"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbawa Suasana Ingin CLBK
Usai obrolan panjang dan hangat di J-Co, sore itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Mereka berjalan menyusuri koridor Summarecon Mall Serpong. Di depan XXI, Matias tiba-tiba berhenti dan menengok ke arah Nabilah.
“Nabilah,” katanya, agak ragu. “Nonton, mau nggak?"
Nabilah mengerutkan dahi. “Sekarang?”
Matias mengangguk pelan. “Iya. Random aja. Kayak dulu waktu kita kabur dari jam praktik pelajaran Komputer dan nonton film di bioskop yang ada di Modernland.”
Nabilah tertawa, mengingat momen itu. “Gila… kamu masih inget aja.”
“Masih, lah,” ucap Matias. “Gimana?"
Setelah jeda sebentar, Nabilah menjawab, “Yah, udah. Tapi kamu yang pilih filmnya.”
Mereka berdiri di depan layar jadwal. Di antara sederet film action, horor, dan drama Korea, pandangan Matias tertuju ke satu film Indonesia: "Rasanya Aku Tak Ingin Kisah Ini Berakhir", film romantis lokal yang gencar dipromosikan seorang selebgram. Ia menunjuk ke arah judulnya. Nabilah hanya melirik dan mengangguk.
“Dua tiket, Bang,” kata Matias ke kasir. “Studio empat.”
*****
Di dalam studio yang masih setengah kosong, mereka duduk berdampingan. Tak saling menyentuh, tapi jarak mereka tak sejauh dulu. Saat film dimulai, suara latar piano dan narasi tentang cinta masa remaja membawa mereka perlahan tenggelam ke dalam alur.
Film itu bercerita tentang dua orang sahabat SMA yang diam-diam saling menyukai, tapi harus terpisah oleh jarak dan ambisi. Mereka dipertemukan kembali saat sudah dewasa, dalam keadaan hati yang tidak sepenuhnya bebas.
Matias diam-diam melirik ke arah Nabilah beberapa kali. Cahaya dari layar bioskop menyinari wajahnya yang fokus. Nabilah terlihat tenang, tapi hatinya bergemuruh. Beberapa adegan film menamparnya. Ia ingin apatis. Hanya saja tiap kali tokoh perempuan di layar berkata, “Kenapa harus sekarang kamu muncul lagi?”, Nabilah merasa itu adalah dirinya yang sedang berbicara pada Matias.
Matias pun sama. Ia terjebak nostalgia.
Ia teringat bagaimana dulu, saat SMP, mereka duduk di depan sekolah negeri tiap sore. Matias bermain game boy yang ditawarkan si abang-abang, dan Nabilah, yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan gim, tetap duduk di sebelahnya. Menemaninya menembus level demi level Super Mario Advance, atau hanya duduk diam, sambil memandang kendaraan lalu-lalang.
Di saat itulah, Matias tergerak untuk mengikuti undian kecil yang diselenggarakan abang-abang empunya usaha game boy, dekat sekolah. Hanya karena ingin mendapatkan boneka lucu yang digantung di sebuah game boy. Ia ingat, ketika akhirnya mendapatkannya, Matias langsung menyerahkannya ke Nabilah. Lalu, tanpa kata-kata berlebihan, hanya lirikan dan senyum malu-malu yang dipertunjukkan Nabilah.
Matias menoleh pelan ke arah Nabilah. Lalu, setengah berbisik, ia bertanya:
“Bonekanya... masih kamu simpan?”
Nabilah tidak langsung menjawab. Ia menatap layar, tapi pikirannya sudah berpindah ke laci di sebelah tempat tidurnya di rumah. Laci itu jarang dibuka. Di dalamnya, ada banyak hal dari masa lalu. Ada surat, foto polaroid, dan boneka pemberian Matias.
“Oh, yang itu…” jawab Nabilah akhirnya. “Kayaknya masih ada di kamar.”
Matias tersenyum, dan jantung Nabilah berdetak sedikit lebih cepat dari seharusnya.
*****
Film berakhir. Lampu studio perlahan menyala. Mereka tidak langsung berdiri. Masih terdiam, masing-masing dengan pikirannya sendiri.
Keluar dari bioskop, suasana mal mulai sepi. Beberapa toko tutup. Musik instrumental terdengar sayup dari speaker langit-langit. Matias memasukkan tangan ke saku celana, lalu bicara pelan.
“Nabilah…”
“Hmmm..."
“Kamu pernah nyesel gak… dulu kita nggak pernah nyoba?”
Nabilah diam. Kalimat itu seperti membuka kotak yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
“Pernah,” katanya jujur. “Tapi mungkin… waktu itu memang bukan waktu kita.”
Matias mengangguk, pelan. “Kadang aku juga mikir gitu.”
Jalanan menuju pintu keluar semakin sunyi. Nabilah melangkah lebih dulu, lalu menoleh ke belakang.
“Matias…”
“Iya?”
“Kalau kamu sekarang lagi bimbang, bukan berarti kamu bisa kabur balik ke masa lalu.”
Matias mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Maksud aku, kamu jangan jadikan aku pelarian karena kamu ragu sama Kezia.”
Matias terdiam. Mungkin karena ia tak menyangka Nabilah akan membaca pikirannya secepat itu. Namun memang begitulah Nabilah. Ia selalu bisa membaca dirinya sejak dulu.
“Aku nggak kabur,” kata Matias akhirnya. “Tapi aku juga nggak mau bohong. Hari ini… nonton bareng kamu… bikin aku mikir banyak hal.”
Nabilah menunduk, lalu menghela napas.
“Kamu tau gak, Matias? Aku udah lama banget belajar buat move-on. Gue potong rambut, pindah kerja, pergi ke negara lain… semuanya biar aku bisa jadi perempuan yang gak lagi nunggu seseorang.”
“Dan sekarang kamu udah jadi perempuan hebat, Nabilah.”
Nabilah tersenyum, getir. “Iya, tapi bukan berarti aku bisa lupa semuanya. Aku cuma coba belajar nerima keadaan.”
Mereka berdiri di depan pintu putar menuju area parkir. Udara malam kembali menyapa. Dingin dan jujur.
Matias akhirnya membuka suara. “Kalau… suatu hari nanti aku gagal yakinin Kak Thalia, dan Kezia menyerah, menurut kamu apa yang harus aku lakuin?”
Nabilah menatapnya. Lama.
“Baliklah ke diri kamu sendiri. Bukan ke aku. Aku cuma masa lalu kamu aja. Aku yakin perasaan kamu buat dia, masih besar. Dan itu juga, menurut aku, bukan fondasi yang cukup buat sebuah hubungan.”
Matias mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Aku seneng bisa ketemu kamu hari ini.”
“Aku juga.”
Malam itu berakhir bukan dengan janji, bukan dengan genggaman tangan, tapi dengan pemahaman. Bahwa ada cinta yang pernah ada, tapi tak harus kembali. Ada perasaan yang hangat, namun cukup disimpan sebagai kenangan.
Sebab kadang, yang terbaik dari masa lalu adalah membiarkannya tetap menjadi masa lalu.