Aruna Mayswara terpaksa menerima pernikahan yang digelar dengan Jakson Mahendra-mantan kakak iparnya sendiri, lelaki yang sempat mengeyam status duda beranak satu itu bukan tandingan Aruna. Demi sang keponakan tercinta, Aruna harus menelan pahitnya berumah tangga dengan pria yang dijuluki diam-diam sebagai 'Pilot Galak' oleh Aruna dibelakang Kinanti-almarhumah kakak perempuannya. Lantas rumah tangga yang tidak dilandasi cinta, serta pertengkaran yang terus menerus. Bisakah bertahan, dan bagaimana mahligai rumah tangga itu akan berjalan jika hanya bertiangkan pengorbanan semata.
***
"Nyentuh kamu? Oh, yang bener aja. Aku nggak sudi seujung kuku pun. Kalo bukan karena Mentari, aku nggak mungkin harus kayak gini," tegas Jakson menatap tajam Aruna.
"Ya, udah bagus kayak gitu dong. Sekarang tulis surat kontrak nikah, tulis juga di sana perjanjian Mas Jakson nggak akan nyentuh tubuhku," ujar Aruna menggebu-gebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. RASA HAMPA
Pergerakan tangan Mentari menyendok nasi goreng buatan Aruna berhenti, diam-diam ia melirik ke arah Aruna. Ia cukup terkejut saat sampai di teras rumah, dua tas besar telah tergelak di teras rumah. Aruna tersenyum menyambut kepulangannya, mengatakan jika mereka akan pindah ke rumah yang pernah mereka lihat dulu.
Sempat ia bertanya apakah ayahnya juga ikut, Aruna berkata jika ayahnya yang sibuk tak bisa ikut dengan mereka berdua.
"Kenapa, Sayang?" tanya Aruna melembutkan suaranya saat matanya bersitatap dengan mata Mentari.
"Berapa lama kita akan tinggal di sini, Tante?" tanya Mentari lirih.
"Hm..., masih belum tau berapa lamanya. Tapi, yang pasti Tante bakalan pastiin kalau Mentari bakalan betah tinggal di sini. Sekolah Mentari juga bakalan di pindahkan di dekat sini, ada banyak teman seusia Mentari di sini," jawab Aruna, atensi memperhatikan ekspresi wajah Mentari—putrinya.
Kedua mata Mentari mendadak berkaca-kaca, ia bingung dan takut. Mentari tidak ingin berpisah dengan ayahnya, ibunya tidak lagi ada di dunia ini. Aruna terkesiap melihat butiran bening terjun bebas di pipi chubby Mentari, kedua telapak tangan Aruna menyentuh kedua sisi pipi Mentari sementara ibu jarinya bergerak mengusap air mata yang jatuh di pipi.
"Ap—apakah Papa tidak inginkan Mentari lagi. Seperti Mama yang nggak lagi ada buat Mentari," ujar Mentari tergagap, "Mentari bukan anak nakal, Mentari nggak akan pilih-pilih makan. Mentari nggak mau pindah sekolah, Mentari nggak mau dibuang."
Pada akhirnya tangisnya pecah mengudara di ruangan meja makan, Aruna memeluk Mentari. Hatinya nyeri mendengar putrinya menyuarakan isi hatinya, kedua tangannya memeluk erat-erat tubuh Mentari. Kedua matanya basah, ia tidak bisa bersuara dan mengeluh bagaimana tidak adilnya kehidupan yang dia jalani.
Masa remaja yang harus dijalani dengan pengobatan kejiwaan, anak yang dilahirkan langsung diserahkan pada Kinanti—kakaknya. Menata kembali masa depan yang harus ia kejar, berharap masa depan akan lebih baik. Menyimpan rahasia kelam itu rapat-rapat, berusaha keras untuk menanamkan ke dalam otaknya jika Mentari hanya anak Kinanti. Ia tidak boleh menaruh perasaan lebih pada anak yang berada di bawah asuhan kakaknya, Aruna menahan setiap tekanan berusaha untuk tetap baik-baik saja. Seolah-olah ia hidup dengan baik dan bahagia seperti wanita kebanyakan.
"Tan—tante nggak akan pernah ninggalin Mentari, Tante akan tetap di sisi Mentari. Tante akan jaga Mentari, jadi Tante mohon. Jangan nangis ya, hati Tante jadi sakit." Aruna berusaha keras agar suaranya tidak terdengar sumbang.
Mentari menyadari tubuh yang memeluk dirinya bergetar hebat, Aruna menangis tanpa suara. Apakah ia menyakiti wanita dewasa satu ini karena merengek, Mentari menahan air matanya dengan kedua sisi bahu naik-turun. Kepalanya terangkat mendongak menatap wajah Aruna, tangan kecil Mentari mengusap air mata Aruna yang jatuh.
Kedua mata ibu dan anak itu terlihat sangat mirip, batin keduanya terhubung. Meskipun kedua mata Mentari berkaca-kaca, tangannya mengusap kedua kelopak matanya dengan cepat sebelum air mata kembali jatuh.
"Mentari nggak nangis lagi, maafin Mentari Tante. Tante jangan nangis," ujar Mentari parau.
Aruna mengangguk perlahan, dan menggeleng setelahnya. "Tante nggak bakalan nangis, kalau Mentari nggak nangis."
"Senyum." Mentari menarik paksa kedua sisi bibirnya ke atas.
Aruna mengulas senyum, keningnya ditempelkan pada dahi Mentari. Beberapa kali menarik napas, untuk mengatur perasaannya.
"Tante sayang banget sama Mentari. Sayang sebesar alam semesta, meskipun tidak ada Mama Kinanti, Tante yang akan jadi mamanya Mentari. Meskipun tidak ada Papa Jakson, Tante akan jadi Papa juga untuk Mentari. Jadi, Mentari nggak boleh sedih, nggak ada yang membuang Mentari." Aruna memberikan pengertian pada Mentari, jika kasih sayang yang akan dia berikan berlipat ganda, ia akan menjadi ibu dan ayah untuk putrinya ini.
Kelopak mata Mentari berkedip dua kali, tatapan mata polosnya terlihat. Ia tidak terlalu mengerti dengan ucapan Aruna, hanya mampu menyimpulkan jika tantenya ini sangat menyayanginya dan ingin Mentari menganggapnya sebagai ibu.
"Mama," panggil Mentari lirih.
Pupil mata Aruna melebar mendengar panggilan Mentari padanya, hatinya berdebar keras entah kenapa perasaan sulit untuk Aruna gambarkan saat panggilan 'mama' keluar dari bibir Mentari. Senyum yang kini terbit di bibir Aruna bukan lagi senyum palsu, ia benar-benar tersenyum karena bahagia untuk pertama kalinya.
"Apakah boleh Mentari memangil Tante dengan panggilan Mama? Karena Mentari nggak mau diledek tidak punya Mama," lanjut Mentari menunduk perlahan karena tidak ada sahutan dari Aruna ia menjelaskan alasan ia ingin memanggil Aruna dengan panggilan 'mama' bukan lagi dengan panggilan tante.
Sentuhan lembut di pipi Mentari terasa, hangat sekali dan menenangkan kegelisahan di hati Mentari.
"Boleh, tentu saja. Mulai sekarang, Mentari harus memanggil Tante dengan panggilan Mama." Aruna tersenyum semakin lebar.
Mentari mengangguk sekarang ia punya mama lagi, tidak akan ada teman-teman yang meledek Mentari mulai sekarang. Pemikiran sederhana seorang anak yang menginginkan sosok ibu, yang telah lama menghilang. Tanpa mengetahui fakta jika wanita yang kini memeluknya adalah ibu kandungnya, wanita yang terus berbicara padanya saat di dalam kandungan. Melahirkannya dengan harapan Mentari akan hidup seperti namanya, bersinar terang meskipun tanpa Aruna di sisinya.
...***...
Pintu rumah dibuka perlahan, setelah berbicara dengan Viki di kafe. Jakson pulang larut malam, tidak tahu harus kemana berkeliling tanpa tujuan. Sunyi dan senyap, itulah yang ditangkap oleh perasaan Jakson. Lebih kosong dibanding di saat ia kehilangan Kinanti, Jakson mendesah kasar.
"Apa yang sedang aku pikirkan?" tanya Jakson entah pada siapa.
Pintu perlahan ditutup, tak lupa dikunci dari dalam. Jakson mulai membuka kedua sepatu, meletakkan di sudut ruangan. Kedua kaki panjangnya melangkah melewati ruang tamu, di saat ia memasuki ruangan keluarga. Kekosongan kembali menghantam hatinya, atensi Jakson mengedar.
Tatapan mata Jakson berhenti di pintu kamar Mentari, tanpa dikomando kedua kakinya bergerak melangkah mendekati pintu kamar. Perlahan pintu dibuka dan dorongan ke dalam, derit pintu mengalun. Kamar itu kosong, beberapa barang terlihat berantakan. Pintu lemari terbuka lebar terlihat beberapa pakaian tercecer di lantai, Jakson merasa gamang.
Kedua telapak tangan besar Jakson mengusap kasar wajahnya, erangan keras mengalun. Hatinya sakit sekali, bisanya saat ia pulang dari dinas. Saat membuka pintu kamar Mentari, maka sosok putri kecilnya akan terlihat terlelap di atas ranjang. Atau terkadang tengah bermain boneka di lantai, Mentari akan berteriak lantang memanggilnya saat Jakson membuka pintu dengan kedua tangan yang siap direntangkan untuk menyambut ke datang Jakson.
Belum genap satu hari, baru hitungan jam kepergian Mentari. Jakson sudah dilanda rasa kehilangan, tungkai kaki Jakson melangkah semakin memasuki kamar. Menuju ke arah nakas, meraih foto Mentari saat balita.
Mata Jakson terasa panas, bulir air mata berderai. Kenapa harus sesakit ini, kenapa Mentari bukan putrinya. Kenapa Kinanti bisa menipunya sebesar ini, lima tahun lebih Jakson membesarkan anak perempuannya, lalu harus pergi hanya karena dia bukan darah dagingnya.
BRANG!
Kaca di atas nakas ditinju hingga pecah, rasa sakit di punggung tangan tidak dapat ia rasakan. Napas Jakson memburu, kedua sisi bahunya naik-turun.
"Sialan! Kenapa memangnya kalau dia bukan anakmu, Jakson! Kenapa kalau dia bukan putrimu. Mentari dia...." Jakson tercekat, suaranya tertahan di kerongkongan.
Batin Jakson berkecamuk, pro dan kontra terus bertarung di otaknya. Logika dan hati tidak bisa bekerja sama malam ini, bibir Jakson bergetar.
"Aku sudah membesarkan dia selama ini, aku yang memberikan dia apapun yang dia butuhkan. Aku-lah ayahnya, dia tidak bisa begitu saja direnggut dariku. Iya! Itu benar, dia tetap putriku. Putriku," monolog Jakson meyakinkan dirinya, mematahkan logikanya.
Jakson meletakkan kembali bingkai foto di atas nakas, tidak peduli dengan tetesan darah yang turun dari sela-sela jari Jakson. Ia ingin putrinya kembali, jika pun Mentari bukan anaknya. Ia akan tetap mempertahankan Mentari, kalau perlu ia akan menyeret hak asuh Mentari ke meja pengadilan.
Bersambung....