Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Boss Seedmon
1
________________________________________________
Langkah-langkah kaki mereka menyusuri jalan berbatu menuju Blanket Village, ditemani aroma khas pedesaan dan desiran lembut angin dari arah sungai. Keyz berjalan di depan, Alice di sisinya, dan Mimi yang kini berwujud gadis kecil dengan rambut hitam legam, berjalan sambil sesekali menendang kerikil kecil di jalan.
Gerbang desa yang terbuat dari kayu tua tampak berdiri kokoh meski termakan usia. Di sana, dua penjaga lansia yang sudah akrab menyambut dengan senyum sumringah.
"Tuan Keyz. Sudah lama anda tidak main ke sini," sapa si penjaga kiri dengan suara berat dan nada ramah.
"Tuan Tim dan pacarnya ada di sini juga. Hahaha!" sahut penjaga kanan, tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk tombaknya yang sudah lapuk.
Keyz tersenyum kecut, menunduk sopan sambil mengangkat tangan menyapa. Alice tersipu, dan Mimi hanya memiringkan kepala, tak mengerti maksud tawa mereka.
"Kami benar-benar sangat terbantu, terlebih daging babi yang anda berikan kepada kami," lanjut si kiri sambil mengelus perutnya. "Enak sekali rasanya!"
"Tuan Keyz lebih hebat daripada tuan Tim. Anda membawa dua pacar sekaligus!!" seru si kanan sambil tertawa terpingkal.
Keyz menghela napas dan terkekeh kecil, mencoba tak terlalu ambil pusing. "Mereka berdua kenalanku. Bukan pacar. Sedang apa Tim di sini?"
Penjaga kiri menyandarkan tombaknya ke pagar kayu dan menatap serius. "Sebenarnya... beberapa waktu yang lalu, muncul monster mirip Seedmon di ujung seberang sana. Tapi ukurannya jauh lebih besar. Kami menyebutnya Boss Seedmon."
"Kami sudah mengirim Quest ke beberapa Guild di Sad Town," lanjut si kanan. "Tapi hanya Star Of Destiny yang merespon. Dan mereka mengirim Tim serta seorang gadis bernama Aurelie."
"Tim dan Aurelie sekarang sedang menjelajah hutan di seberang desa. Tapi... sudah dua hari ini mereka belum kembali," kata si kiri dengan nada khawatir.
Keyz mengingat, dan memproses informasi itu sambil berjalan masuk bersama Alice dan Mimi.
Alice menatap Keyz dan bertanya dengan lembut, "Onichan. Tim itu kan teman kamu yang aku sembuhkan?"
Keyz menatap ke depan, ke arah sungai besar yang berkelok membentuk huruf S, membelah tengah desa. "Benar. Dia seharusnya masih beristirahat di Unit Kesehatan Sad Town. Kenapa malah keluyuran?"
"Keluyuran, Miauw!!" seru Mimi tiba-tiba. Dia kini bermain di pinggir sungai, menjulurkan tangan ke air dan tertawa kecil saat percikan menyentuh wajahnya.
Alice terkekeh geli. "Dia sedang belajar bicara! Aku akan mengajarinya!"
Keyz mengangguk. Pandangannya masih terarah ke hutan seberang desa. "Benar, siapa tahu suatu hari nanti dia akan bercerita tentang dirinya."
2
________________________________________________
"Aku akan menyusul Tim," ucap Keyz, nadanya mantap.
"Eehh? Aku mau pergi bersama Onichan!" Alice langsung merengek, menatap Keyz dengan mata bulat penuh harap.
"Onichan, Miauw!!" ulang Mimi dengan nada serupa, bahkan wajahnya menirukan ekspresi Alice dengan lucu.
Keyz menghela napas pelan. "Tidak. Kamu harus di sini dan menjaga Mimi. Kita tidak bisa meninggalkannya sendirian, dan kita tidak bisa membawanya ke tempat yang berbahaya."
Alice cemberut. Mimi ikut cemberut.
Tapi setelah beberapa detik, Alice menunduk. "Baiklah, aku mengerti."
"Mengerti, Miauw," ulang Mimi lembut.
Tak lama kemudian, Keyz mengajak mereka berdua menuju sebuah rumah sederhana yang berdiri tak jauh dari sungai. Aroma kayu tua dan dedaunan menguar lembut dari bangunannya. Pintu rumah itu terbuka, dan sesosok nenek tua berdiri di ambangnya.
"Nak Keyz!!! Astaga!! Kamu datang ke rumah reyotku!" serunya sambil membuka tangan lebar-lebar.
"Iya, Nek," jawab Keyz dengan senyum hangat. "Aku rindu dengan masakanmu."
Nenek Ruhiyo terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Lalu dengan sigap ia memutar badan dan berjalan cepat ke arah dapur. "Tunggu sebentar! Akan kubuatkan sesuatu yang lezat!"
Tak lama kemudian, meja kayu sederhana di ruang makan telah penuh dengan aroma harum masakan rumahan. Keyz, Alice, dan Mimi duduk bersama. Makanan tersaji hangat, penuh keakraban.
"Maaf merepotkan kamu, Nek. Tapi, tidak ada masakan yang seenak ini," kata Keyz tulus.
Air mata Nenek Ruhiyo hampir jatuh, tapi ia tertawa kecil untuk menutupinya. "Sekarang kamu membawa dua gadis kecil ini," ucapnya sambil memandang Alice dan Mimi. "Cantik-cantik. Cucu-cucuku bertambah. Hahaha."
"Terima kasih," ucap Alice dengan suara lembut dan sopan.
"Terima kasih. Miauw," sahut Mimi, meniru intonasi Alice dengan lucu.
Keyz berdiri setelah menyantap hidangan. Ia memandang Nenek Ruhiyo dengan penuh hormat. "Aku akan menjemput Tim. Apakah Nenek tidak keberatan jika mereka berdua menungguku di sini?"
"Tentu saja aku tidak keberatan, Nak," jawab Nenek Ruhiyo sambil tersenyum. "Kamu dan Tim adalah pahlawan desa ini. Kami tidak akan merasa keberatan jika dimintai tolong oleh kalian berdua. Pergilah, aku juga khawatir dengan keadaan Tim dan pacarnya. Hahaha."
Keyz mengangguk dan menatap sekilas ke arah Alice dan Mimi yang duduk berdampingan. Ia tahu mereka akan aman. Kini, saatnya melangkah ke dalam bayangan hutan—demi sahabatnya.
3
________________________________________________
Langit mulai meremang jingga saat Keyz melangkah meninggalkan desa Blanket Village. Di hadapannya terbentang ladang gandum luas yang menguning, menari lembut ditiup angin. Ladang itu tampak subur, penuh dengan tanaman yang siap untuk dipanen. Di antara batang-batang gandum, tampak beberapa robot android kecil buatan Tim yang dengan tekun menyiram tanaman, berpindah dari satu baris ke baris lain. Beberapa dari mereka bahkan menyapa Keyz dengan suara mekanis yang ramah, membuat pemuda itu tersenyum kecil.
Keyz melanjutkan langkahnya melewati ladang yang seolah tak berujung. Di ujung ladang, seorang kakek tua berdiri di samping kereta dorong penuh roti. Wajahnya cerah dan ramah, dan saat melihat Keyz, ia melambaikan tangan.
"Nak Keyz! Wah, sudah lama tak kulihat wajahmu! Mau roti hangat? Masih baru keluar dari oven," tawarnya sambil menyodorkan sepotong roti besar yang masih mengepulkan uap.
Keyz tersenyum sopan dan mengangguk hormat. "Terima kasih, Kek. Tapi aku baru saja makan di rumah Nenek Ruhiyo. Masakannya seperti biasa, tak tertandingi."
"Hahaha! Ya, ya, si Ruhiyo memang hebat kalau soal dapur. Tapi kalau nanti lapar di jalan, mampir ya. Aku masih punya banyak!" sahut sang kakek.
"Tentu, Kek. Terima kasih. Aku lanjut dulu, ada yang harus kususul."
Setelah berpamitan, Keyz melangkah lagi, kini sudah semakin dekat dengan hutan yang menjadi tujuannya. Hutan itu dikenal oleh penduduk sebagai Hutan Gersemi. Rimbun dan lembap, dipenuhi pohon-pohon besar dengan akar yang mencuat dari tanah, membentuk perangkap alami bagi siapa pun yang tidak waspada. Aroma hutan dan suara serangga mengisi udara, menyelimuti segalanya dengan nuansa misterius.
Begitu memasuki Hutan Gersemi, Keyz merasakan sesuatu. Sebuah aura yang tidak asing. Aura Tim dan... Aurelia. Tanpa berpikir dua kali, Keyz langsung berlari menembus semak dan akar-akar pohon. Tubuhnya melesat di antara pepohonan, menghindari cabang yang menggantung rendah dan tanah yang licin.
Beberapa kilometer dari tepi hutan, Keyz menemukan sesuatu yang tak terduga: sebuah desa tua yang telah lama ditinggalkan. Reruntuhan rumah-rumah kayu berdiri sunyi, ditelan oleh lumut dan waktu. Tapi aura itu semakin kuat. Keyz yakin, mereka ada di sini.
Langkahnya kian cepat. Ia menuju rumah terbesar di antara reruntuhan itu, sebuah bangunan dua lantai yang sebagian atapnya sudah runtuh. Ia menaiki tangga dengan sigap, menyusuri koridor yang dipenuhi debu dan rayap. Ia membuka satu per satu pintu ruangan, hingga tiba di kamar paling atas.
Pintu kamar itu sedikit terbuka. Dari celahnya, terdengar suara tawa pelan dan bisikan yang tak asing. Keyz mendorong pintu dengan perlahan.
"Kyaaaahhhh!!!" Teriakkan Aurelie memecah keheningan, dan gadis itu langsung menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Tim, yang juga setengah telanjang, menatap Keyz dengan wajah terbelalak.
"Maaf, mengganggu," kata Keyz dengan senyum menggoda dan nada menyebalkan. Ia mengangkat kedua tangannya pura-pura tak bersalah. "Silahkan dilanjutkan."
Ia pun menutup kembali pintu itu dengan pelan.
Dari dalam kamar, terdengar teriakan marah Tim, "Brengsek kamu Keyz!!! Padahal lagi enak-enaknya!!!"
Keyz tertawa kecil dari luar, lalu bersandar sebentar di dinding koridor, menunggu dengan tenang sambil menatap ke arah jendela yang menghadap ke arah hutan.
4
________________________________________________
Tim masih marah-marah, matanya menatap tajam ke arah Keyz sambil terus mengomel. "Kau itu benar-benar nyebelin, tahu nggak? Kenapa juga harus muncul tiba-tiba gitu?"
Keyz hanya duduk santai di salah satu kursi reyot di ruang tengah rumah besar yang mulai lapuk. Ia menyandarkan tubuhnya, menengadah sedikit dan membiarkan cahaya senja dari sela-sela jendela kayu menerpa wajahnya. "Tenang aja, aku cuma mau memastikan kalian baik-baik saja."
"Itu bukan alasan buat nyelonong masuk ke kamar orang!"
Keyz menoleh pelan, matanya tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Justru ada senyum mengejek di wajahnya. "Kalian yang pilih tempat seperti ini buat pacaran. Gimana aku tahu akan hal itu, hah?"
Tim memutar bola matanya, sementara Aurelia yang duduk di dekat ranjang hanya tertawa kecil, meski pipinya masih tampak memerah karena kejadian tadi.
"Keyz..." suara Aurelie lirih namun hangat. "Kamu mencemaskan kami?"
Keyz bangkit dari kursi, menatap keduanya bergantian dengan sorot tajam namun tulus. "Tentu saja, bodoh! Terlebih kamu, Tim. Kamu hampir mati beberapa hari yang lalu. Aku panik saat dengar kalian belum kembali ke desa."
Kata-kata itu membuat Tim terdiam. Kepalanya menunduk, ekspresinya berubah dari kesal menjadi menyesal. Diam-diam ia merasa bersalah karena sudah memarahi sahabatnya yang jelas-jelas datang karena mencemaskanya. Apalagi ia sadar, Keyz sudah banyak melalui hal berbahaya untuk membantunya.
Aurelia menatap mereka berdua dengan senyum penuh haru. "Kalian ini seperti kakak adik, ya. Saling teriak tapi saling sayang."
"Jangan ngomong sembarangan, Aurel," sahut Tim dengan nada canggung, lalu melirik Keyz. "Tapi ya udah lah. Makasih udah nyusul."
Keyz mengangguk, kemudian menatap ke arah jendela. Suaranya kembali serius. "Lalu, di mana Boss Seedmon yang kalian sebut-sebut itu? Katanya makhluk itu muncul di sekitar sini. Aku nggak merasa ada aura kuat selain milik kalian."
Baru saja kata-kata itu keluar, suasana tiba-tiba berubah sunyi. Angin berhenti bertiup. Daun-daun tak lagi bergoyang. Hawa lembab dan tekanan tak kasat mata menyelimuti udara.
Dari kejauhan, tepat di ujung reruntuhan desa yang ditinggalkan itu, muncul sebuah sosok bayangan, berjalan perlahan namun pasti, menginjak batu-batu jalan dan tanah becek.
Wajah Keyz langsung berubah tegang. Tim refleks berdiri dari tempat duduknya. Aurel menunjuk dengan jari gemetar ke arah sosok itu. "Itu dia!! Boss Seedmon!!"