NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kembali Sekolah

Sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah. Sejak pagi ini, ponselku mulai ramai. Teman-teman kelasku satu per satu mengirim pesan menanyakan keadaanku. Katanya sih wali kelasku yang baru, Bu Sari, mencariku dan memintaku segera masuk.

Dari sekian banyak pesan itu, satu nama membuatku mendadak berhenti menggulir layar. Azzam. Setelah dua minggu penuh keheningan, akhirnya dia muncul dan cerewet.

Pesannya masuk bertubi-tubi.

...Azzam...

Sya, lo kemana kok gak sekolah?

Lo berantem lagi sama Nizan?

Atau lo ngambek sama gue karena gue ga bales chat lo?

Idih, ngambek ya?

Sya, bales woi.

Cerita sama gue lo kenapa.

Lo ngebales gue nih ceritanya. Ga baik loh dendaman gini.

Syaaaaa.

Aku membaca semua itu dengan tatapan datar. Enak aja. Udah ngilang dua minggu tanpa penjelasan, sekarang sok akrab. Mau sok perhatian segala. Emangnya aku robot yang bisa dinyalain lagi begitu aja?

Jadi, pesannya kubiarkan mengendap. Centang dua abu-abu. Dan puas rasanya.

Sore harinya, aku duduk di bangku kayu halaman rumah. Udara sore lumayan adem dan aku memutuskan keluar hanya untuk cari angin. Tapi saat sedang asyik menatap pohon mangga di depan rumah, suara motor berhenti di depan pagar.

Kupalingkan kepala dan langsung terlonjak kecil. Azzam. Serius?

Dia membuka helm dengan santai dan mendorong pagar rumah. Masuk seolah-olah ini rumah neneknya. Untung Bang Shaka lagi nggak di rumah. Bisa-bisa cowok ini langsung diseret keluar tanpa banyak tanya.

"Capek banget. Gue duduk ya," katanya santai, lalu langsung menjatuhkan tubuh ke bangku di sebelahku.

Aku menatapnya dengan tatapan kosong. Dia bahkan nggak merasa bersalah sedikit pun.

"Gila sih," gumamnya pelan. "Gue chat dari pagi nggak dibalas. Tau-tau lo duduk nyantai di sini kayak gak ada yang terjadi."

"Terserah gue lah," balasku enteng, senyum seenaknya. "Lo aja kemarin ngilang. Suka-suka lo. Nggak mikirin gue."

"Halah, alesan lo," dia mendelik ke arahku.

"Dih."

"Kenapa gak masuk?" tanyanya akhirnya, nadanya datar, tapi ada rasa khawatir di matanya.

"Males," jawabku pendek.

"Lo berantem lagi sama Nizan?"

Aku melirik sebal. "Kepo."

"Tisya, udah ih ngambeknya."

"Siapa yang ngambek? Lo kali yang ngambek," balasku cepat.

Dia tertawa kecil, lalu mengusap lehernya sambil berkata, "Hmm... okey. Sorry ya gue nggak bales chat lo. I'm so sorry Tisyaaaa."

Aku menahan tawa, tapi wajahku masih berusaha jutek. "Apaan sih, Zam? Pulang sana. Hus, hus."

"Serius ini gue nanya. Kenapa lo nggak sekolah?" katanya lagi, kali ini lebih tenang.

"Gak denger ya? Gue jawab tadi. Males."

"Hmmm," gumamnya pendek. Lalu tiba-tiba dia berdiri.

"Besok sekolah nggak?" tanyanya sambil merapikan jaketnya.

"Ngga."

"Oke, gue jemput kalo gitu," sahutnya cepat. "Bilang Mami ya lo berangkat sama gue. Oke byeee."

Dia sudah melangkah ke motor dengan senyum puas di wajahnya.

Aku mendongak, kaget. "Eh?! Gak mau ya gue berangkat sama lo!"

Azzam menoleh sambil tertawa lebar. "Udah lah ngambeknya. Besok gue bawain lolipop deh. Rasa stroberi."

Begitu Azzam meninggalkan rumahku sambil tertawa-tawa dengan helm di tangan dan motor yang perlahan menjauh, aku masih duduk diam di bangku kayu, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Senyumnya, gaya sok nyebelin itu, dan caranya seolah semua baik-baik saja, padahal aku sempat berpikir aku tidak akan melihatnya lagi.

Tak lama setelah itu, langkah pelan terdengar dari arah teras. Aku menoleh. Kak Ruby. Rambutnya digulung asal di belakang kepala dan matanya menyiratkan rasa penasaran yang ditahan-tahan.

Ia berhenti di depanku, lalu duduk di ujung bangku yang sama. Dengan alis sedikit terangkat, ia bertanya pelan, "Siapa tadi, Sya?"

Aku menarik napas. "Bestie gue. Azzam."

Kak Ruby tersenyum kecil, lalu matanya menyipit nakal. "Ganteng."

Aku spontan menoleh padanya. "Nggak lah. Biasa aja," sahutku buru-buru, menahan senyum.

"Lo nggak suka sama dia?" tanyanya sambil mengamati ekspresiku.

"Nggak lah, Kak," jawabku sambil mengalihkan pandangan ke arah jalan. "Sahabat doang."

Kak Ruby hanya mengangguk, tapi aku tahu dia belum selesai. Dan benar saja, selanjutnya dia berkata dengan nada lebih pelan, seperti sedang menjebak, "Kalau sama Nizan?"

Jantungku langsung berdebar tak karuan. Pertanyaan itu seperti dilempar tepat ke tengah dadaku. Rasanya seperti ketahuan, padahal aku belum melakukan apa-apa.

Aku cepat-cepat menunduk, mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tak mungkin aku jujur. Kak Ruby baru saja mulai dekat denganku. Aku nggak mau dia menjauh hanya karena tahu aku juga menyukai orang yang sama dengannya.

"Nggak," jawabku, suara nyaris bergetar. "Kalau Nizan... cuma teman."

Aku tersenyum kecil, semoga cukup meyakinkan. Kak Ruby menatapku beberapa detik, lalu tersenyum dan mengangguk pelan, seperti puas dengan jawabanku.

Tapi setelah dia masuk kembali ke rumah, aku masih duduk diam. Hatiku kembali terasa berat.

...****************...

Besok paginya, Azzam benar-benar menepati ucapannya.

Sejak pukul enam lewat tiga puluh, suara motornya sudah terdengar di depan rumah. Aku yang baru selesai sarapan dengan Mami hanya bisa menatap ke luar jendela sambil menarik napas panjang. Semalam kami sempat berbicara cukup lama. Mami memintaku mempertimbangkan kembali niat pindah sekolah. Apalagi surat pindahku ternyata tidak bisa diproses karena aku sudah di kelas dua belas. Terlalu riskan, kata kepala sekolah. Akhirnya, mau tidak mau, aku memutuskan untuk kembali.

Kembali ke sekolah.

Kembali menghadapi semua hal yang aku hindari beberapa hari ini.

Pagi ini, aku berdiri di depan pintu rumah dengan seragam batik rapi, bukan seragam pramuka seperti seharusnya. Entah kenapa, aku memang sengaja salah kostum. Mungkin aku benar-benar ingin dihukum. Atau setidaknya, membuat sedikit kekacauan kecil yang bisa mengalihkan rasa gugupku.

"Berangkat ya, Ma," kataku sambil mencium tangan Mami.

Ia hanya mengangguk, matanya sejenak mengamati seragamku. "Hari ini Kamis, Dek. Adek lupa hari apa gimana?"

Aku buru-buru menyambar tas. "Iya, tau. Salah. Biarin aja, Ma."

Mami menghela napas, tapi tidak berkata apa-apa lagi.

Di luar, Azzam duduk di atas motor, helm hitamnya sudah terpasang setengah. Begitu melihatku keluar, matanya melebar.

"Lo serius pake batik?" serunya geli.

"Serius dong," sahutku enteng. "Biar dapet hukuman. Kan seru."

Dia terkekeh, lalu menggeser tubuhnya sedikit. "Ayo naik, Batik Girl."

Aku naik ke boncengan, dan motor segera melaju di jalanan pagi yang masih sepi. Angin menerpa wajahku. Rasanya aneh, tapi juga sedikit menyenangkan. Setidaknya aku tidak sendirian.

Di tengah perjalanan, Azzam tiba-tiba menoleh sedikit ke arahku. "Sya, coba rogoh kantong hoodie gue deh, yang kanan."

Aku mengerutkan dahi. "Ngapain?"

"Udah, ambil aja."

Dengan setengah penasaran, aku menyelipkan tanganku ke dalam kantong hoodienya. Dan benar saja, jari-jari tanganku menyentuh sesuatu yang familiar. Sebuah lolipop rasa stoberi, favoritku sejak dulu. Ternyata semalam dia tidak bercanda.

Aku terdiam sejenak, menatapnya.

"Gue inget lo suka itu," katanya ringan. "Gue beli dua. Jangan bilang gue nggak perhatian, ya."

Aku mendecak pelan, pura-pura cuek, walau hatiku sedikit mencelos.

"Hmm. Mujuk gue nih ceritanya," godaku.

"Ngga sih. Pengalihan aja biar lo nggak ngomel sepanjang jalan. Jadi mulut lo harus disumpel," sahutnya sambil nyengir.

Aku membuka bungkus lolipop itu dan menggigit ujungnya perlahan.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!