Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Aditya sedang duduk di ruangannya yang tenang, sibuk menatap layar laptopnya ketika tiba-tiba pintu terbuka tanpa ketukan. Larasati masuk, langkahnya cepat namun ragu-ragu. Di tangannya, ia menenteng sebuah rantang makan berwarna pastel. Hari ini, tidak seperti kedatangannya sebelumnya, pakaian Larasati jauh lebih sopan—rok selutut dan blus lengan panjang menggantikan penampilannya yang biasanya lebih mencolok.
Sementara itu, asisten Aditya, Dika, sedang tidak berada di tempat. Ia tengah mengurus sesuatu di luar sesuai perintahnya.
Aditya menatap kedatangan Larasati tanpa ekspresi. Pandangannya dingin, bahkan lebih dingin dari hawa ruangan yang ber-AC.
"Untuk apa datang ke sini?" tanyanya tajam, suaranya datar tanpa emosi. "Di luar jadwal pekerjaan, saya tidak menerima kunjungan."
Ucapan itu bagaikan pisau yang mengiris perlahan, tapi pasti. Larasati tertegun sejenak. Namun perempuan itu, meski jelas tersentak, tetap berusaha berdiri tegak. Senyum yang dipaksakan muncul di wajahnya.
“Ditya... aku hanya mau mengantar makan siang untukmu,” ucapnya pelan. Ada harapan kecil dalam suaranya. “Hem... Kau tahu kan aku tidak bisa masak, dan ini pertama kalinya aku mencoba. Semoga kamu suka.”
Dengan hati-hati, Larasati melangkah mendekat dan meletakkan rantang itu di atas meja Aditya. Harapannya tampak jelas dari gerak-geriknya. Tapi Aditya hanya diam. Sorot matanya tetap dingin, bahkan tak sedikit pun melirik ke arah rantang itu.
Bagi Aditya, segalanya sudah selesai. Ia tidak tertarik membuka kembali bab yang telah ia tutup rapat. Semua tentang Larasati—rasa, cerita, dan luka—sudah usai.
“Silakan keluar,” ucapnya datar, tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke arah pintu, seolah itu satu-satunya hal yang penting saat ini.
Larasati menggigit bibirnya. Wajah cantiknya menegang, matanya berkaca-kaca meski ia berusaha keras menyembunyikannya. Namun ia tidak ingin mempermalukan diri lebih jauh.
"Baik... kalau begitu, aku pergi sekarang," katanya lirih, lalu segera berbalik dan melangkah keluar dari ruangan.
Pintu tertutup perlahan. Sunyi kembali menyelimuti ruangan itu. Rantang bekal masih tergeletak di atas meja, dingin dan tak tersentuh—sama seperti hati Aditya saat ini.
Tak lama setelah Larasati melangkah pergi meninggalkan ruangan, Dika—yang sempat berpapasan dengannya di koridor—masuk ke ruangan Aditya dengan wajah sedikit tegang. Ia bisa menebak dari ekspresi mantan kekasih tuannya bahwa kunjungan barusan bukanlah pertemuan yang menyenangkan.
Untungnya sebelum masuk ke ruangan Aditya, Dika sudah memberitahu pos penjagaan.
“Pos tiga, ini saya. Catat dan sebarkan ke seluruh tim pengamanan,” ucapnya cepat dan tegas. “Mulai hari ini, perempuan bernama Larasati hanya boleh masuk ke kantor jika tercatat dalam jadwal kerja sama resmi. Selain itu, jangan beri akses masuk ke gedung, apalagi ke ruangan Tuan Aditya. Ulangi perintah.”
Suara dari interkom menjawab, “Baik, perintah diterima. Akan segera disampaikan ke semua petugas.”
Setelah memastikan pengamanan diperketat, Dika kembali fokus pada tugasnya dan melangkah masuk ke dalam ruang kerja Aditya. Ia menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat.
“Lapor, Tuan. Saya sudah mengonfirmasi ke apotek tempat biasa Bu Raina membeli obat itu. Selain itu, saya juga sudah mengecek seluruh apotek di wilayah ini—tidak ada penjualan yang mencurigakan. Semua pembelian tercatat dan sesuai aturan,” lapornya dengan suara mantap.
Aditya menatap Dika dengan ekspresi tenang namun dalam. Sekilas terlihat kepuasan di matanya.
“Kau memang bisa diandalkan, Dika,” ujarnya sambil mengangguk pelan. “Ambil bonus bulananmu besok.”
Senyum tipis muncul di wajah Dika. “Terima kasih, Tuan.”
Ia lalu membungkuk ringan, berbalik, dan hendak keluar dari ruangan dengan langkah pasti. Sementara itu, Aditya kembali bersandar di kursinya. Matanya menatap kosong ke arah rantang makan yang masih berada di meja, tak tersentuh, dingin.
"Dika, tunggu. " panggil Aditya saat asisten itu hendak meraih gagang pintu.
Asisten Dika menoleh dan kembali dengan sopan.
"Bawa ini keluar, terserah mau kamu apakan." perintah Aditya.
"Baik tuan. " Asisten Dika segera keluar dari ruangan tersebut, Ia segera memberikan bekal tersebut kepada karyawan yang berpapasan dengannya.
Sementara itu, di tempat lain—jauh dari ruang kantor yang dingin dan kaku—Raina tengah menikmati waktu senggangnya di taman belakang rumah. Angin sore mengelus rambutnya pelan. Di pangkuannya, sebuah buku terbuka, meski pandangannya sudah tak lagi menari di antara baris kalimat.
Namun ketenangan itu terusik seketika saat salah satu pelayan datang tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat, langkahnya ragu-ragu.
“Nyonya... maaf, gawat...” ucapnya pelan, berusaha menjaga nada bicara. “Di luar... ada Ibu Melisa. Beliau datang dan... memarahi kami para pelayan. Kami bahkan tak sempat bertanya ada keperluan apa...”
Raina sontak terkesiap. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ibu mertuanya? Tumben sekali datang tanpa kabar.
Ia segera bangkit, menyelipkan penanda ke dalam bukunya dan menatap si pelayan sambil berusaha tenang. “Baik, Bi. Lanjutkan saja tugas kalian masing-masing. Saya akan temui beliau.”
Pelayan itu mengangguk dan mundur perlahan.
Raina menarik napas dalam-dalam. Bertemu ibu mertuanya selalu menjadi ujian tersendiri—bukan karena takut, tapi karena tekanan batin yang tak bisa dijelaskan.
Beberapa saat kemudian, Raina melangkah ke ruang tamu. Di sana, Melisa sudah duduk, tubuhnya tegak, mata menyapu seluruh ruangan seperti sedang menilai nilai jual sebuah rumah. Tatapannya dingin. Wajahnya tidak menunjukkan kelelahan atau emosi—hanya penilaian. Diam yang menekan.
“Ibu... selamat datang. Ibu gimana kabarnya? Sehat?” sapa Raina hati-hati. Senyumnya lemah, terlalu gugup untuk tampak tulus.
Namun yang menjawab bukan senyum, melainkan tatapan tajam yang nyaris membuat darah berhenti mengalir.
“Panggil aku Nyonya,” ucap Melisa datar. “Aku bukan ibumu.”
Raina menelan ludah. Tenggorokannya kering.
“Baik... maaf, Nyonya.” Ia mengangguk kecil, berusaha menyembunyikan gemetar di kedua matanya. Meski begitu, ia masih berusaha menunjukkan keramahan. “Nyonya mau saya buatkan teh atau—”
“Tidak perlu basa-basi,” potong Melisa. “Aku tidak datang ke sini untuk dijamu. Rumah ini... sudah terlalu nyaman untuk orang yang tak layak tinggal di dalamnya.”
Raina terdiam. Ucapan itu menghantamnya, lebih menyakitkan dari tamparan.
Melisa menyilangkan tangan, menatapnya seolah sedang menatap sesuatu yang kotor.
“Kau pikir hanya karena Aditya diam, aku juga akan membiarkanmu begitu saja?” suaranya rendah, tapi menusuk. “Kau itu noda di keluarga ini. Dan noda, Raina... harus dibersihkan.”
Raina menggenggam jemari tangannya sendiri erat-erat. Tenggorokannya tercekat, tapi ia tetap berdiri tegak.
“Maaf jika kehadiran saya membuat Nyonya tidak berkenan. Tapi saya—”
“Kau tidak perlu membela diri,” potong Melisa lagi. “Kau sudah cukup lama bertahan di sini. Terlalu lama, malah. Aku heran Aditya masih bersikap lunak. Tapi jangan salah, diamnya bukan karena memihakmu. Ia hanya menunggu waktu yang tepat.”
Melisa lalu berdiri, menatap Raina tepat di mata.
“Dan waktu itu... sedang aku percepat.”
Tanpa menunggu balasan, Melisa melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah baru saja menyelesaikan urusan kecil yang menjijikkan.
Raina tetap berdiri di tempatnya, diam. Matanya menatap lantai, kosong. Air mata tidak turun—ia sudah terlalu sering menahannya. Tapi di dalam, jiwanya tergores. Dalam. Senyap.
beruntung nenek menikahkan aditya dg gadis pilihannya walaupun yg awalnya terpaksa & tanpa cinta tp skrng aditya sangat bahagia dg pilihan neneknya bahwan sangat bucin😄😍😍
sekarang nikmati kehancuran hidupmu laras demi sebuah ambisi qm rela mengorbankan smuanya termasuk cinta aditya yg tulus padamu yg skrng hanya utk istrinya rania😔
semangat berkarya kembali dgn cerita yg lebih seru dan menarik lainnya...
sampai jumpa....