Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tisu dari Fabian
Namanya Fabian Bimantara. Salah satu anggota Berbisa, sebutan untuk Berandal Bina Bangsa, geng semi resmi di sekolah ini yang selalu bikin heboh karena hal-hal bodoh yang mereka lakukan biasanya akan selalu viral di grup angkatan.
Aku dan Fabian, atau yang lebih sering dipanggil Bian, pernah sekelas waktu kelas sebelas. Awalnya kami tidak pernah bicara. Dunia kami cukup berbeda, aku dengan circle yang kalem, dia dengan dunia berbisanya yang ribut dan bebas. Tapi semua berubah waktu dia tiba-tiba minta bantuanku.
Katanya, dia naksir Erina. Dan karena aku salah satu sahabat dekat Erina, dia pikir bisa minta bantuan dariku. Awalnya aku ogah-ogahan, tapi karena dia begitu gigih dan jujur aja, waktu itu aku sedang butuh distraksi dari masalahku sendiri, akhirnya aku setuju.
Lucunya, bahkan setelah Erina menolaknya secara halus, Fabian masih sering ngechat aku. Nggak ada tujuan spesifik. Kadang cuma kirim meme, kadang nanya PR, kadang cuma kirim lagi apa? di jam dua pagi (yang dia tahu aku nggak bakal jawab). Aneh memang. Tapi kami nyambung, entah kenapa.
Meski begitu, di dunia nyata, kami hampir nggak pernah saling sapa. Hubungan kami semacam eksklusif. Hanya eksis di ruang percakapan virtual. Bahkan Nizan, Mira, Erina dan temanku lainnya juga nggak tahu aku sedekat apa dengan Bian.
Dan kini dia duduk di sampingku. Benar-benar duduk di dunia nyata. Di tempat yang tidak terduga, pada momen yang tidak terduga pula.
Aku masih menyeka sisa air mata ketika tiba-tiba dia mengulurkan sesuatu ke arahku. Sekotak tisu mini.
"Kalau pakai lengan seragam, nanti kena tegur lagi sama Bu Sari," katanya pelan, tanpa melihatku.
Aku menoleh sedikit, lalu mengambil tisunya. Menggumamkan terima kasih dengan suara nyaris tak terdengar.
Dia hanya mengangguk, tetap menatap lurus ke depan. Sejenak kami tenggelam dalam keheningan yang anehnya tidak membuat canggung.
"Ada yang mau lo ceritain?" tanyanya, akhirnya.
Aku menggeleng pelan, masih memeluk lututku. "Enggak."
"Diputusin?" tanyanya santai.
Aku menoleh, menatapnya sejenak. "Nggak pacaran."
"Jadi? Dighosting?"
Aku tertawa kecil. "Nggak juga sih."
Dia tersenyum tipis. "Lah? Jadi apa dong? Lo lagi drama?"
Aku kembali tertawa kecil. Tidak menjawab pertanyaan nya.
"Ngapain lo ke sini?" tanyaku akhirnya.
Dia mengangkat bahu. "Tebak-tebakan."
Aku menatapnya heran. "Hah?"
"Gue tadi mau lompat pagar lewat belakang, eh malah liat lo kayak tokoh utama di sinetron yang ditinggal cowoknya mati. Gue mikir, lo butuh side character yang ngasih tisu."
"Oh, jadi lo ngide mau jadi side character? Tepat juga ya timingnya," gumamku.
"Iya dong. Itu salah satu skill spesial gue yang lo belum tahu," kekehnya.
"Lo kenapa sih, Sya? Penasaran gue. Dari pagi gue liat lo murung banget." tanyanya, lebih lembut kali ini.
Aku membuka mulut, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Tentang Nizan? Tentang Bu Sari? Tentang perkelahian dua minggu lalu?
"Panjang," jawabku akhirnya.
"Gue nggak buru-buru sih."
Aku tertawa. "Bener? Bukannya tadi lo mau bolos lewat pagar belakang?"
"Kalau buat Tisya ada lah waktunya," jawabnya sambil senyam senyum menatapku.
"Dih. Malah ngegombal. Kapan-kapan aja ceritanya."
"Yaudah deh," katanya sambil berdiri, membersihkan celananya yang terkena dedaunan.
Namun sebelum sempat dia benar-benar pergi, langkah cepat dari arah lorong membuatku menoleh. Dan, tentu saja, Azzam muncul dengan wajah bingung dan entah kenapa sedikit panik.
"Lo di sini?" katanya, menatapku lalu menoleh ke Fabian. "Kalian abis ngapain?"
Aku buru-buru bangkit berdiri, menyeka sisa air mata dengan tisu yang baru saja kubuang ke saku. "Cuma duduk," jawabku cepat.
Azzam masih menatapku, lalu ke Fabian. Matanya menyipit sedikit. "Temannya Ryan?"
Fabian menepuk-nepuk celananya santai. "Yoi. Gue duluan ya, Sya."
Dia tidak menunggu tanggapan. Hanya memberi anggukan singkat pada Azzam lalu berbalik, berjalan santai menuju arah lapangan.
Azzam menatap punggung Fabian sampai dia menghilang dari pandangan. Lalu menoleh lagi padaku.
"Siapa, Sya? Kok lo bisa bareng dia?"
Aku mengangkat bahu. "Temen gue, Bian. Dia cuma lewat."
"Terus duduk bareng lo gitu aja?"
"Dia ngasih tisu," jawabku singkat, menunduk.
"Ngasih tisu?" Azzam mengerutkan kening. "Lo habis nangis ya?"
"Hm," jawabku singkat, tidak bisa mengelak.
"Nizan ngapain lo?" tanyanya sambil memegang bahuku melihat apakah diriku lecet atau tidak.
Aku melepaskan tangannya dari bahuku. "Dia nggak mungkin mukul gue Azzam. Kalau mukul, udah pasti gue pukul balik lah."
"Terus kenapa lo nangis? Dia bilang apa?" tanyanya semakin penasaran.
"Dia nyuruh gue jauhin dia. Dia udah suka sama orang lain."
Azzam tampak tersenyum lebar. "Lah? Gitu? Cari cowok lain aja, kirain gue diapain lo sama Nizan."
Aku meliriknya aneh. Bahagia banget kayanya si Azzam melihatku ditinggalkan Nizan.
"Bye the way, sejak kapan lo kenal deket sama anak Berbisa?" sambungnya. Akhir-akhir ini memang tingkat kepo Azzam sepertinya semakin meningkat.
"Kami kan sekelas pas kelas sebelas, Azzam," jawabku.
Azzam memiringkan kepala. "Tapi lo kok nggak pernah cerita. Gue kira lo nggak suka anak-anak Berbisa. Soalnya nggak pernah keliatan ngobrol juga."
"Nggak kenal semuanya, cuma beberapa anak Berbisa aja. Bian sih salah satu yang dekat," gumamku.
"Dekat gimana?" Azzam menatapku serius.
Aku terdiam sejenak. "Iya temenan dekat. Dia pernah minta tolong soal Erina. Dari situ mulai sering chat."
"Erina?" Azzam mengangkat alis. "Dia suka sama Erina?"
"Dulu sih. Tapi Erina nolak," jawabku jujur. "Tapi kami tetap chat kadang-kadang. Walau jarang ngobrol langsung sih."
Azzam menatapku lama, seolah mencoba membaca isi kepalaku.
"Dekat temenan kan? Bukan suka?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya seperti tamparan. Jujur, aku bahkan belum pernah memikirkan kemungkinan itu. Fabian hanya seseorang yang muncul di saat-saat aneh dalam hidupku. Tapi suka? Aku tidak tahu.
"Azzam," aku menatapnya. "Baru aja ada orang yang minta aku jauhin dia. Gue nggak punya energi buat mikirin suka atau nggak suka hari ini."
Dia diam, mengangguk pelan.
"Gue cuma penasaran," katanya akhirnya. "Masih shock aja lo temenan sama anak Berbisa."
Aku mengangguk. "Memang nggak kelihatan temenan sih. Soalnya ribet kalau sampai Nizan tahu."
Azzam menatapku. Lama. Lalu menghela napas.
"Oke. Gue paham."
Kami berjalan kembali ke kelas dalam diam. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan diam yang cukup saling. Diam yang menandakan bahwa hari ini memang tak perlu dijelaskan semuanya.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Apakah Bian akan menjadi pengganti Nizan dalam hidupku? Atau malah Azzam? Tapi kan Azzam sahabatku, malu dong aku kalau sampai aku duluan yang suka sama dia.
Tapi yang kutahu, hari ini aku menangis. Dan seseorang memberiku tisu.
Dan entah kenapa, itu cukup.