Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Gimana Ini?
...Kalau lagi bad mood, coba tarik napas lalu hembuskan. Kalau masih bad mood, coba tarik tunai terus jajan....
...(Cantya Lova, S.T. RONG)...
"Eh, tapi aku belum bisa tarik tunai. Huh! Harus ke Polsek dulu. Untung udah pinjem seratus." Oceh Tya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas usai mengunggah quote sesat pagi ini. Memutar badan di depan jendela untuk memastikan ulang penampilannya. Pintu rumah sudah dipastikan dikunci dan kuncinya masuk ke dalam tas. Saatnya mengurus surat kehilangan KTP dan kartu ATM.
"Tya, mau ke mana?"
Tya urung mengenakan helm dan menoleh ke sumber suara yang familiar di telinganya. Yuni memasukkan motor ke halaman rumah. Berhenti di sisi kiri motor Bisma yang akan digunakannya.
"Aku mau ke Pluto. Yun, kalau kau ke sini buat bujuk aku untuk ambil jalur khusus, kau lebih baik pulang lagi. Aku nggak minat. Lebih baik jadi pengangguran banyak duit. Aamiin."
Yuni meringis. "Nggak, Tya. Aku ke sini ada maksud lain. Bisa kita bicara dulu?"
Tya terdiam dengan otak menimbang-nimbang. Baru pukul setengah sepuluh, masih ada waktu panjang untuk pergi ke kantor polisi. "Ayo ngobrolnya di dalam."
"Di luar aja, Tya. Aku nggak mau obrolan kita didengar orang lain."
"Nggak ada orang. Kak Bisma sama Mbak Susan lagi kondangan." Tya menurunkan tas ransel biru kesayangan. Merogoh kunci. Mengajak Yuni masuk dan mempersilahkan duduk di sofa minimalis warna abu tua. Ada satu nampan berisi 8 air mineral kemasan gelas tersaji di meja.
"Ini untukmu. Tadi malam aku ke mall nganter adek pengen beli donat. Aku jadi inget kau juga suka donat ini. Sekalian beli deh." Tya menyimpan di meja, kantong bening dengan logo JCO yang tadi dicantolkan di motor.
Tumben. Jangan-jangan ini sogokan. Eh, nggak boleh suudzon. Mungkin ini kompensasi tutup mulut.
Tapi tapi yang terucap dari bibir Tya adalah, "Makasih, Yun. Moga rejekinya diganti sama Allah berkali-kali lipat."
Yuni mengangguk. Mengamini. "Tya, obrolan kemarin tolong jangan di sebarluaskan pada orang lain termasuk pada kakakmu juga ya. Apalagi pada orang tuaku. Please, jangan ya!" Yuni menatap dengan sorot memelas.
Tya menghempaskan punggung pada sandaran sofa. Mendesah berat dengan tatapan lurus pada tamu yang duduk dengan memasang wajah minta dikasihani. "Urusan tutup mulut, kau jangan khawatir. Aku bukan tukang ghibah. Hanya menyayangkan kenapa kau jual kehormatan demi kontrak 2 tahun ke depan. Semurah itu..."
"Jalur khusus itu udah berjalan lama, Tya. Kau bisa tanya mereka yang sekarang di posisi kontrak kerja kedua, gimana seleksinya."
"Jangan membenarkan yang biasa. Biasakan ambil jalan yang benar, Yun. Pekerjaan kita halal, gaji yang kita dapat pastinya halal. Tapi kalau cara mendapatkannya dengan nyogok, maka gaji yang didapat jadinya haram. Itu bukan kata aku, tapi kata ustad. Dan bentuk nyogok itu banyak macamnya. Bukan cuma dengan memberi duit, memberi tubuh juga termasuk."
Yuni diam menundukkan wajah sambil menjalin jemari. Ucapan Tya terlalu pedas membuat dadanya panas. "Cari kerja sekarang ini susah, Tya. Aku nggak punya keahlian lain selain jadi buruh pabrik. Yang sarjana aja susah nyari kerja, apalagi aku yang lulusan SMA." Ia tetap saja membuat pembelaan.
"Sama. Aku juga lulusan SMA, Yun. Tapi aku nggak panik urusan rejeki meskipun kerjaku tinggal sebulan lagi. Aku udah buat rencana apakah nanti jadi ojol, atau bantu marketing usaha kuenya Mbak Susan. Prinsipku kerja itu bukan hanya cari duit tapi juga cari berkah. Sorry ya, Yun. Aku nggak ada maksud mengguruimu. Hidup itu pilihan. Jika jalur itu udah jadi pilihanmu, berarti siap dengan konsekuensinya juga."
***
Tya menghela napas lega begitu keluar dari kamar mandi. Yuni sudah pulang setengah jam yang lalu. Ia tak buru-buru menyusul keluar pergi, hari ketiga menstruasi lagi deras-derasnya jadi mesti ganti pembalut dua jam sekali.
"JOKO! Aku pergi dulu ya." Teriakan Tya di pintu belakang mengagetkan ayam jago yang sedang bersantai di kandang. Terperanjat bangun dan segera mengepakkan sayap. Dengan puas, Tya cekikikan. Keisengannya berhasil.
Motor melaju pelan keluar dari pintu pagar setinggi 120 cm. Tya turun dan mendorong lagi pintu hingga rapat. Tangan merogoh selot yang ada di dalam. Meski ukuran rumah tak terlalu besar dan model rumah lama, namun memiliki halaman depan dan belakang yang cukup luas. Bisa ditanami tanaman apotek hidup dan tanaman bumbu dapur. Lumayan menghemat pengeluaran harian. Tanah dan bangunan peninggalan almarhum orang tua itu dirawat dengan baik, tapi sayangnya sertifikatnya digadaikan paman dari pihak ayah tanpa izin dan tanpa sepengetahuan. Sehingga bermasalah sampai sekarang.
"Hei, Ipin Upin. Jangan main hp terooos." Tya sengaja menghentikan motor di depan warung. Yang ditegur tetap menunduk memainkan jari.
"Marahin aja, Tya. Aku udah berbusa negur dari tadi. Eh, telinganya mampet tuh bocah," sahut perempuan yang sengaja keluar dari warung.
"Mpok Iyam kirain ikut rombongan Pak Kohar." Tya mengabaikan merepetnya ibunya si kembar. Salah sendiri di diberi kebebasan main ponsel sejak kecil. Kalau dilarang bakal tantrum. Nangisnya sampai terdengar ke rumahnya.
"Nggak ah. Sayang kalau warung tutup. Buruh bagunan di rumahnya Haji Atep kalau istirahat suka ngopi di sini. Suami aja yang ikut."
Tya manggut-manggut. Kembali menghidupkan starter.
"Mau ke mana, Tya?"
"Ke depan, Mpok. Mau hitung bus telolet yang lewat."
Mpok Iyam tertawa. Sudah biasa mendengar jawaban Tya yang tak pernah serius kalau ditanya tujuan.
Tya kembali harus menghentikan motor yang baru melaju 1 meter. Karena sebuah mobil sedan mewah warna hitam di arah berlawanan, memberi lampu isyarat dan menutup jalannya. Kedua alisnya bertaut. Tak ada tetangga yang memiliki mobil berlogo BMW. "Ini tamu yang nyari alamat kali ya," ujarnya dalam hati.
Tapi kemudian mata Tya melotot begitu sopir membukakan pintu belakang. "Itu...Ibu ODGJ kan? Eh...Ibu Suri maksudku."
"Halo, kau....Tya, kan? Cantya Lova?" Suri berdiri di depan motor Tya, menatap dengan wajah semringah. Instingnya tak salah. Dari kejauhan ia sudah menebak jika gadis yang sedang berbincang depan warung itu orang yang kemarin lari terbirit-birit, yang menyuruhnya bunuh diri.
Aduh, kenapa dia tahu wajahku. Padahal aku pakai helm.
Kenapa harus ketemu lagi ibu-ibu stres ini.
"Benar, Mbak. Ini Tya tetangga saya. Mbak cari Tya buat apa? Tya nabrak mobil mbak ya." Mpok Iyam yang menjawab karena Tya masih mengatupkan bibir.
"Oh nggak. Tya nggak nabrak mobil saya. Justru saya mau main ke rumahnya. Saya sebagai calon mertua Tya pengen lebih akrab dengan calon mantu."
"UWOWW! Calon mertua, calon mantu? Tyaaaa bisa-bisanya diem-diem bae. Kirain belum punya pacar. Surprise ini mah surprise." Mpok Iyam menepuk-nepuk punggung Tya dengan gemas.
Yang dipukuli justru meringis ingin nangis bukan karena sakit tapi karena merasa sial ketemu Ibu Suri yang ucapannya dinilai memiliki gejala stres. "Alamak...gosip siap merebak satu RT nih."
"Ayo, Nak. Kita lanjut ngobrolnya di rumah ya. Ibu bawa oleh-oleh banyak buat calon mantu." Suri tersenyum lembut dan menatap hangat. Gesturnya begitu anggun, tenang, dan percaya diri.
Aduh...gimana ini?
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣