NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26 LAUT DI DADA: NASIHAT WALI YANG MENJADI BEBAN

Hening di ruang tamu malam itu terasa tajam, seolah ribuan jarum es sedang menggantung di udara, menunggu perintah untuk jatuh. Rina melangkah keluar dari kamar Nirmala dengan napas yang masih berat, sisa dari ketegangan saat ia menyaksikan putrinya merintih kesakitan akibat distorsi energi yang tidak kasat mata. Ia menatap Arka yang masih duduk bersila di pojok ruangan, menjaga titik yang ia sebut sebagai tempat berdirinya orang tua dengan tongkat itu. Rina menyadari bahwa ia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton dari keajaiban yang menyiksa keluarganya.

"Arka, Ibu perlu tempat ini sebentar," bisik Rina sambil mendekat ke arah meja kayu di tengah ruangan.

Arka tidak menjawab, namun ia menggeser duduknya, memberi ruang bagi ibunya untuk berlutut di atas karpet. Rina meletakkan tiga benda di atas meja dengan gerakan yang sangat khidmat. Pertama, sehelai daun kering milik Mala yang pernah muncul sebagai bukti bahwa ia adalah prioritas. Kedua, sehelai daun jati kering milik Arka yang menjadi penanda ketenangan. Dan terakhir, kompas biru tua milik suaminya, Bara. Jarum kompas itu masih menunjuk ke arah koridor belakang, bergetar halus seolah sedang menahan beban magnetik yang luar biasa besar.

"Ya Allah, aku adalah jembatan takdir ini, tetapi aku juga tiang rumah ini," Rina berbisik, matanya terpejam rapat saat ia bersujud di depan benda-benda itu. "Jangan biarkan tiang ini mematahkan jiwa anak-anakku hanya karena arus ini terlalu kuat."

Rina merasakan udara di sekelilingnya mendadak membeku. Dingin itu tidak lagi merambat dari lantai seperti paranoia yang ia rasakan sebelumnya saat menemukan pasir asing di kamar mandi. Kali ini, dingin itu turun dari plafon, menyelimuti bahunya seperti jubah yang berat namun menenangkan. Ia tahu, kehadiran gaib yang sering dideteksi Arka kini sedang memperhatikannya.

"Kenapa Mala harus sakit?" tanya Rina dalam hati, suaranya bergema di ruang batinnya yang sunyi. "Bara menulis doanya dengan darah agar Mala tidak merasa sendirian, tapi kenapa sinyal kepulangannya justru menjadi kebisingan yang menyiksa putriku?"

Tiba-tiba, Rina merasakan sebuah denyutan di tengah dadanya. Itu bukan detak jantung biasa. Rasanya seperti ada sebuah mesin jam raksasa yang mulai berdetak di dalam rongga rusuknya, namun suaranya bukan detak logam, melainkan gemuruh ombak yang pecah di kejauhan. Resonansi itu sangat dingin, sangat abadi, dan membawa aroma garam yang begitu pekat hingga Rina merasa seolah-olah paru-parunya sedang terisi air laut.

Dialog Sunyi di Atas Sajadah

Arus itu tidak bisa dihentikan, Anakku, sebuah suara bergema, bukan di telinga Rina, melainkan langsung merambat melalui tulang belakangnya. Apa yang telah ditulis dengan darah, tidak bisa dihapus oleh air mata.

"Tapi Mala tidak kuat!" seru Rina, suaranya pecah di kesunyian ruang tamu. "Dia hanya anak kecil. Dia tidak seharusnya menanggung beban frekuensi dari pulau itu."

Mala bukan menanggung arus itu, resonansi di dada Rina semakin kuat, membuat seluruh tubuhnya bergetar mengikuti frekuensi yang sama dengan kompas di depannya. Dia menanggung lukanya sendiri yang bertindak sebagai antena. Dia menangkap gema kepulangan itu karena hatinya belum sepenuhnya percaya bahwa ia berharga.

"Lalu apa yang harus kulakukan? Aku sudah memeluknya, aku sudah menunjukkan bukti-bukti itu padanya," Rina mulai menangis, kepalanya masih menempel di lantai.

Kau memohon agar arus itu diredam? suara itu kembali bertanya dengan nada yang berwibawa namun menantang. Jika arus itu diredam, maka jalan bagi suamimu di tengah laut akan tertutup. Dia sedang bergerak di atas air yang digerakkan oleh doa itu. Jika kau menghentikan kebisingannya di rumah ini, kau menghentikan laju kapalnya di sana.

Rina terperanjat. Ia mengangkat kepalanya, menatap kosong ke arah kegelapan sudut ruangan. Pilihan itu terasa seperti belati yang menusuk kedua sisi jantungnya. Menyelamatkan kedamaian Mala berarti membahayakan keselamatan Bara, atau membiarkan Bara pulang namun menyaksikan Mala hancur perlahan oleh tekanan spiritual yang tidak mampu ia bendung.

"Tidak ada jalan tengah?" bisik Rina putus asa.

Ada, jawab suara itu, dan kali ini rasa dingin di dada Rina berubah menjadi tekanan yang menyesakkan, seolah ada bongkahan karang besar yang diletakkan di atas ulu hatinya. Kau harus mengambil alih kebisingan itu. Kau harus merebut ketenanganmu sendiri, agar Mala bisa menemukannya kembali.

Nasihat yang Menjadi Beban

Rina mengernyitkan dahi, mencoba memahami logika spiritual yang paradoks itu. Selama berbulan-bulan sejak Bara menghilang, Rina berjuang mati-matian untuk menjaga ketenangan batinnya. Ia membangun benteng tawakal murni, menjauhkan diri dari kepanikan logis, dan menolak tekanan dari Bunda Ida atau kerabat seperti Bapak Herman yang memintanya menyerah pada kenyataan. Ketenangan itulah yang selama ini menjadi navigasi keluarganya.

"Apa maksud Anda dengan merebut ketenanganku sendiri?" tanya Rina.

Untuk mendiamkan anakmu dari riak air, kau harus membuat ombak yang lebih besar dalam hidupmu sendiri, suara itu menjelaskan dengan nada yang sangat dingin. Kau harus menanggung kebisingan itu di dadamu. Kau harus melakukan sesuatu yang akan mengganggu gema tenang di rumah ini, sehingga arus takdir itu berfokus padamu sebagai peredam, bukan pada Mala.

"Anda meminta saya untuk berhenti bertawakal secara diam?" Rina terperangah. "Anda meminta saya untuk kembali pada kebisingan duniawi yang selama ini saya hindari?"

Itu adalah pengorbanan seorang ibu, suara itu perlahan memudar, namun tekanan di dada Rina tetap tinggal, terasa seperti laut yang terperangkap di dalam dadanya. Jadilah ombak bagi anakmu, agar dia bisa menjadi pantai yang tenang.

Rina duduk tertegun, menatap tiga benda di depannya. Kompas biru tua itu tiba-tiba bergetar sangat hebat hingga bergeser di atas meja kayu. Jarumnya tidak lagi diam menunjuk ke satu arah, melainkan mulai berputar liar dengan kecepatan yang mustahil, melambangkan kekacauan yang baru saja diminta oleh sang penjaga gaib.

"Ibu? Kenapa Ibu menangis lagi?" suara Arka memecah keheningan.

Rina menoleh ke arah Arka. Putranya itu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Arka, apakah orang tua itu masih di sana?"

Arka menggeleng pelan. "Dia pergi, Bu. Dia bilang... Ibu sekarang yang bawa tongkatnya."

Rina menarik napas panjang, dan ia benar-benar merasakan sensasi cairan dingin di dalam dadanya bergerak mengikuti tarikan napasnya. Nasihat itu adalah beban yang luar biasa berat. Seluruh prinsip tawakal yang ia jaga kini harus ia korbankan. Ia harus secara sengaja menciptakan 'kebisingan' untuk mengalihkan arus spiritual yang menyiksa Mala.

Rina bangkit dari posisi sujudnya dengan tangan yang bergetar. Ia menatap kompas biru tua itu, yang jarumnya kini berputar seperti gasing yang kehilangan kendali. Setiap putaran jarum itu seolah-olah menyayat ketenangan batin yang telah ia bangun selama berbulan-bulan. Ia teringat bagaimana ia bersikeras menjaga Titik Nol—sebuah kondisi pasrah total tanpa banyak bertanya pada logika duniawi—namun kini, kehadiran gaib yang selama ini ia anggap sebagai pelindung justru memaksanya untuk menghancurkan keheningan itu sendiri.

"Ibu harus membuat suara yang lebih keras dari suara di dada Kak Mala?" tanya Arka tiba-tiba, seolah ia bisa membaca percakapan spiritual yang baru saja terjadi.

Rina mengangguk pelan, jemarinya mengusap air mata yang masih hangat. "Iya, Arka. Ibu harus menjadi ombak agar Kakakmu bisa menjadi pantai yang tenang. Ibu harus menanggung kebisingannya."

Rina melangkah ke arah telepon genggamnya yang tergeletak di atas bufet. Ia menatap layar hitam itu dengan perasaan mual. Selama ini, ia menghindari menghubungi kantor perusahaan maritim tempat suaminya bekerja karena ia takut akan merusak ikatan tawakal yang ia jalin dengan takdir. Baginya, menghubungi mereka berarti mengakui bahwa Bara mungkin benar-benar telah tiada atau hanya sekadar angka di atas kertas asuransi. Namun sekarang, ia menyadari bahwa ia butuh sebuah 'kebisingan logis' untuk mengalihkan beban spiritual dari pundak Mala ke pundaknya sendiri.

"Besok pagi, Ibu akan pergi ke kantor Ayah," ucap Rina pada dirinya sendiri, namun suaranya terdengar seperti janji yang berat kepada semesta.

"Ke kantor yang banyak orang marah-marah itu, Bu?" Arka mendekat, menyentuh saku daster Rina yang berisi daun jati kering.

"Iya. Ibu akan menuntut jawaban. Ibu akan membuat keributan yang selama ini Ibu hindari," jawab Rina. Ia teringat pada Lastri dan Santi, kerabatnya yang pernah membujuknya untuk menerima amplop tebal sebagai tanda duka cita prematur. Ia juga teringat pada Bapak Herman yang terus mendesaknya menjual rumah. Selama ini ia menghadapinya dengan diam dan doa. Besok, ia akan menghadapinya dengan konfrontasi.

Resonansi yang Berpindah

Rina kembali ke kamar Mala. Ia melihat putrinya sudah tertidur lebih lelap, namun nafasnya masih menyisakan sedikit tarikan pendek. Rina duduk di sampingnya, meletakkan telapak tangannya di dada Mala. Anehnya, rasa panas yang tadi membakar kulit putrinya kini telah menghilang. Getaran frekuensi rendah yang membuat Mala merintih kini tidak lagi terasa di sana.

Sebaliknya, Rina merasakan getaran itu berpindah ke dalam dadanya sendiri.

Setiap detak jantung Rina kini diikuti oleh gema yang dingin dan berat. Rasanya seolah-olah ia sedang memeluk sebongkah es raksasa yang tidak pernah mencair. Ini adalah harga yang diminta oleh Syeikh Tua. Mala kini bisa tidur karena kebisingan spiritual itu telah disedot oleh Rina melalui perantara kasih seorang ibu.

"Maafkan Ibu, Mala. Ibu terlambat menyadari bahwa beban ini terlalu berat untukmu," bisik Rina sambil mencium kening putrinya.

Ia mengeluarkan surat rahasia Mala yang tadi ia ambil dari bawah bantal. Kata-kata 'Aku tidak ingin dianggap beban' menatapnya dengan tajam. Rina melipat kertas itu kecil-kecil dan menyelipkannya ke dalam dompetnya, bersisian dengan foto pernikahan mereka. Surat itu akan menjadi pengingat bahwa besok, keberaniannya di dunia nyata adalah satu-satunya cara untuk membentengi kedamaian di dunia spiritual.

"Kau harus kuat, Rina. Jika kau goyah, arus ini akan kembali menyerang anakmu," gumamnya di depan cermin kamar mandi yang remang.

Ia melihat pantulan wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Sinar ketakutan yang biasanya ada di sana kini berganti dengan kilatan tekad yang dingin. Ia tidak lagi peduli apakah tindakannya besok akan dianggap tidak tawakal oleh standar spiritual yang kaku. Jika mencintai suaminya berarti harus menunggu dalam diam, maka mencintai anaknya berarti harus berteriak di tengah badai.

Keputusan di Ujung Malam

Rina berjalan kembali ke ruang tamu untuk membereskan benda-benda di atas meja. Saat ia menyentuh kompas biru tua itu, jarumnya mendadak berhenti berputar. Namun, jarum itu tidak menunjuk ke arah utara, melainkan tetap bergetar hebat ke arah pintu depan rumah, seolah-olah sedang menunjukkan jalan yang harus ditempuh Rina esok hari.

Ia memegang daun jati kering milik Arka dan daun kering milik Mala. Keduanya terasa hangat, kontras dengan dadanya yang dingin. Rina menyadari bahwa ia sekarang adalah titik temu antara dua dunia. Ia membawa pesan dari pulau melalui dadanya, dan ia akan membawa pesan dari rumah melalui suaranya di kantor maritim besok.

"Kita akan menjemput Ayah dengan cara yang berbeda sekarang, Arka," ucap Rina saat melihat putrinya mulai bermimpi dengan tenang tanpa rintihan.

Ia mematikan lampu ruang tamu, membiarkan rumah itu diselimuti kegelapan. Namun, di dalam dada Rina, laut tetap berdebar. Gema suara Syeikh Tua masih terasa seperti sisa garam yang tertinggal di lidah. Ia tahu bahwa keputusannya untuk melakukan ikhtiar duniawi yang agresif akan memicu rentetan kejadian yang tidak terduga, termasuk kemungkinan bertemu kembali dengan Bapak Harjo dan tekanan-tekanan sosial yang selama ini ia hindari.

Rina berbaring di sofa, tidak ingin tidur di kamar agar tetap waspada. Di tengah kesunyian malam, ia mendengar suara jam dinding yang berdetak. Namun bagi Rina, detak itu terdengar seperti suara tongkat kayu yang diketukkan ke lantai semen secara perlahan. Setiap ketukan adalah pengingat bahwa Arus Kepulangan telah terkunci, dan ia baru saja menerima beban untuk menjaganya tetap stabil di tengah kebisingan yang akan ia ciptakan sendiri.

"Besok," bisik Rina sebelum akhirnya matanya terpejam sesaat, "besok aku akan merebut ketenangan ini kembali demi Mala."

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!