Salma dan Rafa terjebak dalam sebuah pernikahan yang bermula dari ide gila Rafa. Keduanya sekarang menikah akan tetapi Salma tidak pernah menginginkan Rafa.
"Kenapa harus gue sih, Fa?" kata Salma penuh kesedihan di pelaminan yang nampak dihiasi bunga-bunga.
Di sisi lain Salma memiliki pacar bernama Narendra yang ia cintai. Satu-satunya yang Salma cintai adalah Rendra. Bahkan saking cintanya dengan Rendra, Salma nekat membawa Rendra ke rumah yang ia dan Rafa tinggali.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Sejak awal kita punya perjanjian kita hidup masing-masing. Jadi, aku bebas bawa siapapun ke sini, ke rumah ini," kata Salma ketika Rafa baru saja pulang bekerja.
"Tapi ini rumah aku, Salma!" jawab Rafa.
Keduanya berencana bercerai setelah pernikahannya satu tahun. Tapi, alasan seperti apa yang akan mereka katakan pada orang tuanya ketika keduanya memilih bercerai nanti.
Ikuti petualangan si keras kepala Salma dan si padang savana Rafa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cataleya Chrisantary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayang
33
Salma kesal tapi ia bangun dan sekarang mandi. Kebiasaan lama Salma selama di Jakarta yaitu mandi 2x tidak bisa diubah meskipun cuaca sedang dingin namun Salma tetap mandi.
Perempuan itu segera memakai pakaiannya. Sesekali Salma tetap menatap tas miliknya. Salma benar-benar sedih dan patah hati rasanya melihat tas impiannya sejak dulu sekarang rusak robek begitu saja di sayat oleh benda tajam.
Salma keluar dari kamar bersiap untuk pergi. “Sal, kamu gak akan bawa baju apa? Kita nginep.”
“Hah, nginep? Kenapa harus nginep segala kan Cuma mau bikin permohonan passport aja.”
Rafa lupa, ia memang tidak mengatakan jika mereka akan pergi ke Ottawa. “Kita ke Ottawa, Salma.”
“Ya kenapa gak pulang pergi aja?”
“Gak bisa. Hari ini aku baru buat janji ke sana. Besok baru kita bisa bikin permohonan. Pasca pandemi emang gitu, harus serba bikin perjanjian dulu.”
“Kenapa gak besok aja?”
“Sal, jarak dari sini ke Ottawa itu kayak dari Jakarta ke Cirebon. Kalau besok pagi, belum tentu perjalannanya lancar. Udah kamu jangan banyak nawar deh. Cepet sana bawa baju.”
“Aku gak mau!” Salma kembali drama menyilangkan tangannya. “Aku pengennya pulang pergi, aku gak mau nginep.”
“Kita nginepnya di hotel, pisah kamar. Tapi ya sudah kalau kamu gak mau terserah. Toh, yang butuh passport itu kamu bukan aku.”
“Ish yaudah bentar!”
Ingin rasanya protes lagi tapi apa mau dikata. Salma memang yang membutuhkan passport itu. Salma yang membutuhkan buku kecil yang bisa membuatnya pergi dari Canada.
Salma sadar jika dirinya saat ini yang paling butuh passport. Harusnya ia memang beruntung Rafa mau mengurusi semuanya hingga membuat perjanjian untuk hari esok. Sambil mengemasi beberapa baju dan beberapa barang, Salam akhirnya membawa satu buah koper.
Mereka berdua bernagkat menggunakan jalan darat. Rafa mengemudikan mobil. Namun, karena Rafa tahu Salma adalah tipe yang tidak bisa diam ketika dalam perjalanan, makanya, Rafa sempat mampir ke salah satu pusat perbelanjaan dulu.
“Mau ngapain kesini? Mau sekalian belanja?” tanya Salma.
“Kamu mau cemilan gak? Cepetan turun jangan banyak bantah!”
Dengan malas Salma turun. Itu adalah salah satu pusat perbelanjaan yang pernah Salma kunjungi selama Rafa bekerja. Rafa mengambil keranjang. Dan membiarkan Salma mengembil beberapa camilan. Sementara Rafa mengambil beberapa minuman.
Ketika akan membayar, karena sistemnya self checkout tiba-tiba saja ada seseorang yang menghampiri mereka.
Pada intinya staff tersebut menawarkan kembali bantuan pada Salma karena mengira Salma tidak bisa lagi menggunakan mesin self checkout tersebut. Lalu Rafa malah bertanya dan pelayan yang berada di toko tersebut membenarkan jika Salma pernah kesusahan menggunakan mesin tersebut.
Wajah Salma seketika merah. Karena ia malu dan memang sengaja Salma tidak mengatakan hal ini pada Rafa. Karena sudah jelas Rafa pasti akan menertawakannya.
“Apa?” kata Salma sensi.
Rafa hanya menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kembali. Mereka akhirnya keluar dan membereskan barang-barang itu di belakang mobil agar gampang di jangkau.
“Kamu gak bisa pake mesin itu? Ya ampun, aku bisa bayangin bingungnya kamu waktu itu,” kata Rafa.
Sementara itu Salma yang malu sekarang memilih diam dan mulai memakan camilan. Rafa menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ya tidak heran karena ini mungkin pengalaman pertama Salma.
Mereka sekarang masuk ke highway. Rafa terus mengemudikan mobilnya sementara Salma benar-benar tidak berhenti mengunyah sedari tadi.
“Sal, minta tolong ambilin minum, aku haus.”
“Ambil aja sendiri!”
“Mau celaka kita? Ini Highway, Salma. Meleng dikit udah jadi ubi kita.”
Walaupun tidak mau tapi Saama mengambilkan air minum untuk Rafa sekalian membuka tutup botolnya agar Rafa tidak kesusahan. Salma nampaknya masih berniat untuk hidup dan tidak ingin jadi ubi diusia mudanya.
Selesai makan, dari sudut matanya, Rafa melihat Salma kembali menggenggam tas miliknya. Ia elus tas hitam itu yang sungguh sangat ia sukai.
“Udah jangan diliatin terus. Mau kamu liatin seabad juga itu tas agak akan mungkin bagus lagi.”
Salma kesal mendengar ucapan Rafa namun kali ini ia menjawab. “Butuh enam bulan bagi aku buat beli tas ini. Aku nabung enam bulan. Selama enam bulan itu aku juga gak makan siang, gak beli kopi, gak nongkrong. Aku bilang aku lagi diet intermitten fasting. Padahal aku lagi nabung buat beli tas ini. eh sekarang tas ini malah rusak.”
Agak lucu juga mendengar pengakuan itu Salma. Terbayang oleh Rafa seorang Salma selama enam bulan tanpa kopi, tanpa nongkrong dan harus menahan lapar makan siang demi tas yang sekarang udah rusak berat.
“Sayangku,” kata Salma. Dua detik lamanya Rafa sempat terhenyak tapi kemudian tersadar oleh kalimat lanjutan Salma. “Kenapa kamu harus rusak sih, yang. Kamu tuh kesayangan mama tahu. Dasar copet gak ada ahlak padahal kalau mau duit tinggal minta bukan main rusakin barang orang.”
Salma itu, tipikal orang yang kalau dalam perjalana jauh kalau tidak ngomel ya ngemil. Dan sekarang sisanya Salma terus ngomel tanpa hentinya. Mengomel kekesalannya karena tas favoritnya sudah tidak dapat di pakai.
Rafa hanya diam, diam-diam mendengarkan ocehan Salma meskipun memekak telinganya. Untungnya mereka memang sudah hampir sampai ke hotel yang dituju oleh Rafa.
Mereka sampai di hotel. Dan benar, Rafa memesan dua kamar hotel untuk dirinya dan untuk Salma. Walaupaun sebenarnya Rafa ingin memesan satu kamar saja tapi dari pada Salma mengoceh lagi ya sudah ia membakar uangnya demi menginap satu malam.
Besoknya sekitar pukul sepuluh pagi, Rafa dan Salma mengurus semua dokumen-dokumen untuk permohonan passport baru. Agak sedikit ribet tapi tidak seribet di Indonesia.
Pukul sebelas mereka keluar namun, kembali mengoceh lagi. Karena ketika Salma menanyakan perkiraan passportnya jadi kapan, dan jawabannya adalah sekitar lima tau enam minggu lagi karena kebetulan sekali, saat itu sedang ada banyak yang mengajukan permohonan passprot baru dengan kasus yang hampir sama seperti kasus Salma.
Mereka checkout pukul dua belas dan kembali berkendara menuju Montreal. Salma kali ini tidak banyak mengoceh maupun meratapi nasib tasnya. Salma terlihat tidur, mungkin karena terlalu lelah dengan perjalanan ini.
Sesekali Rafa menoleh ke arah Salma dan melihat Salma yang tidur dengan begitu nyenyaknya namun, tangannya tetap saja memeluk tas miliknya.
Salma tidur begitu nyenyak, hingga Salma baru bangun ketika mobil telah berhenti di sebuah parkir underground “Ini dimana? kamu bawa aku kemana?” tanya Salma penuh curiga.
“Udah jangan banyak protes ayo cepetan turun.”
“Iya mau kemana?” tanya Salma masih protes.
“Udah ayo turun aja. Bisa gak sih kamu ini gak ngeyel, telinga aku tuh sakit dengerin ocehan kamu.”
“Loh, emangnya salah apa? Aku Cuma tanya doang mau kemana?”
“Udah turun aja cepetan.”
Salma turun mengikuti Rafa jalan. Untungnya mereka memakai baju yang layak karena ternyata tempat ini adalah tempat dimana brand-brand luxury berkumpul. Mata Salma langsung termanjakan tapi, ia tiba-tiba ingat, sekarang ia jatuh miskin gara-gara semua kartu miliknya raib dalam dompetnya. Uangnya tetap ada tapi tidak bisa Salma pakai.
“Ayo cepetan masuk gak usah lemes gitu aku beliin tas yang kayak tas sobek kamu itu,” kata Rafa berhenti tepat di butik tas milik Salma.
“Hah, gimana?”
Rafa lalu mendorong bahu Salma agar masuk ke dalam. “Telinga aku sakit denger kamu terus menangisi tas sobek kamu itu. Udah cepetan sebelum aku berubah pikiran. Kamu bebas mau beli lagi tas sama kayak yang punya kamu atau yang lain terserah yang penting besok kamu buang tas sobek itu.”
Bersambung
Lah, Salma. Apa kagak kelepek-klepek sama Rafa dibeliin tas yang dia sendiri harus rela nabung selama enam bulan sambil nahan laper tiap jam makan siang wkwkwk.