkeping-keping lebih parah dari sekarang. Remuk, tak bersisa .... Dan ...hilang...."
"Aku rasa untuk sekarang lebih baik seperti ini, Audy.”
Dan kini, kalimat_kalimat itu terasa seperti kebenaran yang pahit, kemungkinan yang seolah bisa Audy lihat dengan nyata. Brivan mungkin sangat mencintainya, tapi amarah laki-laki itu juga menakutkan, rasa kecewa Brivan .... Itu lebih menakutkan lagi.
Audy menggigit bibirnya perlahan. Matanya menatap Brivan lebih lama.
“Kamu pasti akan pergi dariku, kan? Kalau tahu semuanya… Kalau tahu aku… mengunakan wanita lain untuk mengandung anak kita.Kamu akan pergi. Kamu nggak akan pernah memaafkan aku.... aku tidak mau ... Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. KIta harus selalu bersama ... Seperti janji kita, hmm ....”
Air mata yang tadi turun sebagai cinta, kini jatuh karena rasa takut. Ia menghela nafas panjang, membungkuk sedikit, lalu berbisik di dekat telinga pria itu.
“Tidurlah sedikit lebih lama, sayang. Sampai tangis bayi kita menggema di mansion ini… Setelah itu, semuanya akan kembali seperti semula. Maafkan aku. Tapi mungkin… ini yang terbaik untuk kita semua.”
Sebuah ciuman jatuh di pipi Brivan—lembut dan getir, seperti akhir yang tak pernah diminta.
Ivana berdiri tak jauh dari tempat tidur, memperhatikan tanpa suara. Matanya menyipit pelan, menyeringai kecil. Wajahnya penuh kepuasan. Seolah, keputusan Audy adalah bagian dari rencana besar yang tak boleh goyah.
Tak ada yang bicara. Hanya suara jam dinding yang berdetak tenang. Waktu berjalan, sementara moral perlahan terkikis dalam diam.
Keduanya lalu melangkah pergi. Pintu kamar tertutup pelan, tak ada suara benturan. Hanya klik lembut yang memisahkan mereka dari tubuh yang diam di atas ranjang.
Namun…
Di dalam keheningan itu—tiba-tiba…
Jemari tangan kiri Brivan bergerak.
Sedikit.
Pelan.
Tapi cukup jelas. Ia menggenggam ujung selimut yang berada dalam jangkauannya. Otot tangannya berkontraksi lemah, seperti seseorang yang sedang naik ke permukaan dari dasar laut yang gelap.
Detak mesin monitor tetap stabil, tapi tubuh itu mulai memberi tanda… bahwa perlawanan sudah dimulai.
untuk Hania dan Fira tetaplah seperti biasa jika melihat Brivan bangun.
bangun segera,agar kamu mengetahui kepahitan yang dirasakan oleh haniah
.nnti aja sadarnya pas ada Hania sma Fira