Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Malam yang Tak Terlupakan
Satu tahun lalu, 29 April.
Malam itu, Boston diselimuti dingin yang menusuk. Bukan salju, melainkan angin musim semi yang masih membawa sisa gigil musim dingin. Jalanan sedikit basah sisa hujan sore hari, memantulkan cahaya lampu kota yang buram. Kendaraan masih ramai lalu-lalang, membunyikan klakson sesekali, menciptakan simfoni bising yang biasa. Claire berjalan cepat, memeluk tas tangannya erat-erat, menggigil bukan hanya karena dingin, melainkan karena amarah dan rasa sakit yang membakar di dalam dirinya.
Ia baru saja pulang dari apotek, membawa kantong kecil berisi obat memar dan salep untuk lukanya. Benjamin. Lagi. Wajahnya menghangat bukan karena suhu tubuhnya, tapi karena rasa jijik yang memuncak. Pukulannya kali ini lebih brutal dari sebelumnya, meninggalkan memar keunguan di lengan dan pahanya, yang ia tahu akan sulit hilang. Ia tidak berani pergi ke rumah sakit. Dokter pasti akan bertanya, dan Claire terlalu muak dengan kebohongannya sendiri.
Sialan Benjamin! Bajingan tak berguna itu! Batin Claire memaki. Ia sudah muak. Sangat muak. Sudah berapa kali ia menahan diri, memendam amarahnya pada Benjamin, demi rencana besarnya. Tapi hari ini, kesabarannya benar-benar habis. Benjamin memukulinya hanya karena ia menolak memberikan uang, uang yang jelas-jelas akan dibelikan obat-obatan terlarang. Ia sudah tahu Benjamin pecandu, tapi ia tidak menyangka Benjamin akan sejauh ini.
Ketika Claire akhirnya menyerah dan melempar beberapa lembar uang di hadapan Benjamin, pria itu justru tertawa sinis, melempar kembali uang itu ke muka Claire. "Apa ini?! Ini tidak cukup! Kau pikir ini bisa untuk clubbing dengan teman-temanku, hah?!" Benjamin berteriak marah, matanya merah menyala.
Melihat seringai jijik di wajah Benjamin, mendengar suara kasar pria itu, emosi yang selama ini Claire pendam meledak. Ia, Claire Hayes, yang selalu berusaha bersikap manis dan sabar, akhirnya membalas. "Kau tahu apa, Benjamin?! Aku sudah muak denganmu! Muak dengan omong kosongmu! Kau hanya pecandu tak tahu diri! Kau melamarku, tapi bahkan tidak pernah mempertemukanku dengan keluargamu! Kapan kau akan membawaku bertemu mereka?! Kau pikir aku sudi menikah dengan sampah sepertimu?!"
Kata-kata itu, yang seharusnya hanya menjadi pikiran dalam benaknya, meluncur bebas. Benjamin terdiam, matanya melebar, terkejut melihat ledakan emosi Claire. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat. Ekspresi Benjamin berubah mengerikan. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi amarah murni. Ia melangkah maju, dan sebelum Claire sempat bereaksi, tinjunya melayang. Lagi. Dan lagi. Lebih kasar dari sebelumnya, menargetkan bagian tubuh yang tertutup pakaian, memastikan lukanya tidak mudah terlihat.
Kini, berjalan di tengah dinginnya malam, rasa sakit fisik itu berpadu dengan kepahitan di hatinya. Benjamin tidak berguna. Benjamin hanya penghalang. Yang ia inginkan hanyalah Aaron. Hanya Aaron.
Pikirannya melayang jauh dari Benjamin, langsung tertuju pada Aaron. Bagaimana kabar Aaron hari ini? Apakah ia seharian bekerja di kantornya yang megah? Pakaian apa yang ia kenakan? Mungkin kemeja putih mahal dengan setelan jas hitam yang selalu rapi, kancing teratas tertutup sempurna. Rambutnya, apakah ia menyisir seluruhnya ke belakang seperti biasa, menampilkan dahi mulusnya? Aroma parfum maskulin apa yang ia pakai hari ini?
Claire membayangkan Aaron. Apakah dia sakit hari ini? Pikiran itu langsung membuat jantungnya berdebar kencang. Ia benci memikirkan Aaron sakit. Tapi ia juga penasaran. Bagaimana penampilannya jika sakit? Apakah rambutnya akan sedikit berantakan? Apakah akan ada banyak peluh di pelipis dan lehernya yang seksi? Apakah ia akan mengernyitkan alisnya yang tebal karena terganggu dengan mimpinya saat demam? Bagaimana dengan suara yang dia keluarkan saat dia sakit? Apakah akan lebih serak, lebih dalam?
Kemudian, pikiran yang lebih gelap menyusup. Siapa yang ada di samping Aaron saat pria itu sakit? Siapa yang merawatnya? Bagaimana jika ada orang lain di sebelahnya? Claire benci memikirkan jika Aaron akan melewati waktu sakitnya seorang diri, tanpa ada yang merawatnya. Tapi ia lebih benci memikirkan bila ada perempuan lain yang merawat Aaron pada saat itu. Dia tidak mau ada orang lain yang melihat Aaron yang sedang sakit, yang merawatnya dengan kasih. Dia benci akan hal itu, apalagi jika itu perempuan lain yang mengambil perannya. Sangat buruk. Aaron adalah miliknya.
Claire sibuk dengan lamunannya, bayangan Aaron begitu jelas di benaknya, hingga ia tidak menyadari seseorang berjalan terlalu dekat di depannya. Tiba-tiba, tubuhnya terhuyung ke samping ketika seseorang menabraknya cukup kuat. Kantong obatnya terlepas dari genggaman, jatuh ke trotoar yang basah.
Claire mendongak, bersiap untuk mengumpat, namun kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Matanya membelalak, napasnya tertahan. Jantungnya berpacu gila-gilaan.
Di depannya, sedikit terhuyung, adalah Aaron. Aaron Silvan. Aaron-nya.
Pria itu tampak kacau. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi kini sedikit berantakan. Kemeja putihnya yang mahal, terlihat sedikit kusut, dengan dua kancing teratas terbuka, menampilkan sebagian dadanya yang bidang. Ia mengenakan celana panjang hitam, sepatu kulit yang mengilap, dan mantel panjang selutut berwarna charcoal grey yang terkesan mahal, namun kini terlihat sedikit acak-acakan di tubuhnya. Wajahnya yang biasanya dingin dan terkontrol, kini sedikit memerah dan mata abu gelapnya terlihat sayu, menunjukkan bahwa ia sedang mabuk berat. Ia tampak sangat lelah, hampir pingsan di tepi jalan.
Aaron baru saja pulang dari acara makan malam perusahaan yang sangat penting. Harinya sangat buruk. Sebuah kesepakatan besar yang ia usahakan selama berbulan-bulan tiba-tiba gagal di menit terakhir, dan salah satu proyek utamanya mengalami masalah tak terduga. Frustrasi dan kekecewaan membuatnya minum terlalu banyak. Ia seharusnya menunggu Samuel, sekretaris pribadinya, yang juga ada di acara itu, tapi Aaron terlalu marah dan ingin melarikan diri, sehingga ia pulang sendiri tanpa mengabari Samuel.
"Aaron?" Claire berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tak percaya pada matanya sendiri. Ini adalah Aaron yang ia bayangkan. Tidak rapi, sedikit berantakan, dan... rapuh.
Aaron mengerutkan kening, matanya berkedip mencoba fokus. Ia seolah tidak mengenal Claire. "Siapa...?" gumamnya, suaranya serak. Ia terhuyung lagi, nyaris jatuh.
Claire tidak berpikir dua kali. Obsesi, cinta, dan naluri merawat yang selama ini terpendam, semua meledak. Ia segera memapah Aaron. "Kau mabuk," bisiknya. "Aku akan membantumu."
Ia membimbing Aaron menuju hotel terdekat. Di lobi, ia berhasil meminta kunci kamar, mengklaim Aaron adalah suaminya yang tidak enak badan. Begitu mereka masuk ke kamar hotel yang remang, Aaron ambruk di ranjang. Ia menghela napas panjang, matanya terpejam.
Claire menatap Aaron. Begitu dekat. Begitu nyata. Jantungnya bergemuruh tak karuan. Ini adalah kesempatannya. Sebuah kesempatan yang tak akan pernah datang lagi. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya terulur, perlahan mengelus rambut Aaron. Pria itu menggeliat pelan, lalu dalam mabuknya, secara tidak sadar menarik Claire hingga jatuh di atasnya.
Aaron memeluk Claire erat, mencari kehangatan dalam ketidaksadarannya. "Benjamin..." gumamnya pelan, suaranya serak, matanya masih terpejam.
Napas Claire tercekat. Benjamin. Bahkan dalam keadaan ini, nama itu masih menghantuinya. Rasa jijik dan amarah sesaat menyergap, namun segera ditenggelamkan oleh obsesinya. Ini bukan Benjamin. Ini Aaron.
Claire menatap wajah Aaron yang lelap, matanya tertuju pada bibir pria itu, sedikit terbuka, dan entah kenapa seolah menggoda Claire. Claire meneguk salivanya, pikirannya beralih ke hal lain. Bagaimana rasanya? Claire, seumur hidupnya tak pernah merasakan apa yang dinamakan ciuman bibir, bahkan dengan Benjamin sekalipun¾hanya melihat bibir pucatnya saja sudah membuat Claire bergidik jijik, memikirkan bibir seorang pecandu seperti Benjamin bersentuhan dengan kulitnya … sialan! Bulu kuduk Claire berdiri memikirkannya.
Namun dengan Aaron disaat nafas itu berbau alkohol sekalipun, bagaimana bisa begitu memancing rasa penasaran Claire?
Tidak, tidak boleh! Dia mengatakan itu berkali-kali dalam benaknya. Namun semakin ia menekankan itu dalam hatinya, semakin kepikiran pula dirinya akan hal itu.
Dia menginginkannya. Sekali saja…
Lalu perlahan, ia mendekat. Ia mencium bibir Aaron, pelan. Aaron menggeliat, mengerang samar. Ciuman Claire menjadi lebih dalam, lebih menuntut. Tangannya bergerak, meraih kancing kemeja Aaron yang terbuka satu, lalu menurunkannya. Ini salah… tidak boleh…
Tapi ia tidak bisa menahan diri. Tubuhnya, jauh dari apa yang dibayangkan begitu menginginkan Aaron.