ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 27
(9 Bulan Setelah Insiden Ares)
Angin senja berhembus perlahan di halaman rumah Reymon. Matahari mulai turun, menyisakan warna keemasan di balik langit kota itu. Reymon baru saja pulang dari markas, masih mengenakan kaos latihan dan celana loreng. Keringat belum sepenuhnya kering, tapi wajahnya menyimpan sesuatu—kabar besar yang membuat jantungnya berdetak tak menentu.
Ia memandangi layar HP-nya.
Satu nama.
Clara.
Wanita yang selama 9 bulan terakhir menjadi rumahnya… pelindung hatinya… alasan ia bangun pagi dan alasan ia berjuang mati-matian menjalani seleksi.
Dengan jari sedikit gemetar, Reymon mengetik.
Rey:
Clar… kamu bisa video call sekarang?
Balasan datang cepat.
Clara:
Boleh. Kamu kenapa? Suaranya kok kayak serius…
Reymon menelan ludah, lalu menekan tombol video call. Wajah Clara muncul—rambut diikat asal, wajah manis tanpa makeup, dan mata yang langsung berbinar begitu melihatnya.
“Rey…” panggil Clara lembut. “Kamu habis latihan ya? Kok keliatan capek?”
Reymon menghela napas. “Aku ada kabar. Kabar penting.”
Clara langsung duduk tegak. “Kamu bikin aku deg-degan, kamu tau?”
Reymon tersenyum tipis. “Aku lolos, Clar.”
Clara mengerjap. “Lolos? Maksud kamu—”
Reymon mengangguk.
“Aku terpilih masuk pendidikan calon anggota pasukan khusus clar.”
Clara menutup mulutnya. Matanya membesar—ada kebanggaan di sana, ada kebahagiaan… tapi juga ada sesuatu yang membuat bibirnya bergetar.
“Rey… ya Tuhan… aku bangga banget… beneran…” suaranya serak.
Reymon tersenyum kecil. “Aku juga senang. Ini mimpi aku dari dulu.”
Hening sejenak.
Clara berusaha tersenyum, tapi kali ini sorot matanya berubah menjadi gelisah. “Berarti… kamu akan mulai pendidikan… kapan?”
Reymon menarik napas panjang. “Lusa.”
Clara terdiam. Napasnya tercekat.
“Lusa…?” suaranya seperti pecah. “Secepat itu?”
Reymon menunduk sejenak sebelum kembali menatap Clara dengan mata serius. “Ada satu hal yang harus kamu tau sebelum aku berangkat.”
Clara menunggu.
“Masa pendidikan pasukan khusus itu… berat, Clar. Bukan cuma fisik. Psikologi juga. Dan…”
Reymon menelan ludah.
“Kami nggak boleh bawa HP selama setahun penuh.”
Clara membeku.
Sekuat apa pun ia berusaha tersenyum… matanya langsung berkaca-kaca. “Setahun… kita… nggak bisa komunikasi sama sekali?”
Reymon mengangguk pelan. “Iya… nggak boleh telpon, nggak boleh chat… bahkan surat pun nggak.”
Clara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar. “Setahun bukan waktu yang sebentar, Rey…”
Reymon merasa dadanya diremas.
“Clar…” panggilnya lembut. “Tolong lihat aku.”
Clara menurunkan tangannya perlahan. Pipi basah, mata merah.
Reymon menatapnya dengan suara paling lembut yang pernah ia keluarkan.
“Aku akan balik. Aku janji.”
Clara menggigit bibir keras-keras. “Aku percaya kamu… cuma… aku takut…”
Reymon menggeleng. “Jangan takut aku pergi. Takutlah kalau aku pulang bukan untuk kamu. Tapi itu nggak akan pernah terjadi.”
Clara menutup mulut, menangis tanpa suara.
“Besok…” Reymon menarik napas panjang. “Aku sengaja kosongin jadwal. Aku mau seharian sama kamu. Apa pun yang kamu mau.”
Clara mengangguk sambil terisak. “Oke… besok… aku mau seharian sama kamu…”
Reymon tersenyum kecil. “Deal.”
Sehari Sebelum Reymon Masuk Pendidikan
Matahari pagi menyinari mall kota itu. Clara mengenakan sweater biru muda dan jeans, sementara Reymon memakai hoodie hitam favoritnya. Mereka berjalan berdampingan—Clara menggenggam lengan Reymon seperti takut ia hilang kapan saja.
“Pagi ini mau kemana dulu?” tanya Reymon.
Clara menunjuk bioskop. “Kita nonton film paling receh di sana.”
“Receh?” Reymon mengangkat alis.
“Yang penting bisa ketawa bareng.”
Reymon tertawa. “Oke, nona kecil.”
Mereka masuk bioskop. Clara memilih film komedi kacau, yang bahkan trailer-nya saja sudah terbukti… sangat tidak masuk akal.
Dan benar saja.
Reymon tertawa sampai menunduk ke arah Clara. Clara tertawa sambil memukul lengannya setiap kali ada adegan absurd.
Di tengah film, Clara bersandar ke bahunya. “Aku mau inget momen kayak gini.”
Reymon mencium pucuk kepalanya. “Aku juga.”
Setelah film, mereka menuju restoran Italy favorit Clara. Clara memotret setiap makanan yang datang.
“Kamu kenapa foto terus?” Reymon tertawa.
Clara manyun. “Buat kenangan. Takut aku lupa wajah kamu.”
Reymon mencubit pipinya pelan. “Mana bisa kamu lupa aku?”
Clara berhenti. Tatapannya lembut.
“Aku takut… saking rindunya… aku bahkan lupa suara kamu gimana.”
Reymon langsung memeluknya—di tengah restoran sekalipun. “Hei… aku tetap di sini, Clar. Setahun bukan akhir dunia.”
Clara mengangguk, menghapus air mata cepat-cepat. “Ayo foto bareng.”
Tidak menolak, Reymon menariknya mendekat. Clara mengangkat ponselnya.
Mereka berfoto lucu:
Reymon menjulurkan lidah
Clara pura-pura marah
Foto cium di pipi
Foto saling dorong
Foto kening bertemu
Dan ada satu foto paling tulus:
Clara memeluk lengan Reymon dengan mata tertutup, tersenyum.
Reymon menatap Clara… bukan kamera.
Clara melihat hasilnya. Senyumnya langsung melemah.
“Ini… favorit aku seumur hidup…”
Sore Hari
Mereka berjalan di taman. Clara memakan es krim, Reymon minum kopi dingin.
“Rey,” panggil Clara tiba-tiba.
“Hm?”
“Kalau aku kangen banget sama kamu… aku harus gimana?”
Reymon menghela napas, menatap langit. “Tutup mata. Bayangin aku ada di samping kamu. Bayangin aku bilang kalau kamu kuat.”
Clara menatapnya lama. “Terus kamu? Kalau kamu kangen aku?”
Reymon tersenyum kecil. “Aku nggak boleh kangen.”
Clara berhenti berjalan. “Maksudnya?”
“Kalau aku kangen, aku jadi lemah. Dan aku nggak boleh lemah di sana.”
Clara menggigit bibirnya, menahan tangis.
“…tapi?" Reymon melanjutkan pelan.
“Aku yakin aku bakal tetap kangen kamu, Clar. Mau aku larang juga nggak bisa.”
Clara akhirnya menangis lagi, menunduk.
Reymon menariknya ke pelukan. “Aku kangen… tapi aku tetap balik. Oke?”
Clara mengangguk di dada Reymon. “Oke…”
Makan Malam Romantis Terakhir
Malam hari, Reymon membawa Clara ke restoran rooftop kecil yang penuh lampu-lampu kuning. Angin malam lembut, dan kota di bawah terlihat gemerlap.
“Rey…” Clara tersenyum kecil. “Kok kamu romantis banget malam ini?”
“Karena ini malam terakhir aku bisa kayak gini.”
Clara terdiam.
Mereka makan lambat. Clara menyandarkan dagunya di tangan sambil menatap Reymon.
“Kamu tau?” Clara berbisik. “Aku bangga banget punya kamu.”
Reymon menelan ludah. Tatapannya melembut. “Aku yang beruntung punya kamu.”
Clara tertawa kecil. “Jangan bikin aku nangis lagi.”
Setelah makan, mereka berdiri di tepi rooftop.
Clara menggenggam tangan Reymon. “Rey… boleh aku minta satu hal?”
“Apa aja.”
Clara menatapnya dalam-dalam… lalu berbisik.
“Peluk aku… lama. Sampe aku hafal rasa dipeluk kamu.”
Reymon tidak menjawab.
Ia langsung menarik Clara ke dadanya, memeluknya erat—lebih erat daripada 9 bulan terakhir manapun. Clara memeluk balik, wajahnya tenggelam di leher Reymon.
Clara berbisik lirih, nyaris seperti doa.
“Jangan lupa aku, ya…”
Reymon mengecup keningnya lama.
“Clara… kamu itu rumah aku. Mana mungkin aku lupa rumah?”
Clara menutup mata, menahan tangis sampai bahunya gemetar.
Saat Pulang
Di depan rumah Clara, mereka berdiri lama di depan pintu.
“Kamu tidur?” tanya Reymon.
Clara menggeleng. “Kayaknya malam ini nggak.”
Reymon tersenyum. “Aku juga.”
Clara memegang pipi Reymon. “Rey… hati-hati, ya.”
Reymon memegang tangan Clara di pipinya. “Aku balik. Waktu nggak akan lama kok, Clar.”
Clara tersenyum lembut, tetapi matanya sudah berkaca.
“Rey…”
“Hm?”
Clara menarik wajah Reymon dan menciumnya—panjang, hangat, dan penuh perasaan. Tidak tergesa. Tidak terburu-buru.
Seolah itu ciuman yang harus bertahan selama setahun.
Saat mereka berpisah, napas Clara bergetar. “Sampai besok…”
Reymon memeluknya erat sekali.
“Sampai besok, sayang…”
Keesokan Pagi
Subuh-subuh, Clara duduk di tepi ranjang sambil memegang gelang kecil yang Reymon berikan semalam.
HP-nya bergetar.
Rey:
Aku berangkat ya. Aku sayang kamu. Selalu.
Clara menggigit bibir sampai bergetar.
Clara:
Aku juga sayang kamu… Aku menunggu mu setahun lagi, Rey…
Tidak ada balasan setelah itu.
Reymon sudah mematikan ponselnya.
Clara menutup wajah, menangis dalam diam.
Tapi di tengah tangis itu, ia tersenyum.
Karena ia tahu satu hal:
Cinta yang menunggu tidak pernah kalah.
Bahkan oleh setahun tanpa suara.
BERSAMBUNG........