Di balik tawa yang menghiasi hari-hari, selalu ada luka yang diam-diam disimpan. Tak semua cinta datang di waktu yang tepat. Ada yang datang saat hati belum siap. Ada pula yang tumbuh di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Namaku Cakra.
Aku anak dari seorang perempuan yang terlalu kuat untuk mengeluh dan terlalu sabar untuk marah. Aku juga anak dari seorang pria yang namanya selalu disebut dengan kebanggaan, namun hanya hidup dalam kenangan.
Sejak kecil aku tumbuh dalam bayang-bayang ayahku yang gugur sebelum sempat menggendongku. Ibuku membesarkanku sendiri, menyematkan namanya dan kenangan tentang ayah dalam setiap langkahku. Aku tumbuh dengan satu tujuan—menjadi seperti dia. Seorang perwira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Ujian Menjelang hari H
Langit malam menggantung kelabu di atas rumah kecil itu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore. Di balkon lantai dua, Cakra duduk bersandar di kursi rotan tua, kedua sikunya bertumpu pada lutut, menatap kosong ke bintang yang malu-malu muncul di sela awan. Di tangannya, sebuah cangkir kopi yang isinya sudah lama dingin. Tapi ia tak menyentuhnya. Pikirannya tak berada di sana. Wajah Laras. Tawa Arlan. Bayi kecil yang digendong perempuan yang dulu ia kira akan menua bersamanya. Semua itu berputar dalam kepalanya, seperti film rusak yang tak bisa ia jeda.
"Kenapa harus sekarang muncul lagi?" gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada angin. "Aku udah baik-baik aja… katanya." Namun hati kecilnya tahu: ia belum benar-benar sembuh. Di dalam rumah, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu balkon berderit pelan saat Dita muncul, membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Senyum tipis tergurat di wajah ibunya, tapi sorot matanya menyimpan kekhawatiran. “Belum tidur?” tanya Dita lembut, Cakra hanya menggeleng.
Dita meletakkan teh di meja kecil di samping anaknya. Lalu ia duduk di kursi sebelah, menatap langit malam yang sama. Beberapa detik mereka hanya diam, membiarkan suara malam berbicara untuk mereka. “Aku ketemu mereka,” ujar Cakra akhirnya, suara seraknya nyaris terkubur angin. “Laras. Arlan. Mereka udah punya anak, Bu…” Dita tidak menjawab langsung. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berkata pelan, “Kamu masih marah?”
Cakra terdiam. Matanya menatap nanar. “Aku kira udah nggak. Tapi tadi… rasanya kayak dicabut paksa semua yang pernah aku kubur.” Dita menatap anaknya. “Nak… luka itu memang bisa disimpan. Tapi nggak bisa dipaksa hilang. Dan sekarang, kamu dikasih kesempatan bukan buat balas, tapi buat benar-benar mengikhlaskan.” Cakra menoleh, matanya berkaca-kaca.
Dita melanjutkan, suaranya tenang namun tegas, “Kalau kamu belum berdamai sama masa lalu, kamu nggak akan bisa jalan bareng masa depan. Kamu nggak bisa gandeng tangan Shifa kalau satu tanganmu masih meninju bayangan yang udah lama pergi.” Cakra memejamkan mata. Berat. Tapi kata-kata itu masuk ke dalam hatinya, perlahan menenangkan gejolak yang selama ini ia simpan sendiri.
“Aku cuma… takut Bu. Takut aku malah ngelakuin kesalahan yang sama. Takut aku gagal jadi suami… kayak Ayah.” Dita tersenyum tipis. “Justru karena kamu takut, kamu akan belajar. Dan kamu punya kesempatan buat jadi lebih baik dari Ayahmu. Jangan hidup dalam ketakutan itu. Hidup dalam kesadaran.” Cakra mengangguk perlahan. Ia meraih cangkir tehnya, menyeruput sedikit, lalu menatap ibunya. “Terima kasih, Bu…”
Dita menepuk bahunya lembut. “Besok, bangun dengan hati yang baru. Kamu punya masa depan yang menunggu. Jangan biarkan masa lalu terus mencuri kebahagiaan yang harusnya udah jadi milikmu.” Malam itu, Cakra duduk lebih lama di balkon. Tapi kali ini, langit terasa lebih lapang. Hatinya mulai tenang. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa... siap melangkah ke depan.
Pagi itu, langit Bandung sedikit mendung, tapi angin yang bertiup membawa udara sejuk yang menyenangkan. Di teras rumah Shifa, dua cangkir kopi sudah tersaji, bersama map undangan pernikahan yang terbuka di atas meja kayu kecil. Cakra duduk dengan tubuh agak membungkuk, jari-jarinya menggulung ujung map undangan, pandangannya kosong. Sedari tadi, ia tak banyak bicara. Shifa bisa merasakannya sisa amarah dan kegundahan itu masih menggantung di wajah pria yang ia cintai. Shifa duduk di seberangnya, memperhatikan gerak tubuh Cakra. Sesekali pria itu menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ketika tatapan mereka bertemu. “Bang…” Shifa memanggil pelan.
Cakra menoleh. “Hmm?” Shifa menarik napas pelan, lalu berkata lembut namun tegas, “Aku nggak butuh yang sempurna… Aku cuma butuh orang yang bisa nemenin aku... dan sudah selesai dengan masa lalunya.” Perkataan itu jatuh seperti tetesan air ke bara api. Tak meledak, tapi pelan-pelan memadamkan. Cakra terdiam. Kata-kata itu menamparnya tanpa amarah. Shifa tak membentak, tak menangis, tak menuduhnya tapi justru itulah yang membuat hatinya tercekat.
Shifa menunduk, menatap jemarinya sendiri. Dalam dirinya, masih ada perih tentang bagaimana pria di hadapannya sempat begitu terpengaruh oleh luka lama. Tapi ia memilih diam, karena ia tahu: ini bukan tentang menyalahkan… ini tentang menyembuhkan. “Aku bukan saingan masa lalumu, Bang. Aku ini masa depanmu. Tapi kalau kamu masih terus noleh ke belakang, aku takut… kamu bakal hilang arah,dan kita...” Cakra mengepalkan tangan. Dadanya sesak. Ia memejamkan mata sejenak, lalu berdiri perlahan dan menghampiri Shifa yang kini juga berdiri.
Di bawah pohon mangga tua di halaman rumah, mereka berdiri saling menatap. Angin berembus pelan, menerbangkan satu-dua lembar undangan yang belum terlipat sempurna. Tanpa kata, Cakra meraih Shifa dan memeluknya singkat. Kepalanya bersandar di pundak gadis itu. Pelukan yang tak lama, tapi cukup untuk menyampaikan semua perasaan yang selama ini ia simpan. “Aku janji,” bisik Cakra, suaranya nyaris tak terdengar. “Ini terakhir kalinya aku lihat ke belakang.”
Shifa menutup matanya, menahan air yang mulai menggenang. Ia tak menjawab, hanya memeluk lebih erat, seolah berkata, “Terima kasih, sudah memilih menatapku hari ini.”
Siang hari yang cerah, ruang tamu rumah Cakra disulap jadi ruang rapat dadakan. Di meja besar, berbagai contoh kain, katalog dekorasi, dan sketsa desain baju pengantin berserakan. Shifa sedang duduk berdampingan dengan seorang desainer muda yang enerjik, sambil menunjuk-nunjuk warna kain. Dita duduk di sisi lain, ikut menimbang pilihan dengan teliti. Cakra? Ia duduk agak ke belakang, wajahnya bingung sejak tadi menatap dua potongan kain.
“Yang ini warna apa?” tanya Cakra sambil menunjuk ke satu kain. Shifa menjawab cepat, “Itu dusty rose.” Cakra mengangguk… lalu menunjuk yang satunya lagi. “Kalau ini?” “Peach,” jawab sang desainer. Cakra memicingkan mata. “Kok… sama aja ya? Bedanya di mana?” Shifa langsung tertawa kecil, menutup mulutnya. “Bang, peach itu lebih ke oranye lembut. Kalau dusty rose tuh pink kecokelatan. Kan kelihatan banget.”
Cakra menggaruk kepala. “Buatku sih dua-duanya warna… nggak merah, tapi juga bukan putih.” Dita ikut tertawa, “Makanya jangan cuma hafal warna loreng aja, Nak.” Semua tertawa, termasuk desainer. Suasana jadi hangat dan cair. Tak lama kemudian, Darma datang dengan langkah cepat dan membawa satu tas besar berisi brosur dan contoh souvenir.
“Guys! Gue nemu ini lucu banget, coba lihat,” katanya antusias, sambil mengeluarkan souvenir berbentuk helm mini dengan tulisan “LOVE IN BATTLEFIELD”. Shifa tertawa geli. “Itu konsepnya perang atau pernikahan, Mas?” Dita menyipitkan mata melihat gantungan kunci berbentuk granat warna pink metalik. Gahar, yang baru masuk membawa teh, berhenti sejenak. “Darma… itu mau nikah atau mau perang dunia ketiga?”
Darma nyengir. “Ya biar beda, Om! Biar dikenang.” “Yang dikenang itu cintanya, bukan souvenirnya,” sahut Gahar sambil mengembalikan brosur itu ke tas Darma. Semua kembali tertawa. Cakra pun akhirnya ikut tertawa lepas, untuk pertama kalinya setelah sempat murung beberapa hari. Shifa meliriknya dan tersenyum lega. Dia sudah kembali ke jalurnya, pikirnya.
Kursi-kursi sudah mulai tersusun rapi. Tirai putih lembut menggantung anggun dari langit-langit, dihiasi bunga-bunga segar berwarna pastel. Beberapa pekerja dekor sibuk menyesuaikan detail tata letak, sementara Shifa berjalan pelan menyusuri area pelaminan, clipboard di tangan. Dia mengecek satu per satu dari hiasan bunga, backdrop dengan nama mereka berdua, hingga tata letak meja tamu. Meski wajahnya letih, sorot matanya menunjukkan kegembiraan.
Dari pintu masuk aula, Cakra muncul mengenakan kemeja polos dan celana hitam. Ia baru pulang dari latihan fisik pagi, terlihat masih berkeringat tapi tetap memaksakan diri untuk mampir. Matanya langsung menangkap sosok Shifa yang berdiri membelakangi pelaminan, sibuk memberi instruksi pada vendor bunga. Tanpa bicara, Cakra melangkah pelan ke arahnya. Ia mendekat, lalu memeluknya perlahan dari belakang.
Shifa terkejut kecil. “Bang…” bisiknya sambil menoleh, lalu tersenyum. “Baru pulang?” “Iya, dan aku langsung ke sini,” jawab Cakra pelan, dagunya bersandar di pundak Shifa. “Aku nggak mau ketinggalan momen kayak gini.” Shifa tersenyum makin lebar, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Cakra yang melingkari pinggangnya. “Dekornya cantik,” gumam Cakra. “Tapi nggak secantik kamu.”
Shifa tertawa pelan. “Gombalnya makin hari makin canggih, ya?” Cakra nyandarkan kepalanya di bahu shifa “Mumpung masih muda, jadi masih bisa rayu-rayu,” jawab Cakra bercanda. Mereka berdiri dalam diam sejenak, menikmati suasana aula yang mulai berubah menjadi tempat sakral. Cahaya senja menembus tirai, menciptakan bayangan keemasan yang menyentuh wajah mereka. Tak lama kemudian, Dita memanggil dari kejauhan, “Cakra, kamu bawa Shifa pulang, ya. Dia dari pagi belum istirahat!”
“Siap, Bu” jawab Cakra sambil tertawa kecil. Mereka berdua akhirnya keluar aula bersama, tangan mereka saling menggenggam. Di parkiran, sebelum berpisah, Shifa berkata lembut, “Aku nginep di rumah Om Gahar dulu malam ini. Biar gampang koordinasi sama vendor.” Cakra mengangguk. “Aku ngerti. Tapi kalau kamu capek, jangan maksa, ya?” Shifa mengangguk, lalu tersenyum. Mereka berpelukan singkat di bawah cahaya lampu taman.
“Sebentar lagi, ya…” bisik Cakra di telinganya. “Sebentar lagi, aku nggak perlu ngelepas kamu pulang sendiri.” Shifa hanya menatap matanya dalam, lalu mengangguk. “Aku tunggu hari itu.” Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang berdebar. Shifa tidur di rumah Gahar, sementara Cakra kembali ke rumahnya, duduk termenung sebentar di kamar.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf