NovelToon NovelToon
Cerita Kita

Cerita Kita

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Idola sekolah
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: cilicilian

Percintaan anak sekolah dengan dibumbui masalah-masalah pribadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mamah, Papah

Sepi mencekam, menyelimuti Dara bak selubung tebal. Hanya deru televisi dan bunyi kunyahan ringan yang memecah kesunyian itu, ironisnya malah semakin menonjolkan kesepian yang menyesakkan dadanya. Kekecewaan, seperti duri yang menusuk dalam, masih mengganjal di hati.

Pengakuannya pada orang tua masih menggantung, tak tersentuh, tak tertanggapi. Mereka, yang seharusnya menjadi benteng perlindungannya, lebih mementingkan karir mereka yang menjulang tinggi daripada anak semata wayang mereka yang tengah merintih dalam diam.

Di antara semburat cahaya biru televisi dan remahan cemilan yang berserakan, pintu rumah berderit pelan. Kedua orang tuanya pulang, wajah lelah mereka terukir jelas di bawah cahaya redup. Dara hanya melirik sekilas, tatapannya datar, tanpa sepatah kata pun. Kekecewaan telah membekukan lidahnya, membungkam suara hatinya yang terluka.

Namun, langkah kaki mereka mendekat, mendekat ke arahnya yang terpaku di sofa. Ibunya menatapnya, dengan kelelahan yang tampak jelas di sorot mata. "Ra, kamu belum tidur?" suaranya terdengar letih, seperti beban yang berat dipikul.

Dara tetap diam, pandangannya terpaku pada layar televisi yang berkedip-kedip. Ibunya menghela napas panjang, napas yang seakan membawa beban kecemasan. "Ra, kamu masih marah ya sama Mamah?" suaranya lembut, namun di balik kelembutan itu tersirat kepedihan.

Keheningan itu menjawab. Keheningan yang lebih menyakitkan daripada kata-kata kasar sekalipun. Ibunya kembali mencoba, "Kalau kamu diam saja berarti kamu masih marah sama Mamah."

Suara Dara akhirnya pecah, pelan tapi menusuk, "Percuma Dara mengeluh ke Mamah, kalau Mamah nggak bakal sadar." Tatapannya masih tertuju pada layar, menghindari kontak mata, seolah menghindari rasa sakit yang lebih dalam. Kata-katanya jatuh seperti tetesan air mata yang tak terlihat, namun mampu membasahi hati yang telah lama kering.

Anita Pradita, sang ibu, memejamkan mata, menahan gelombang sakit yang menerjang dadanya. Air mata yang tak mampu dibendung mengancam untuk tumpah. "Ra, Mamah minta maaf," suaranya tercekat, "Saat ini, hanya itu yang Mamah bisa ucapkan. Kata-kata tak mampu mewakili penyesalan yang begitu dalam."

Abimana Pradita, sang ayah, ikut duduk di samping Dara, tangannya terulur, ragu-ragu untuk menyentuh putrinya. "Ra, Papah tahu kami sebagai orang tua sangat gagal. Gagal menjaga kamu, merawat kamu, dan yang terpenting, mendampingi kamu," suaranya berat, dibebani oleh penyesalan yang mendalam.

Ia melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, "Papah sama Mamah memang harus bekerja keras, banting tulang untuk kamu. Kami berpikir itu adalah jalan terbaik, agar kamu berkecukupan. Tapi kenyataannya… kami telah merenggut kebahagiaanmu, menyisakan kesunyian dan kesepian yang begitu mendalam dalam hatimu, kan sayang?"

Setetes air mata jatuh, menandai awal dari tangisan yang telah lama terbendung. Tangis Dara bukan sekadar tangis anak yang manja, melainkan luapan kekecewaan, kesedihan, dan rasa kehilangan yang begitu mendalam.

"Kalian… kalian tidak pernah memperhatikan Dara. Dara kesepian, Mah, Pah. Dara butuh kalian. Dara butuh perhatian kalian, bukan dari orang lain," isak tangisnya pecah, setiap hembusan napas membawa beban kesedihan yang begitu berat.

Kata-katanya menusuk hati, mengungkapkan luka batin yang begitu dalam, luka yang tercipta karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua yang seharusnya menjadi tempat bergantung baginya. Rasa sakit itu bukan hanya disebabkan kurangnya materi, melainkan juga kekosongan emosional yang begitu menganga.

Kedua orang tua Dara menatapnya dengan raut wajah yang dipenuhi penyesalan. Pandangan mereka, yang selama ini dipenuhi oleh ambisi dan rutinitas pekerjaan yang tak ada habisnya, kini dipenuhi oleh rasa bersalah yang amat dalam.

Mereka telah menelantarkan anak semata wayang mereka, anak yang mereka pikir kuat, yang mampu menghadapi kerasnya dunia sendirian. Namun, kenyataan pahit telah membukakan mata mereka. Tubuh mungil Dara, yang selama ini mereka anggap tegar, ternyata rapuh, tak mampu melawan ganasnya dunia tanpa kehadiran dan kasih sayang orang tua.

Dengan hati yang remuk, mereka memeluk Dara erat-erat. Pelukan yang begitu hangat, mencoba untuk menebus waktu dan kasih sayang yang telah mereka curi. Pelukan yang ingin mengatakan, "Maafkan kami, Nak."

"Maafkan Mamah, sayang," suara Anita terisak, "Mamah salah. Mamah benar-benar minta maaf. Maaf karena telah mengabaikanmu, mengorbankan kebahagiaanmu untuk pekerjaan yang tak pernah ada ujungnya."

Abimana, sang ayah, ikut menimpali dengan suara yang bergetar, "Papah juga minta maaf, sayang. Papah gagal menjadi cinta pertamamu, tapi Papah akan memastikan bahwa kasih sayang Papah untukmu tidak akan pernah berkurang. Papah akan selalu ada untukmu." Kata-katanya tulus, menunjukkan tekad untuk memperbaiki kesalahan yang telah mereka perbuat.

Pelukan itu, diharapkannya mampu menjadi awal dari sebuah hubungan yang lebih baik, sebuah hubungan yang dibangun di atas dasar kasih sayang dan pemahaman yang sejati.

Di tengah isak tangis yang masih membasahi pipinya, Dara memeluk erat kedua orang tuanya. Hangat tubuh mereka, sentuhan lembut tangan mereka, merupakan obat penawar yang telah lama dirindukannya.

"Mah, Pah," suaranya terbata-bata, diselingi isak tangis yang sesekali pecah, "Dara mohon, jangan tinggalkan Dara lagi. Dara kesepian, Dara takut… Dara nggak bisa apa-apa tanpa kalian." Kata-katanya menusuk kalbu, mengungkapkan betapa besarnya rasa takut dan kesepian yang selama ini ia pendam.

Hati Anita dan Abimana hancur mendengar pengakuan putrinya. Rasa sakit yang amat sangat menusuk relung jiwa mereka. Dara, anak semata wayang mereka, anak yang selalu mereka banggakan, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam. Mereka telah gagal menjadi orang tua yang baik, telah lalai dalam memberikan kasih sayang dan perhatian yang seharusnya ia dapatkan.

"Sayang," suara Anita bergetar, dipenuhi oleh penyesalan dan rasa sayang yang begitu mendalam, "Mamah akan selalu ada buat Dara, buat anak Mamah satu-satunya. Mamah janji."

Abimana ikut menimpali, suaranya juga bergetar menahan haru, "Papah juga sayang banget sama Dara, anak perempuan Papah yang membanggakan. Papah janji akan selalu ada untuk anak Papah yang cantik ini."

Dara, meskipun telah beranjak remaja, masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Kekurangan kasih sayang selama ini telah membuatnya merasa sangat kesepian, merasa tidak diakui, dan membutuhkan pengakuan serta rasa aman dari kedua orang tuanya. Pelukan hangat itu, janji-janji yang diucapkan, merupakan awal dari sebuah perjalanan panjang untuk memperbaiki hubungan yang telah retak, untuk membangun kembali ikatan keluarga yang kuat dan penuh kasih sayang.

Pagi itu, mentari pagi menyinari wajah Dara dengan keceriaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Suasana hati Dara berbunga-bunga. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Kedua orang tuanya, yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya, pagi ini mendampinginya sarapan bersama dan mengantarnya ke sekolah. Rasa bahagia itu begitu meluap, seolah-olah ia adalah orang paling beruntung di dunia.

Di depan gerbang sekolah, Dara turun dari mobil. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata yang berkilauan. "Mah, Pah, Dara pamit," suaranya riang, melambai dengan semangat.

Anita dan Abimana tersenyum hangat, senyum yang begitu tulus dan penuh kasih sayang. "Iya sayang," ujar Anita, mengusap lembut pucuk kepala Dara. "Mamah sama Papah mau berangkat kerja dulu, tapi Mamah pastikan akan pulang sore nanti. Jangan lupa makan siang ya."

Abimana menambahkan, sentuhan tangannya lembut menyentuh pipi Dara. "Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Papah ya, sayang. Jangan sungkan."

Dara membalas senyum mereka, hatinya dipenuhi oleh rasa bahagia yang tak terkira. Perhatian kecil dari kedua orang tuanya, sentuhan lembut mereka, kata-kata sayang yang terucap, semua itu terasa begitu berharga. Ia merasakan, untuk pertama kalinya, bahwa ia benar-benar dicintai dan dihargai oleh orang tuanya. Perubahan kecil ini, memberikan harapan baru akan masa depan yang lebih cerah, masa depan yang dipenuhi oleh kasih sayang dan kebersamaan keluarga.

Dara melambaikan tangan pada mobil orang tuanya yang mulai menjauh dari pelataran sekolah. Senyum lebar masih terukir di bibirnya, mencerminkan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Namun, kebahagiaan itu sirna seketika ketika ia dikejutkan oleh teriakan dua orang sahabatnya.

"Dara! Ra, lo kemarin kemana sih?! Kita khawatir sama lo!" Sella menghampiri Dara dengan langkah cepat, suaranya terdengar cemas. Dela menyusul di belakangnya, wajahnya juga menunjukkan kekhawatiran.

"Andra juga," Dela menambahkan, "Dia pergi sebelum bel pulang. Kita khawatir banget."

Sella menatap Dara dengan pandangan yang penuh selidik. "Apa jangan-jangan… kalian bolos bareng?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada curiga.

Dara mengangguk pelan, mengakuinya.

Dela dan Sella saling pandang, mata mereka melebar tak percaya. "Apa?!" seru mereka bersamaan, suara mereka dipenuhi oleh keterkejutan yang sama.

Sella kembali bertanya, nada suaranya terdengar semakin curiga, "Kok bisa sih Ra? Lo diajarin sama Andra yang nggak bener kan? Makanya lo bolos sekolah?" Ia menatap Dara dengan tatapan penuh selidik, mencari-cari penjelasan dari sahabatnya itu. Keingintahuan dan sedikit kekhawatiran bercampur aduk dalam dirinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!