Sri tidak menyangka jika rumah tangganya akan berakhir karena orang yang paling dia cintai dan hormati, entah bagaimana dia mendeskripsikan hati yang tidak akan pernah sembuh karena perselingkuhan suami dengan perempuan yang tak lain ibunya sendiri.
Dia berusaha untuk tabah dan melanjutkan hidup tapi bayangan penghianatan dan masalalu membuatnya seakan semakin tercekik.
mampu ka dia kembali bangkit setelah pengkhianatan itu diatas dia juga memiliki kewajiban berbakti pada orangtua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ummu Umar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Siti kini tahu jika anaknya tahu luka dimasa lalu yang dia rasakan, pantas saja anaknya tidak begitu membencinya karena dia memang bukan sengaja untuk membenci anaknya itu.
"Aku memang tidak tahu sedalam apa luka ibu dimasa lalu tapi aku tidak ingin ibu membenciku akan hal itu, aku tidak menginginkan hadir dengan cara seperti itu Bu". Tangis Sri melumpuhkan segala saraf Siti sementara.
Dia memeluk anaknya dan membalas pelukan itu, dia merasa bersalah karena tidak tahu harus bersikap seperti apa, didikan orangtua yang tidak membantunya dalam penyampaian emosi menjadi penyebab dirinya tidak tahu bagaimana menyalurkan kasih sayang kepada putrinya ini.
Hanya sikap dingin yang bisa dia berikan kepadanya walau hatinya berusaha melakukan yang terbaik dengan merawatnya walau tanpa kasih sayang dan perhatian sedikitpun.
Sri semakin mengeratkan pelukan itu, dia yakin Dnegan ketulusan yang dia punya, ibunya pasti bisa menyayangi dirinya nanti, entah kapan itu.
"Sudahlah, ayo bereskan lagi barangnya". Siti langsung menghapus airmata yang tiba-tiba mengalir dengan sendirinya tanpa dia sadari agar anaknya tidak tahu dia menangis.
Sri melepaskan pelukannya kemudian tersenyum dan menghapus airmata nya kemudian melakukan apa yang ibunya suruh .
Mereka sudah membereskan semua barang dalam waktu dua jam dan barang-barang itu akan dibawah ibunya nanti.
"Apakah kamu mau tinggal dan menempati rumah ini?". Tanya Siti tiba-tiba ketika mereka duduk diruang tengah setelah semua barang dibereskan.
"Tinggal dirumah ini?". Tanyanya pelan berusaha memastikan yang dia dengar tidak salah
"Jika kamu mau, bukankah ini rumah masa kecilmu saat kamu dibesarkan?, ibu ingat jika kamu selalu bilang rumah masa kecil itu harus dirawat dengan baik karena banyak kenangan disana". Ucapnya dengan tiba-tiba.
Sri menghela nafasnya, dia tidak ingin tinggal dirumah ini karena banyak sekali luka yang dia dapatkan walau benar kata ibunya jika rumah ini penuh kenangan.
"Aku tidak bisa tinggal disini Bu, aku juga akan pindah nanti setelah ibu mendapatkan tempat yang baru, pekerjaan ku juga akan pindah keluar kota dan aku akan memulai hidup baru disana". Ucapnya pelan tapi begitu menusuk.
Siti menunduk, dia menyadari jika luka anaknya itu adalah luka hasil perbuatannya bahkan setelah dia dewasa dia kembali melukai putrinya dengan melakukan hal hina bersama sang mantan menantu.
"Kalau begitu gunakan saja semua barang-barang ini dan anggap itu pemberian dari ibu, ibu tidak membutuhkannya ditempat baru, bagaimana?". Tawarnya.
Ini moment pertama dalam hidup Sri ibunya mengajaknya mengobrol dan bertukar pendapat, selama ini ibunya tak pernah peduli padanya apalagi pendapat dirinya
"Aku akan senang jika seperti itu Bu, dibandingkan rumah ini, barang-barang yang ibu berikan mungkin akan jauh lebih berguna untukku nanti". Ucapnya dengan girang.
Akhirnya dia bisa mendapatkan perhatian yang dia inginkan , tidak apa terlambat daripada tidak sama sekali.
"Kalau begitu, bawah lah ke tempatmu setelah menjual rumah ini dan ambillah untukmu, anggap itu hadiah untukmu dari ibu yang tidak pernah ibu berikan selama ini". Cicit Siti dengan pelan.
Sri langsung menoleh dan menatap ibunya dengan mata membesar dan tidak percaya, ibunya memberikan hasil jual rumah dan dia yakini harganya sangat lumayan itu.
"Tidak Bu, ibu pasti membutuhkannya untuk menjalani kehidupan kedepan apalagi dalam keadaan hamil begitu, aku tidak mau bu, aku bisa bekerja". Tolaknya dengan pelan.
"Ambillah jika ibu mengatakan seperti itu, kamu tahu kan ibu tidak suka dibantah". Jawab Siti dengan dingin
Sejak tadi dia berusaha menormalkan sikapnya dan berkomunikasi dengan anaknya, walau masih kaku dan tidak hangat sama sekali.
"Tapi Bu, aku bisa, ibu sedang mengandung dan membutuhkan banyak biaya untuk membesarkan anak tanpa ayahnya, aku tidak mau ibu kesusahan nantinya". Tolaknya sambil menggelengkan kepalanya.
"Ambillah dan tidak ada bantahan, kamu tidak tahu siapa ibu, jadi lakukan saja apa yang ibu katakan, besok semua hasil panen dari tanah ibu akan ibu jual tanpa kecuali begitu juga dengan tanahnya karena ibu sudah dapat pembelinya". Jawabnya dengan dingin.
Anaknya memang tidak pernah tahu apa yang dia miliki selama ini begitu juga dengan mantan suami dan keluarganya.
"Tapi Bu". Rengeknya tidak terima keputusan sang ibu.
"Diam dan patuh saja, tidak usah banyak protes, ibu tahu yang ibu lakukan".
Siti melongos meninggalkan sang anak yang merengek dan tidak mau menuruti keinginannya.
Siti memasang wajah cemberutnya melihat ibunya tidak memperdulikan rengekannya malah langsung pergi tanpa mau mendengar penolakan darinya.
"Lakukan tanpa banyak protes". Tegas Siti berhenti melangkah dan mengatakannya.
"Baiklah". Pasrah nya tidak punya pilihan lain.
Ibunya selalu seperti itu jika dia tidak mau menuruti perkataannya.
Sri termenung tiba-tiba mengingat ucapan ibunya kepada mertuanya tadi, dana yang ditawarkan mertuanya sangat lumayan dan ibunya mengatakan itu bahkan hanya cukup sebidang tanahnya saat dijual, apakah ibunya memiliki banyak tanah yang tidak dia dan keluarganya tahu.
"Nanti aku tanya ayah sajalah, mungkin ayah tahu tentang ibu". Ucapnya sambil menghela nafas.
"Aku akan memberikannya seperti seharusnya, dia berhak mendapatkannya". Ucap Siti dengan pelan saat sudah berada di kamarnya.
Sedangkan Irfan yang sudah berada dirumahnya kini mengamuk didalam kamarnya tanpa orang tahu, dia sudah hancur sekarang, karier yang susah payah dia bangun dan bisa seperti ini sudah tidak akan bisa lagi, dia yakin bahkan untuk mencari pekerjaan dia akan kesulitan karena kasusnya sudah tersebar seantero negeri.
"Aku tidak akan bisa tinggal diam seperti ini, jika aku hancur maka mereka juga harus hancur, enak saja". Sungutnya tidak terima.
Dia teringat bagaimana mantan mertua dan mantan istrinya dengan angkuh menolak kehadirannya padahal mereka bukan apa-apa dibandingkan keluarganya apalagi mantan mertuanya menghina kedua orangtuanya yang dianggap orang memiliki jabatan terhormat.
"Aku adalah suaminya sekarang, dia harus tunduk dan patuh padaku, tidak akan kubiarkan dia menginjak-injak harga diriku seperti ini". Ucapnya dengan penuh kemarahan.
Mantan mertuanya bahkan tidak menanyakan bagaimana statusnya sebagai suaminya apalagi menyuruhnya datang untuk bersamanya ,jangankan seperti itu melihatnya saja sepertinya tidak sudi padahal dia juga menggodanya saat itu.
Rasa benci itu berubah menjadi obsesi untuk menaklukan hati mertuanya yang sangat sombong dan angkuh.
"Tidak mungkin dia memiliki harta seperti yang dia katakan, apa tadi?, uang yang kami tawarkan bahkan tidak lebih besar dari nilai sepetak sawah miliknya, kurang ajar". Umpatnya meninju kaca meja riasnya.
"Dasar perempuan sialan kalian berdua, kalian berdua telah menghancurkan semua yang kumiliki, akan ku buat kalian menyesal". Teriaknya penuh amarah yang berkobar.
Dia seakan lupa jika dirinya sendiri yang melakukan perilaku menjijikan itu dan malah menyalahkan orang lain.
"Berhentilah bertingkah , jika tidak kau bisa pergi dari sini". Ucap sang Daddy dengan dingin.