Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Kirana
Mama Erika bersiap untuk pergi ke apartemen Vanya, wanita paruh baya itu akan membuat perhitungan pada Vanya. Ia yakin jika mantan menantunya itu menggoda Vano dan memanfaatkan Elana agar mereka rujuk kembali. Apalagi ia selalu menerima laporan dari Bella mengenai hubungan mereka yang belum usai.
"Mau kemana malam-malam begini Ma?" Pak Dharmawan heran melihat mama Erika yang sudah rapi semalam ini.
"Mama mau susul Vano dan Elana, pasti mereka di tempat jal4ng itu," ucap mama Erika berapi-api.
"Ma.. Apa sudah ada bukti kalau mereka benar ada di sana?" Pak Dharma meyakinkan.
"Vano dan Elana belum pulang ke rumah Pa, kemana lagi kalau bukan ke tempat Vanya,"
"Ma.. tenang dulu," Pak Dharma mencoba menenangkan mama Erika yang sudah terlihat emosi.
"Papa kenapa sih, akhir-akhir ini selalu saja membela Vano?"
"Bukan begitu Ma, Papa juga marah kalau benar itu terjadi, tapi kalau dugaan Mama salah bagaimana? Yang ada mama akan malu,"
"Tidak mungkin salah Pa, Bella sendiri yang bilang," mama Erika masih tetap dengan pendiriannya.
"Ada apa ribut-ribut?" Kirana baru saja pulang, mendengar Mama dan Papanya berdebat.
"Kirana, ayo temani Mama ke tempat Vanya," Mama Erika menarik tangan Kirana.
"Mau apa sih Ma?" Kirana melepaskan tangan mama Erika.
"Mama mau buat perhitungan sama jal4ng itu. Dia masih saja menggoda Vano dan memanfaatkan Elana agar mereka rujuk."
"Cukup Ma! Hidup Kak Vano sudah hancur. Mama masih belum puas lihat dia menderita?" ucap Kirana dengan nada tinggi.
"Lancang kamu Kirana!!"
"Ma.. Coba mama ingat-ingat lagi. Permintaan Mama yang mana, yang tidak kak Vano turuti? Apa mama pernah bertanya, apa kak Vano bahagia menjalani itu semua?"
"Kirana sudah Nak," pak Dharma mencoba menegur Kirana dengan halus, ia tak ingin Kirana bertengkar dengan ibunya.
"Papa juga, Papa selalu menuruti kemauan mama seolah papa suami yang baik dan bijak karena begitu memanjakan istrinya,"
"Tutup mulut kamu Kirana!" Mama Erika semakin murka mendengar ucapan Kirana yang di anggapnya sudah keterlaluan.
"Aku sudah muak Ma! Kalau bukan karena janjiku sama Kak Vano, aku juga gak mau tinggal di rumah ini. Lebih baik aku pergi seperti bang Aska,"
Satu tamparan mendarat di pipi Kirana.
"Ma, sudah cukup!" Papa Dharma terbawa emosi, tidak rela putri kesayangannya mendapatkan kekerasan sekalipun dari istrinya sendiri.
"Papa tidak rela 'kan, putri kesayangannya yang papa jaga dan lindungi dari kecil harus menerima perlakuan tidak menyenangkan. Walaupun dari ibunya sendiri. Lalu bagaimana dengan Elana, anak sekecil itu harus menanggung penderitaan, bahkan ancaman dari neneknya sendiri. Kalian bahkan tidak pernah menyayanginya."
"Kirana sudah Nak," ucap papa Dharma lagi, ia baru pertama kali melihat Kirana semarah ini. Kirana adalah sosok putri yang manja dan lembut di matanya.
"Apa Mama tidak pernah berpikir kenapa aku tidak mau menikah, atau bahkan dekat dengan laki-laki. Itu semua karena aku takut, aku takut punya mertua seperti Mama dan Papa," ucap Kirana kemudian memilih pergi dari rumah.
"Kirana... Tunggu nak.. mau kemana?"
Kirana nampak acuh, ia bahkan tidak mendengar ucapan Papanya. Kirana masuk ke dalam mobil kemudian pergi dari rumah.
"Untuk sementara, mama tidak boleh kemana-mana," ucap Pak Dharma akhirnya melarang mama Erika untuk pergi.
"Pa..." Mama Erika hendak protes.
"Papa harap kali ini Mama mau mendengar ucapan Papa," kini ucapan papa Dharma terdengar tegas dan dingin, membuat mama Erika tak berani untuk menentang.
Sudah satu jam menunggu, Bella belum juga mendapatkan kabar dari mama Erika. Wanita itu tidak sabar lagi menunggu, kemudian ia menghubungi Mama Erika. "Bagaimana Ma?Apa kak Vano ada di apartemen Vanya?" Tanya Bella penasaran.
"Maafkan Mama, Bella. Mama tidak bisa pergi kemana-mana malam ini, papa melarang mama keluar," ucap mama Erika penuh penyesalan.
"Ya sudah Ma, biar Bella sendiri yang pergi,"
"Sudah malam Bella, nanti mama suruh orang untuk cari Vano. Kamu istirahat saja ya,"
"Iya Ma," Akhirnya ia menurut, dirinya pun merasa badannya lemas. Apa mungkin ini efek kehamilannya. Walaupun dokter bilang belum pasti, tapi Bella sudah merasakan tanda-tanda di tubuhnya.
Vano hanya berdiam diri di lorong rumahsakit. Pikirannya begitu kacau, Ia tidak sanggup meninggalkan Vanya dalam keadaan sakit begini. Apalagi ada Ryuji di dalam, pikiran semakin tak terkendali. Vano sengaja mematikan ponsel, agar tidak ada yang mengganggunya. Setiap detik berlalu terasa menyakitkan baginya.
"Kau masih di sini?" Ryuji tiba-tiba berdiri di hadapan Vano.
"Bagaimana keadaan Vanya?"
Ryuji bisa melihat jelas kekhawatiran dalam diri Vano, "Sudah lebih baik,"
"Syukurlah..." Kini Vano bisa bernapas lega,
"Kau terlihat begitu khawatir," ucap Ryuji dengan anda sedikit mengejek.
"Ryuji, kau pasti tahu sesuatu tentang Elana 'kan?"
"Sekalipun aku tahu, aku tak berhak untuk berbicara, ini bukan ranahku," Ryuji menghargai privasi Vano dan Vanya. Ia tak berhak ikut campur urusan mereka.
"Benar juga," Vanos seolah seperti orang bodoh saat ini.
"Tunggulah sampai Vanya sembuh," Ryuji menepuk pundak Vano kemudian pergi meninggalkan lorong rumah sakit.
Vanya kini sendiri di dalam kamar, namun Vano ragu untuk masuk ke dalam. ia tahu, Vanya pasti akan menolaknya, seperti tadi. Biarlah ia menunggu di luar saja. Yang terpenting Vano tidak akan meninggalkan Vanya sendirian.
Ryuji kembali dengan dua cup kopi di tangannya
"Kau yakin tidak mau pulang?" Ryuji memberikan satu cup kopi pada Vano.
"Tidak," jawab Vano mantap, ia pun menerima kopi pemberian Ryuji.
Ryuji sampai geleng kepala melihat tingkah Vano. " Ya sudah," kemudian pria itu kembali masuk ke kamar Vanya.
"Bapak belum pulang?" Tanya Vanya yang terbangun karena merasakan kering di tenggorokannya.
"Saya 'kan sudah bilang, saya akan menemani kamu malam ini," Ryuji membantu mengambilkan air minum untuk Vanya.
"Ini terlalu merepotkan Pak, saya jadi sungkan," Vanya sepetinya lebih nyaman sendiri, ia merasa tak enak hati karena terlalu banyak merepotkan Ryuji.
"Vano masih di luar, kalau saya pulang Vano pasti akan masuk,"
"APA?!" Vanya tak habis pikir dengan Vano.
"Maaf anda jadi terlibat dalam masalah saya, saya hanya tak ingin memanfaatkan anda. Saya juga merasa tidak enak jika terus merepotkan anda. Saya tidak bisa membalas kebaikan bapak,"
"Tidak masalah Vanya, saya juga tidak pernah meminta kamu untuk membalas Budi," ucap Ryuji meyakinkan.
"Sudah tidak usah terlalu di pikirkan, anggap saja ini sebagai balasan selama 6 tahun kamu membantu saya dalam pekerjaan," Ryuji tidak mau berharap perasaanya bisa terbalas. Tapi dia juga tak bisa mengabaikan Vanya untuk saat ini. Biarlah ia menjauh di saat keadaan sudah membaik nanti.
-
-
Kirana kebingungan mencari keberadaan Vano dan Elana, ia sudah berusaha menghubungi Andre, namun Andre juga tidak tahu dimana keberadaan Vano.
"Mbak, maaf malam-malam mengganggu. Aku hanya khawatir dengan Elana dan Kak Vano yang tidak ada kabar," Akhirnya Kirana memberanikan diri menelpon Vanya.
"Kirana, maaf aku belum memberitahumu, Elana sudah ikut bersamaku, dan Vano dia di rumah sakit, jemputlah Vano pulang ,"
"Kak Vano sakit?"
"Tidak, bukan Vano. Kamu jemput saja di rumah sakit Cendana lantai 3."
"Baik mbak, terimakasih," Kirana pun segera pergi ke rumah sakit yang di katakan Vanya.
"Kak Vano!" Kirana menghampiri Vano yang terlihat menyedihkan itu.
"Kirana.."
"Ayo pulang Kak,"
"Aku tidak mau pulang Kirana, aku akan menunggu Vanya di sini."
"Jadi mbak Vanya yang sakit?" Tanya Kirana kaget, karena tadi tidak mengatakan apa-apa. Vanya hanya memberitahu keberadaan Vano.
Vano hanya mengangguk lesu.
"Biar aku temani," Kirana ikut duduk di samping Vano.
"Pulanglah, Mama dan Papa pasti khawatir,"
"Aku tidak mau pulang Kak, rumah itu sudah seperti neraka bagiku," ucap Kirana dengan suara yang bergetar.
"Kirana..." Vano merasa bersalah pada adik bungsunya itu.
"Aku sudah tidak kuat lagi Kak," Kini tangis Kirana pecah
"Maafkan Kakak yang selalu memaksamu untuk tetap tinggal di sana," Vano mengusap air mata Kirana. Kemudian mencium kening gadis itu.
"Ini bukan salah Kakak," Kirana menggeleng, dan meyakinkan Vano.
"Pulanglah ke tempat Aska untuk sementara, kamu akan aman di sana,"
"Kakak bagaimana?"
"Kakak akan pulang nanti, kamu tenang saja. Kakak akan menyelesaikan semuanya," Kirana pun hanya menurut. Ia memilih pulang ke tempat Askara, kakak keduanya.
***
Jangan lupa like dan komen yaaa....
akankah Karina kapur jadi kunci??? nantikan kelanjutannya.........