Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Situasi Erick dan Emily
"Dasar kampungan. Ganggu ketenangan orang lain saja," desis Emily sangat pelan, nada jijik tidak tertahankan. Matanya melirik sinis ke meja seberang, tempat Zara dan Mila sedang bersitegang. Walaupun perdebatan mereka tak terdengar jelas, suara gedebuk meja yang dipukul Mila--meski sudah ditahan--cukup keras hingga praktis menarik atensi semua pengunjung, termasuk Emily dan Erick.
Melihat fokus Emily tertuju pada keributan itu, Erick segera mencari cara untuk mengalihkan perhatian wanita di hadapannya.
"Hiraukan saja, Em. Coba ini, menurutku menu ini enak," kata Erick sambil menyodorkan sesendok makanan ke hadapan Emily.
Sendok itu menggantung di udara. Emily memandang Erick dengan tatapan yang menohok.
"Itu udang, Erick. Apa kau mau membunuhku?"
Erick terperanjat. Ketergesaan untuk meredakan situasi membuatnya lupa total. Emily alergi parah terhadap hidangan seafood itu. "Astaga, Em. Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja. Saking inginnya berbagi rasa enak menu ini padamu."
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Upaya Erick justru membuat mood Emily yang sudah di ujung tanduk jadi benar-benar hancur. Ia mendengus kesal dan menyatakan sudah kehilangan selera makan.
"Aku pergi. Aku mau dugem malam ini," putus Emily, beranjak dari kursi.
Erick mencoba menahan, "Em, jangan terlalu banyak minum. Lagipula, kau yakin mau pergi sekarang?"
Emily tidak peduli dengan larangan itu. Ia bersikukuh, dan amarahnya justru meluap menjadi hinaan yang diarahkan langsung pada Erick.
"Apa-apaan sih, mau senang-senang saja dilarang. Urusin saja hidupmu sendiri, jangan terlalu kuper. Belajar memuaskan istri yang benar. Jangan ogah-ogahan sampai melehoy." sembur Emily tanpa tedeng aling-aling. Ia lalu teringat sesuatu. "Ah iya, bayaran waktu itu kenapa kau kembalikan lagi ke dompetku?" tanyanya meremehkan.
Erick menghela napas panjang, "itu sudah jadi hak dan kewajiban sebagai suami istri, Em. Tidak ada bayaran apapun untuk memenuhi satu sama lain soal itu."
"Oh, begitu ya? Banyak belajar lagi, ya. Minimal ada yang bisa aku arah menikah denganmu. Kau tidak terlalu tampan, tidak tajir, kalaupun bukan karenaku, kau bukan siapa-siapa. Soal pintar, masih pintaran aku. Sampai urusan ranjang saja, ck, parah sekali service-nya. Pantas aku tidak hamil-hamil. Minimal kau punya salah satu keunggulan, Erick."
Mendengar peelecehan yang sudah kelewat batas, Erick mencoba menghentikan. "Em, lebih baik kita bahas ini di rumah saja." Ujarnya.
Emily mengibaskan tangannya, menolak untuk melanjutkan bahasan memalukan tersebut. Ia hanya ingin pergi dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Walaupun baru dihina habis-habisan, Erick masih sempat menunjukkan kepedulian.
"Baiklah, aku mengijinkan mu pergi, tapi jangan terlalu banyak minum, Em," pesannya.
Emily hanya mendengus seraya berkata, "Iya, bawel! Lain kali service-mu yang enak kalau gak mau aku tampar pakai duit" Ia pun melangkah pergi, meninggalkan Erick sendirian.
...****...
Mila memendam kebencian yang mendalam terhadap perselingkuhan. Perasaan antipati ini bukan tanpa alasan, semula berakar dari luka lama yang menganga di keluarganya. Ingatan akan pengkhianatan Ayahnya dengan teman Ibunya telah mengubah rumah menjadi neraka. Di sana, hanya ada ratapan Ibunya yang pilu, dan kebohongan-kebohongan tanpa malu dari sang Ayah yang sama sekali tak menunjukkan secuil pun penyesalan.
Maka, ketika fakta pahit itu terkuak bahwa sahabatnya, Zara, adalah seorang istri simpanan, Mila merasa nyesek di hati. Posisinya sebagai anak korban pengkhianatan masa lalu membuatnya merasakan kembali getirnya luka sang Mama. Sejak moment pengakuan di restoran hingga perjalanan pulang, Mila membungkam diri. Diamnya terasa dingin, terkesan cuek, bahkan ia bisa meledak dengan nada tinggi saat Zara mencoba mengajaknya bicara. Namun meski hatinya bergolak, entah mengapa Mila tidak sampai hati untuk benar-benar meninggalkan Zara sendirian di tengah jalan.
Perpisahan sejati baru terjadi ketika mereka tiba di rumah. Jarak yang diciptakan Mila semakin kentara dan menyakitkan.
Zara merasakan kesedihan itu. Ia menerima sikap dingin Mila. Dalam hati, Zara tahu ia sedang menanggung konsekuensi dari perannya sebagai pihak ketiga. Di mana-mana, seorang pelakor pasti salah. Zara memilih untuk tidak menjelaskan lika-liku takdirnya, sebab tak ada gunanya menjelaskan pada hati yang sedang dilanda amarah, logika takkan berfungsi. Pun, tak ada pembelaan yang bisa diterima dari orang ketiga di hadapan korban yang merasakan posisi istri yang dikhianati.
Biarlah.
Zara memutuskan untuk membiarkan sementara waktu yang ingin menjauh, menjauh dahulu. Ia akan menerima konsekuensi pilihannya ini dalam kebisuan yang sunyi.
Saat tubuhnya hampir ambruk ke sofa, pintu terbuka. Erick muncul, melangkah cepat, dan tanpa kata langsung memeluk Zara dari belakang. Pelukan itu erat, seakan menyalurkan seluruh kekuatannya. Erick menghirup dalam-dalam aroma rambut Zara, lalu menciumi lembut tengkuknya, membisikkan kata-kata penenang.
"Maafkan aku, Sayang," bisik Erick tulus, menyesali telah menempatkan Zara dalam situasi rumit dan pelik ini.
Zara menggeleng pelan di dekapan Erick.
"Jangan minta maaf, Mas. Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah di sini, Mas. Apa yang terjadi, ini sudah takdirnya." Ia terus berucap bijak, berusaha menguatkan dirinya sendiri sekaligus menenangkan Erick.
Erick melepaskan pelukan, kini berdiri di hadapan Zara. Kedua tangannya yang besar menangkup lembut wajah Zara. Ia membelai pipinya dengan ibu jari, menatap mata Zara lekat-lekat. Perlahan, Erick mencondongkan tubuhnya. Ia meraup bibir ranum Zara, melumaatnya dengan kelembutan yang memabukkan. Kecupan yang semula tegang itu perlahan mencairkan. Sentuhan itu menjadi obat penenang. Nafas Zara mulai teratur.
Setelah kecupan lembut yang meredakan ketegangan, Zara menyandarkan dahinya di bahu Erick. Ia merasakan detak jantung suaminya yang masih berdentum keras. Kemudian ia mendongak, matanya menelusuri wajah Erick dengan penuh perhatian.
"Mas apa ada luka lain lagi?" tanya Zara lirih.
Erick menggeleng, menepis kekhawatiran Zara dengan senyum tipis. "Nggak ada, Sayang. Hanya lelah biasa," jawabnya.
Namun, mata Zara lebih tajam dari yang ia duga. Tatapannya tertuju pada tangan kiri Erick. Dengan hati-hati, ia meraih tangan itu dan menariknya pelan-pelan. Seketika, Zara terdiam.
Luka di telapak tangan Erick yang sempat ia obati beberapa waktu lalu rupanya masih belum pulih, bekas hantaman benda oleh Emily, istri sah Erick. Lukanya masih tampak merah, bahkan terlihat ada memar baru di dekatnya, seakan baru saja menerima hantaman keras lain.
"Ini kenapa bisa begini lagi, Mas? Kapan ini terjadi?" desaknya. Ia meraih kotak P3K.
Erick hanya bisa menarik napas panjang. Ia membiarkan Zara membersihkan dan mengobati lukanya tanpa berkomentar, sebab ia tahu, berbohong hanya akan memperpanjang kesedihan Zara. Mila, sahabat Zara, tidak pernah tahu kenyataan ini. Mila tidak pernah tahu bahwa setiap kali Erick pulang menemui Zara, ia hampir selalu membawa luka, baik yang terselubung maupun yang kentara, ditorehkan oleh amarah Emily yang meluap-luap.
Itu hanya luka fisik, yang hanya secuil bagian gambaran prahara rumah tangga Erick dan Emily.
Luka batin Erick jauh lebih menganga. Ia tidak bisa pergi, tidak bisa berlari meninggalkan Emily, setidaknya untuk saat ini. Ada sesuatu yang menahan, dan ada situasi pelik yang mengikat kakinya di rumah tangganya yang retak.
"Mas, tolong ceritakan padaku apa yang terjadi sampai kamu mendapatkan luka ini? Cerita saja Mas, aku akan mendengarkan dan mengobati seperti biasanya. Jangan jadikan beban terpendam, ada aku disini tempat mu untuk Mas berbagi."
"Baiklah. Jadi begini--"
.
.
Bersambung.
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁
jadi curhat nih