NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Nikahmuda / Sistem / Nikah Kontrak
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suara Hati

Ini adalah hari ke-20. Dinda duduk di ujung ranjang, menatap ponselnya. Chat terakhir dari Rendra masih belum ia balas.

From: Mas Rendra

Kalau kamu mau pulang, aku jemput. Kapanpun. Tapi kalau kamu belum siap, bilang aja kamu aman. Itu cukup.

Dikirim tiga hari lalu. Tidak ada pesan lagi setelah itu. Mungkin Rendra sengaja menunggunya membuat keputusan.

Dinda mengetik, hapus, ketik lagi, hapus lagi. Akhirnya ia meletakkan ponsel, dan menatap langit-langit kamarnya.

'Apa aku siap?'

Secara rasional? Belum. Luka itu masih basah. Kepercayaan masih retak.

Tapi secara emosional? Ia sudah tidak bisa lagi menahan rindu lebih lama.

Apa ini karena ia mencintai Rendra? Sebenarnya apa itu cinta?

Sebelum Rendra, Dinda punya versi idealnya sendiri. Dua orang yang saling melengkapi. Partnership yang equal. Support tanpa syarat. Komunikasi yang sehat. Kepercayaan yang mutual.

Tapi realitasnya dengan Rendra?

Rendra punya uang dan power. Dinda muda dan patuh. Partnership? Sepertinya tidak ada. Lebih mirip 'kekuasaan tunggal yang dibungkus kelembutan'. Support ada, tapi dengan syarat dan ketentuan. Komunikasi juga lebih sering satu arah. Rendra memutuskan, Dinda menyesuaikan. Kepercayaan? Rendra jelas tidak percaya saat Dinda berada di dekat pria lain.

Tapi...

Ada momen-momen dimana Dinda melihat celah dalam pertahanan Rendra.

Waktu pria itu bangun tengah malam dengan mimpi buruk, dan Dinda memeluknya sampai gemetar di tubuhnya reda. Waktu dia bilang "I need you" dengan suara berbisik dan rentan. Waktu dia masak pancake (walau gosong) karena Dinda bilang dia suka pancake.

Momen-momen itu menunjukkan bahwa ada manusia di balik topeng monsternya.

Dan Dinda... Dinda ingin percaya bahwa manusia itu bisa ditolong.

'Mungkin aku naif.Mungkin orang akan bilang aku mau sok jadi penyelamat? Bisa jadi. Tapi... aku hanya melihat dia. Bukan hanya orang berkuasa. Bukan manipulator. Hanya dia. Anak laki-laki yang hancur karena menemukan ibunya meninggal bunuh diri. Pria yang tidak pernah belajar mencintai dengan sehat. Dan aku... aku ingin mengajarinya. Karena aku mencintainya.Tentu saja kalau dia mengizinkanku.'

'Tapi... apakah ini benar cinta? Atau ini hanya ego karena aku merasa dibutuhkan?'

Sementara itu, di sisi lain, Rendra duduk di ruang kerjanya yang dingin dengan dikelilingi dokumen yang seharusnya ia review untuk meeting besok. Tapi tak satupun kalimat dalam tumpukan itu bisa masuk ke otaknya.

Kantung mata hitam. Wajah pucat. Hasil dari 30 hari hidup yang seolah tanpa jiwa. Tidak terhitung ada berapa botol alkohol yang ia habiskan untuk membuat pikirannya tumpul. Berapa banyak pukulan di punching bag untuk membuat rasa sakitnya teralihkan kepada rasa sakit fisik yang nyata.Terkadang Rahma menemukannya tidur di lantai kamar mandi yang dingin karena berusaha membuat tubuhnya tidak nyaman agar pikirannya tidak terfokus pada hatinya yang hampa. Berdiri di balkon dan berbisik memohon kepada Tuhan. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh seorang atheis sepertinya.

Kemeja kusut, wajah tidak bercukur. Hal yang sangat jarang terjadi padanya. Kevin bilang dia, 'look like shit'. Heru bilang dia perlu istirahat. Brata bilang dia akan jadi liabilitas Mandhala dalam kondisi seperti ini.

Semua benar.

Tapi Rendra tidak peduli.

Ia menatap cincin pernikahan di jari manisnya. Logam putih yang dulu terasa seperti borgol, sekarang terasa seperti satu-satunya jangkar menuju realita.

'Apa kalau aku lepas ini dia bisa merasa bebas?'

'Apa kalau aku biarkan dia pergi, dia akan lebih bahagia?'

Pertanyaan yang menyiksa karena jawabannya mungkin saja "ya" untuk keduanya.

Tapi...

Ia terlalu egois untuk bisa melepaskan Dinda.

Rendra meneguk whisky yang ketiga malam ini. Lalu ia membuka notes di ponselnya. Ada draft message untuk Dinda yang ia tulis tapi tidak pernah ia kirim.

"I know I don't deserve you. I know I've hurt you in ways I can't fully undo. But if you give me one more chance, I swear I will spend every day proving that I can be better. Not perfect. I'll never be perfect. But better. For you. For our child. For us."

Jarinya melayang ke atas tombol 'send'. Tapi ia tidak jadi menekannya.

'This is too much. To desperate. She'll think I'm manipulating her.'

Ia hapus draft itu.

Lalu ia ketik lagi kalimat lain.

"I miss you."

Simple. Jujur. Tapi tetap tidak ia kirim.

'She knows. She must know.'

Ia meletakkan ponsel di atas meja, menutup matanya rapat-rapat.

'If she doesn't come back... what then?'

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rendra tidak punya rencana cadangan. Tidak ada Plan B. Karena baginya, Dinda adalah satu-satunya rencana.

...***...

Hari ke tiga puluh akhirnya datang. Siang itu, Rendra berdiri di depan pagar rumah Seno. Dengan setelan jas abu-abu gelap dan kemeja putih. Baju zirah andalannya. Ia mencoba terlihat seperti dirinya yang dulu. Tapi di balik kacamata hitam, tersembunyi mata yang telah menyimpan kelelahan tiga puluh malam tanpa tidur yang nyenyak.

Saat pagar terbuka, jantungnya berdebar kencang. Dan di sana, di ambang pintu, berdiri Dinda. Wajahnya lebih pucat, pipinya yang dulu agak tembam kini sedikit tirus. Namun, di balik segala perubahan itu, Dinda tetap menjadi wujud paling menenteramkan yang pernah dilihat Rendra.

Rasa ingin memeluknya begitu kuat, hampir tak tertahankan. Tapi ia menahan diri, menghormati jarak yang mungkin telah ia ciptakan sendiri.

"Masuk, Mas." sambut Dinda, suaranya lembut namun berjarak, seperti menyambut seorang kenalan lama, bukan suami yang pernah berbagi ranjang dan rahasia.

Rendra mengangguk, kata-kata mendadak jadi barang langka. Ia menyadari, tiga puluh hari itu bukan hanya kehilangan kehadiran perempuan di hadapannya. Tapi juga kehilangan suaranya, tawanya, dan segala kebisingan kecil yang membuat rumah terasa seperti 'rumah'.

Saat Dinda menunduk, sinar matahari menyambar jari manisnya. Dan di sana, cincin pernikahan mereka masih bertengger. Sebuah simbol kecil, tapi bagi Rendra, itu seperti mercusuar di tengah kabut keputusasaan. Ada sesuatu yang longgar di dadanya, sebuah ketegangan yang akhirnya mengendur, membiarkan secercah oksigen masuk ke dalam paru-parunya yang telah lama terasa sesak.

Setelah basa-basi singkat dan tegang dengan Rani dan Seno, ia akhirnya membawa Dinda pergi dengan alasan "mengobrol".

Di dalam mobil yang dikemudikan Heru, hening terasa nyaman sekaligus menegangkan.

"Makasih udah mau ketemu." ucap Rendra, suaranya lebih lirih dari yang ia rencanakan.

Dinda membalas dengan anggukan halus, tanpa senyum. Tapi bagi Rendra, itu sudah lebih dari cukup.

Ia duduk diam, mencuri pandang pada pantulan wajah Dinda di jendela. Ia mengamati setiap garis halus, setiap helai rambut, berusaha mengukir kembali kenangan akan dirinya yang mulai kabur.

Saat mobil berhenti di depan Bien-être -restoran yang terlalu romantis untuk kondisi mereka sekarang- , Rendra menoleh.

"Ayo, kita makan. Aku udah reservasi tempat." ujarnya, dengan senyum kecil yang penuh harap.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga puluh hari yang terasa seperti satu abad, Dinda menoleh, bertatapan langsung dengannya, dan membalas senyumnya.

Itu bukan senyum lebar, tapi cukup untuk membuat Rendra percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, masih ada jalan pulang menuju cahaya dari kegelapan yang ia ciptakan sendiri.

***

Ayo drop comment, menurut kalian Rendra pantes gak dikasih kesempatan?? Atau kita bikin dia kapok aja ditinggal Dinda? 🫣🫣

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!