Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Purnama
Mentari
Aku terkejut mendengar ucapan Senja. Reflek aku langsung menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum lebar dan kembali mengancamku. "Senyum... cheeeseee."
Senyum di wajahku langsung mengembang. Senyum di bawah ancaman. Aku penasaran namun tak bisa kutanyakan sekarang.
"Mbak." Purnama mengulurkan tangannya padaku. Ia hanya tersenyum tipis, tipis sekali.
"Dek." Kuberikan tanganku sambil tetap tersenyum lebar, takut dengan ancaman Senja. "Maaf ya lama, Senja tadi kebelet pipis."
Senja memelototiku, kubalas dengan senyum yang semakin lebar.
"Tak apa, Mbak. Oh iya, Mbak, ini temanku Heni." Purnama mengenalkan temannya padaku. Wajah Purnama masih datar, berbeda sekali dengan Purnama yang selama ini aku kenal.
"Mentari. Oh iya, ini Senja." Kukenalkan Senja pada Heni. Setelah mereka berkenalan, kuajak Purnama dan Heni ke rumah.
Aku dan Senja berjalan di depan. Senja bersikap amat ramah pada Purnama, seakan ia lupa betapa kesalnya dia saat kuceritakan kalau Mas Bayu selingkuh dengan Purnama. Apa Senja sudah lupa?
"Ini kamar kalian. Anggap saja rumah sendiri," kataku seraya mengantar Purnama dan Heni ke kamar yang biasa kutempati. "Kamar mandi hanya satu di dekat dapur jadi gantian ya."
"Iya, Mbak," jawab Purnama dan Heni dengan kompak.
Kubiarkan mereka merapikan barang-barang di dalam kamar. Aku memilih untuk membantu Senja menyiapkan makan malam. Kuambil piring dan mengeluarkan ayam bakar dari kotak.
Kudekati Senja pelan-pelan lalu aku kembali mengajukan pertanyaan padanya. "Ja, jelaskan maksud ucapanmu tadi."
Senja menoleh padaku dengan keningnya yang berkerut. "Ucapanku, yang mana?"
"Jangan pura-pura tak tahu deh, Ja." Kuambil 4 buah gelas bersih dan menatanya di atas meja.
"Oh... yang mabuk aci? Kamu mau mabuk aci?" tanya Senja.
Ish, menyebalkan! Aku tahu kalau Senja sedang pura-pura lupa.
Tanpa ba bi bu, kuarahkan cubitanku ke pinggangnya. "Jangan kebanyakan drama!"
"Aw... aduh, sakit, Tari!" Senja mengaduh kesakitan sambil mengusap bekas cubitanku.
"Makanya jawab! Jangan kebanyakan muter-muter. Macam sinetron saja!" Kupasang wajah tanpa kompromi.
"Ish... galak banget jadi cewek. Untung sudah aku nikahi, kalau tidak-"
"Kalau tidak apa?" balasku cepat.
"Ya... kalau tidak, kamu yang nikahi aku." Senja tersenyum mengejek.
"Aku cubit lagi nih!" ancamku seraya mengangkat tanganku yang sudah dalam bentuk capitan siap mencubit.
"Ih, sakit, Tari. Nggak lucu ah. Kubilangin sama Ibu loh!" ancam Senja.
"Dasar manja, ngadu terus! Cepat jawab, Ja!" Aku makin tak sabaran.
"Cepat-cepat mau ngapain sih? Mau aku kelonin di kamar? Ya, sabar. Nanti juga kita kelonan." Senja kembali tersenyum mengejek.
"Wah... nggak bisa dibiarin nih!" Kuambil centong nasi lalu mengejar Senja. Kami main kejar-kejaran sampai tak sadar kalau Purnama dan Heni sudah keluar kamar dan sedang memperhatikan kami berdua yang bak anak kecil.
"Pause dulu, Tari. Peace!" Senja berhenti berlari. Lincah juga dia, selalu lolos dari kejaranku.
"Awas ya!" ancamku.
Senja menatap Heni dan Purnama yang berdiam di tempat lalu tersenyum lebar. "Maaf ya, kami memang suka begini. Kita makan malam dulu yuk! Kalian pasti lapar bukan? Ayo, Tari sudah menyiapkan makan malam. Anggap saja di rumah sendiri ya."
Purnama mengangguk sambil tersenyum tipis. Kami makan malam dalam diam, hanya Senja yang terus berceloteh tak jelas. Tentang rencana masjid mau buat 3 lantai lah, tentang marbot masjid yang suka tidur sambil mendengkur, pokoknya tak jelas. Benar-benar suami super aneh! Memangnya Heni dan Purnama peduli gitu dengan hal nggak penting kayak gitu?
"Aku saja yang cuci piring, Mbak!" Purnama menawarkan diri mencuci piring bekas kami makan malam.
"Aku yang sapu dan pel," kata Heni cepat.
"Benar nih? Kalian nggak capek?" tanyaku balik.
"Nggak kok, Mbak. Di kereta malah kami tidur terus." Heni mengambil sapu lalu meninggalkanku dan Purnama di dapur.
Aku dan Purnama masih nampak canggung. Purnama sibuk mencuci piring sedang aku memutuskan untuk mencuci pakaian. Andai Senja tidak pamit keluar, pasti suasana tak akan canggung seperti saat ini. Huft... ada gunanya juga dia bicara aneh, setidaknya suasana tak akan canggung kalau dia ngoceh tak jelas. Aku memasukkan baju kotorku dan Senja ke dalam mesin cuci lalu memutar tombolnya.
"Kata Ibu, Mbak Tari sudah bekerja ya sekarang?" Purnama akhirnya membuka mulutnya. "Kerja dimana, Mbak?"
"Iya. Baru beberapa hari yang lalu diterima kerja. Mbak kerja di perusahaan supplier bahan baku pabrik otomotif," jawabku. Tak ingin rasa canggung kembali datang, aku pun balik bertanya. "Kamu dan Heni, Ke Jakarta untuk mengerjakan tugas apa?"
"Ada kunjungan ke salah satu perusahaan di Jakarta. Kebetulan aku dan Heni yang terpilih mewakili kampus," jawab Purnama.
"Oh... gitu." Aku tak tahu mau mengajak Purnama bicara apa lagi. Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan namun aku tak tahu harus mulai dari mana karena yang ingin kutanyakan adalah tentang bagaimana hubungannya dengan Mas Bayu sekarang. Apakah mereka masih bersama? Jika benar masih... nyut... hatiku kembali terasa sakit.
"Mas Senja... suami yang baik ya? Perhatian lagi sama Mbak," ucap Purnama.
"Ya... bisa dibilang begitu," jawabku. Tak tahu saja Purnama kalau Senja suka aneh dan lebih sering menyebalkan.
"Aku perhatikan, Mas Senja terlihat menyayangi Mbak. Kalau Mbak sendiri... bagaimana?" Purnama mematikan kran air. Ditaruhnya piring yang sudah dicuci di atas rak piring lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Bagaimana apanya?' tanyaku balik.
Aku mengenal sekali Purnama. Dia bukan orang yang suka memendam sesuatu. Ia hanya menahannya sebentar sebelum akhirnya mengeluarkan isi hatinya.
"Apa Mbak... menyayangi Mas Senja?" tanya Purnama.
"Menurutmu?" tanyaku balik.
Purnama mengangkat kedua bahunya. "Entah. Yang kulihat, Mbak begitu nyaman tinggal di Jakarta bersama Mas Senja."
"Tentu saja. Kamu tahu bukan kalau Mbak sejak dulu ingin tinggal di Jakarta?" balasku.
Purnama tersenyum mengejek. "Ya. Mbak memang ingin sekali tinggal di Jakarta. Aku lihat, Mbak juga nyaman dan bahagia tinggal bersama suami dadakan Mbak."
Kubalas senyum Purnama dengan senyum lebar. Walau ditugaskan menjaga Purnama dan mengajaknya bermain setiap hari, aku dan Purnama juga sering bertengkar. Sekarang ini contohnya. Kami perang ego dan main sindir-sindiran. "Penilaianmu tak sepenuhnya salah."
Senyum di wajah Purnama kini lenyap sudah. Tatapan kebencian kembali kulihat di wajahnya. Tatapan yang ia tujukan padaku saat Mas Bayu lebih memilihku dibanding dirinya. Tatapan yang kulihat setiap kali Bapak membelaku dan menegurnya. Tatapan yang sejak tadi ia sembunyikan dengan rapat. "Enak ya? Bagaimana rasanya tetap menang dan mendapatkan apa yang Mbak inginkan? Pasti bahagia ya? Mbak tak pernah berubah. Selalu licik!"
****
Lanjut mizz 🥰
mentari udah siap 😂
tuhh Tari mnding kerja di perusahaan suami ajaa atau nonton sinetron azab di rumah 😂😂
bnyak org yg mngalami langsung kaku ga bs menolak akhirnya malah makin ditindas dan dilecehkan
Untung saja ada Senja, lingkungan dan Bos yg toxic udah tepat kmu dipecat ga usah lama2 dilingkungan kayak gt
dapat suami baik, bertanggung jawab dan mencintai kamu dengan setulus hati. tapi kamu masih banyak berfikir dan malah buat orang jadi gegana.