Ayo Kita Cerai, Suamiku!

Matahari sudah lama menyelinap masuk lewat celah tirai, menyinari ruangan yang semalam menjadi saksi bisu gairah dua insan yang baru saja resmi menyandang status suami istri. Namun di atas ranjang berantakan, selimut kusut menutupi sebagian tubuh mereka yang masih saling melekat, Niken dan Bastian tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Wajah mereka tenang, napas teratur, seperti dua anak kecil yang enggan membuka mata saat akhir pekan tiba.

Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh. Seakan waktu tak berjalan, mereka hanya ingin tetap berada dalam dekapan yang hangat itu.

"Sayang... aku lapar," gumam Niken lirih sambil mengerjapkan mata, suaranya serak dan manja.

"Hmm?" Bastian hanya bergumam, memeluk tubuh Niken lebih erat. Wajahnya mengubur di lekuk leher perempuan itu.

"Ayo mandi dan kita turun cari makanan," rengek Niken, mencoba menggeliat.

"Tidak," balas Bastian malas. "Kita pesan makanan saja lewat telepon. Kamu tetap di sini. Jangan turun dari tempat tidur."

Niken tertawa kecil, geli mendengar suaranya yang berat dan manja. "Aku bau, aku perlu mandi dan menggosok gigi."

"Aku suka baumu," jawab Bastian cepat, memejamkan mata sambil menarik napas panjang dari rambut Niken. "Kamu wangi, bahkan setelah... semua itu." Ia mengedip nakal, membuat wajah Niken memerah.

Niken mendorong dada suaminya pelan. "Aku bisa pingsan kalau terus dihajar tanpa henti olehmu," ujarnya setengah bercanda, setengah protes.

Bastian tergelak, kemudian menunduk mencium kening istrinya. "Baiklah, kita istirahat... Tapi mandi dulu. Ayo mandi bersama."

Mata Niken langsung menyipit. "Aku tidak yakin kita hanya sekadar mandi saja di kamar mandi," ucapnya curiga.

Bastian menanggapi dengan seringai lebar. "Kita coba dulu. Kalau gagal, ya... kita mandi ulang setelahnya."

Wajah Niken makin merona. Ia tahu benar betapa tak bisa diprediksi suaminya yang satu itu, apalagi saat keduanya sedang sendiri, tanpa gangguan.

Meski tubuhnya lelah, ada bagian dari dirinya yang tersenyum lebar karena bahagia. Bastian bukan hanya suami, tapi juga sahabat yang bisa membuatnya tertawa, sekaligus pria dewasa yang mampu membuatnya merasa diinginkan sepenuh hati.

"Kalau kamu nakal, aku keluar sendiri dari kamar mandi," ancam Niken setengah serius.

"Aku akan menggendong mu kembali masuk," jawab Bastian santai.

Mereka akhirnya bangun, meski dengan langkah malas. Selimut dibiarkan terbuka, udara dingin menyapa kulit, namun hati mereka tetap hangat. Tak ada yang lebih indah dari pagi pertama sebagai suami istri — pelukan, kehangatan, dan tawa ringan yang memenuhi udara.

Hari masih panjang, dan cinta mereka baru saja dimulai.

***

Ponsel Damar bergetar pelan di atas meja kerja. Ia meraihnya tanpa antusias, membuka layar hanya karena kebiasaan. Namun, saat melihat nama Fayola di notifikasi WhatsApp, matanya langsung menajam.

Satu status baru.

Ia mengetuk layar. Dan di sanalah, seperti tamparan yang menyambar tanpa ampun, terpampang sebuah foto bertiga—Niken, Bastian, dan Fayola sendiri. Ketiganya mengenakan pakaian pengantin. Senyum bahagia menghiasi wajah Niken, yang tampak menawan dalam balutan gaun putih sederhana, sementara Bastian berdiri gagah di sampingnya. Fayola berdiri di tengah mereka, tampak ceria seperti baru saja menghadiri pesta impian.

Darah Damar langsung mendidih.

"Menikah...?" desisnya, nyaris tak percaya. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak karuan. "Mereka menikah? Dan aku... tidak tahu apa-apa?"

Tangannya mengepal di atas meja. "Aku mantan suaminya... dan dia bahkan tidak mengundangku? Bahkan tidak memberi kabar?" Ia tertawa sinis, perih. "Ibuku pun tidak tahu. Tidak diundang. Apakah kami benar-benar sehina itu di matanya?"

Kepalanya penuh pertanyaan, amarah, dan perasaan yang tak bisa ia uraikan satu per satu. Cemburu? Iya. Kecewa? Lebih dari itu.

"Apa dia pikir aku akan mengacaukan pernikahannya?" gumam Damar pelan, penuh luka. "Apa dia takut aku akan datang dan membuat skandal? Begitu hinakah aku di matanya?"

Ia menutup galeri dengan kasar, melempar ponsel ke sofa seolah benda itu membawa kutukan.

Saat itu, Tania masuk membawa sepiring makanan. Aroma ayam goreng hangat semestinya bisa menggugah selera siapa pun, tapi tidak untuk Damar saat ini.

"Ayo makan dulu," ucap Tania lembut, meletakkan piring di meja kecil di hadapannya. Matanya penuh perhatian, tapi Damar hanya menggeleng pelan.

"Tidak, Tan. Aku tidak lapar," jawabnya dingin. Wajahnya muram, matanya tetap menatap ke kejauhan.

Tania memperhatikan gerak-geriknya dengan waspada. "Kenapa? Kau kelihatan tegang..."

Damar menarik napas panjang, mencoba meredam bara di dalam dadanya. "Niken menikah... dengan Bastian."

Tania mengerutkan kening. Ia tahu siapa Niken. Ia tahu siapa Bastian. Dan ia tahu betapa dalam luka yang ditinggalkan oleh perceraian itu untuk Damar.

"Fayola pasang foto. Mereka bertiga. Di hari pernikahan. Pakaian pengantin lengkap. Aku... bahkan tidak diberi tahu, Tan. Bahkan ibuku pun tidak diundang. Apa kami ini hantu buat Niken sekarang?"

Tania duduk di sampingnya, menggenggam tangan Damar perlahan. "Mungkin dia hanya... Tidak ingin membuka luka lama. Atau dia ingin mulai benar-benar dari awal."

"Tapi aku bukan orang asing," ucap Damar lirih. "Aku pernah jadi suaminya."

Ia terdiam sejenak, sebelum menambahkan, "Dia benar-benar keterlaluan."

Dan pagi itu, Damar duduk dalam diam, dengan dada yang bergemuruh. Bukan karena cinta yang tersisa, tapi karena egonya yang terbakar habis oleh pengabaian yang menyakitkan.

'Kau sudah berjanji padaku akan melupakannya. Tapi sikapmu hari ini sungguh berbanding terbalik dengan janjimu itu Mas! Aku kecewa padamu. Kalau saja aku tak butuh uangmu, aku pasti sudah minta cerai.' batin Tania panjang lebar.

Bersambung....