Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Shanaya membeku.
Suara detak jantungnya bergemuruh, menggantikan semua suara lain di dunia. Ia tak bisa bergerak. Bukan karena takut, tapi karena pikirannya kacau. Tubuhnya menempel pada dada Sadewa. Hangat. Tegas. Menenangkan, dan justru karena itulah, ia semakin panik.
Tapi Sadewa tidak langsung melepaskan.
Tatapannya jatuh pada Shanaya. Mata itu, yang biasanya dingin dan tajam, kini tampak menyimpan sesuatu yang lain. Tapi tetap saja... sulit ditebak.
“Lagi?” gumamnya pelan. Bukan marah, bukan juga lembut. Lebih seperti... heran.
Shanaya tersadar, buru-buru menjauh dengan wajah panas. “S-saya enggak sengaja, Pak…”
Sadewa tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap, lalu bergeser ke samping, memberi jalan. “Masuk.”
Nada suaranya datar, dalam, namun cukup untuk membuat Shanaya melangkah. Ia masuk seperti seorang anak yang diam-diam berharap tidak dimarahi. Tegang, tapi ada rasa nyaman yang aneh.
Sadewa berdiri tegap, satu tangan masuk ke saku celana. Matanya menelusuri Shanaya.
“Ada apa?”
Shanaya menunduk. Sekilas matanya menangkap baju Sadewa yang kini sudah kering dan rapi. Mungkin dia sempat ganti baju, pikirnya. Ia sempat terpaku, tapi suara Sadewa kembali memanggilnya ke dunia nyata.
“Belum puas?”
Shanaya tersentak. Ia cepat-cepat menarik napas dan membenahi ekspresinya. Harus tenang. Harus fokus.
Dengan suara yang lebih stabil, ia berkata, “Saya cuma... mau ucapin terima kasih.”
Sadewa diam. Menunggu.
“Untuk tadi. Untuk semua yang Bapak lakukan.” Ia memberanikan diri menatap pria itu. “Saya tahu Bapak enggak harus, tapi Bapak tetap bantu.”
Ada jeda. Lalu hanya dua kata keluar dari Sadewa, “Aku tahu.”
Dingin. Tapi juga... membuat napas Shanaya tercekat. Karena di balik kalimat itu, ada pengakuan. Dan bagi Shanaya, itu cukup.
Sadewa melangkah pelan ke arahnya. Tidak tergesa, tapi setiap langkahnya membuat detak jantung Shanaya makin cepat.
“Aku enggak suka drama,” ucapnya. “Tapi aku lebih enggak suka... lihat kamu direndahkan.”
Shanaya menatapnya, terdiam. Kata-kata itu terasa seperti sentuhan lembut di hati yang sudah terlalu lelah.
“Bapak enggak suka lihat saya direndahkan?” bisiknya, nyaris tak sadar.
Sadewa mengangkat alis, suaranya kembali datar. “Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya tidak ingin karyawan di kantorku terlihat... menyedihkan.”
Shanaya mengangguk. Ia paham. Ini memang Sadewa Mahardika. Segalanya harus rasional. Ada logika dalam setiap sikap, bahkan dalam kepeduliannya.
Sadewa melirik jam tangannya. “Kalau cuma itu, kamu boleh keluar.”
Shanaya bergerak. Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, suara Sadewa terdengar lagi.
“Dan Shanaya…”
Ia menoleh refleks.
“Lain kali, kalau mau masuk...”—mata Sadewa menyipit sekilas—“…jangan nempel di pintu.”
Pipi Shanaya langsung bersemu. “I—iya, Pak. Maaf…”
Ia hendak benar-benar pergi. Tapi langkahnya berhenti lagi. Kali ini bukan karena takut. Tapi karena dorongan kecil dari hatinya. Yang tak ingin menyesal.
“Pak...” panggilnya pelan, nyaris goyah.
Sadewa menoleh perlahan. “Hm?”
Shanaya menggenggam jemarinya erat, lalu bicara cepat, seperti takut nyalinya hilang jika menunda sedetik lagi. “Kalau... Bapak belum ada janji malam ini, apa Bapak bersedia makan malam bareng saya?”
Hening.
Sadewa menatapnya. Lama. Sorot matanya menusuk, tapi bukan untuk menghakimi. Seolah ingin tahu, ini ide spontan... atau keberanian yang sudah dikumpulkan lama.
“Makan malam?” ulangnya datar.
Shanaya buru-buru mengangguk. “Sebagai ucapan terima kasih. Enggak formal, enggak pakai jas. Saya traktir. Tapi kalau Bapak sibuk atau enggak nyaman, enggak apa-apa juga. Beneran…”
Sadewa tiba-tiba melangkah. Jarak mereka menyempit. Shanaya nyaris mundur, tapi bertahan.
“Kamu sering ngajak makan atasanmu?” tanyanya pelan.
Shanaya gelagapan. “Enggak! Nggak pernah! Baru kali ini... maksud saya, ini beda. Bapak... beda.”
Ia buru-buru menutup mulut sendiri. Terlambat. Sial. Kalimat itu keluar begitu saja.
Mata Sadewa menyipit sedikit. Seolah sedang menahan sesuatu—bukan marah. Tapi juga bukan senyum. Mungkin... geli?
“Aku pikirkan dulu,” ujarnya akhirnya. Suaranya datar, tapi nadanya jauh dari penolakan.
Ia berbalik menuju meja kerjanya. Duduk. Membuka berkas. Tapi gerakannya... terlalu santai untuk benar-benar bekerja.
Shanaya tetap berdiri di tempat, menatapnya ragu. “Jadi...?”
Tanpa menoleh, Sadewa menjawab, “Jangan pilih makanan berminyak dan berkarbo.”
Shanaya membelalakkan mata. Hampir tak percaya. “Jadi... Bapak mau?”
Sadewa masih pura-pura sibuk, tapi terdengar gumaman samar yang seperti senyum ditahan, “Tujuh malam.”
"Baik Pak, akan saya persiapkan." Shanaya berbalik lalu meninggalkan ruangan itu.
Begitu bunyi "ceklek" terdengar—tanda pintu tertutup sepenuhnya. Sadewa langsung melirik ke arah sumber suara.
“Yess...” gumamnya, lirih tapi penuh kemenangan.
Dengan satu gerakan cepat, ia memutar kursi kerjanya menghadap jendela. Punggung bersandar santai, satu tangan melipat di dada, satu lagi mengangkat ponsel.
Tapi ekspresinya? Jelas tidak cocok dengan gaya dingin khas CEO Sadewa Mahardika. Senyumnya muncul, malu-malu tapi bangga. Seperti anak SMP habis ditaksir gebetan.
“Ngajak makan malam, huh?” bisiknya sendiri. Lalu ia mengangguk-angguk pelan. “Oke juga gaya kamu, Shanaya.”
Ia mendesah panjang, lalu mencoba mengatur wajahnya lagi—kembali datar, kembali tegas. Tapi mulutnya masih melengkung tak mau diajak kompromi.
Sadewa buru-buru memencet tombol interkom. "Arya”
“Ya, Pak?” Suara Arya terdengar dari speaker.
“Batalin semua meeting malam ini. Dan...” Ia ragu sejenak, lalu melanjutkan. “Kamu bisa libur malam ini tidak perlu lembur."
Arya terdengar bingung. “Ini tidak bercanda Pak?”
“Menurutmu? Kalau tidak mau terserah!"
Klik. Sambungan dimatikan.
Sadewa menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menghela napas panjang. Lalu menatap langit-langit dan terkekeh pelan.
“Ya ampun..."
***
Tepat pukul tujuh malam.
Sadewa sudah duduk di restoran yang dibooking Shanaya. Tempatnya semi-private, penerangan temaram, dan aroma wangi lemon thyme samar menyelimuti udara.
Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung rapi, jam tangan mewah melingkar di pergelangan. Wajahnya serius, tatapannya penuh ekspektasi.
Duduk di depannya, Shanaya terlihat gugup. Ia mengenakan dress navy sederhana yang justru membuatnya terlihat lebih... manis dari biasanya.
“Jadi, Pak Dewa mau pesan apa?” tanyanya sambil menyerahkan daftar menu dengan senyum canggung.
Sadewa menatapnya tajam. Sejenak, matanya menyipit curiga. Tapi kemudian ia mengambil menu tanpa banyak bicara. “Terserah kamu. Kamu yang undang.”
Shanaya tergelak kecil, meski gugup masih menggantung. “Kalau gitu saya pesenin yang enak, ya.”
Semuanya tampak mengarah ke momen tenang dan eksklusif. Hingga...
“Pak, ayam betutunya pedes, tapi enak lho.”
Sadewa menoleh cepat. Matanya langsung menyipit saat melihat Arya duduk santai di ujung meja yang sama—yang ternyata lebih panjang dari yang ia kira. Pria itu sedang menyuap nasi ke mulutnya, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“…Arya?” Nada suara Sadewa datar, tapi bahaya terasa mulai merambat di ujungnya.
Arya melambaikan tangan santai. “Saya dateng lebih dulu, Pak. Bu Shanaya yang undang.”
Sadewa langsung menoleh ke Shanaya, yang kini tampak seperti ingin bersembunyi di bawah meja.
“Dia bantu saya booking tempat ini,” jelas Shanaya terburu-buru. “Terus... ya, dia bilang mau bantu pesenin menu juga. Saya kira... nggak apa-apa. Lagi pula Pak Arya juga sering bantuin saya, jadi saya pikir sekalian.”
Sadewa menatapnya dalam-dalam. “Jadi kamu ngajak aku makan malam… dengan asistenku?”
Shanaya panik. “Bukan gitu! Tapi ini juga gak salah... sama-sama monent makan malam kan?"
Arya menyeka mulutnya dengan tisu, lalu tersenyum cerah dan mengimbuhkan, “Tapi ya sudah telanjur kan, Pak. Toh saya juga lapar.”
Sadewa menutup menu dengan tenang. Tatapannya kembali ke Shanaya. “Shanaya, kamu terlalu berani.”
Shanaya tak bisa bicara. Wajahnya merah padam.
Sadewa bersandar ke kursi, mendesah pelan, lalu memutar mata ke arah langit-langit. Lalu Sadewa menoleh tajam ke Arya.
“Sayang kamu asistenku... kalau bukan, sudahku lempar ke dapur.”
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔