NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21, Pertemuan 2 iblis

Langit malam dipenuhi kabut tipis ketika kereta tanpa lambang melaju meninggalkan gerbang belakang istana. Roda-roda berderit pelan di atas jalan berbatu, diiringi desir angin dingin dari arah gunung.

Di dalam kereta itu duduk Elara, mengenakan mantel hitam panjang dan penutup kepala. Rambut peraknya disembunyikan di balik tudung, hanya matanya yang tampak dingin, penuh tujuan.

Kaen duduk di depannya, wajahnya tegang.

“Kau tahu aku takkan membiarkanmu pergi sendirian.”

“Aku tahu,” jawab Elara singkat. “Itu sebabnya aku tidak melarangmu naik.”

“Kaisar akan murka kalau tahu.”

“Biarkan dia marah. Marah berarti dia masih peduli.”

Kereta berhenti sebentar di hutan perbatasan. Dua kuda hitam sudah menunggu, ditunggui oleh seorang pria tua berjubah kelabu.

“Tuan Arven,” sapa Elara tenang.

Pria itu menunduk dalam-dalam.

“Sudah lama, Nyonya. Aku tak menyangka Anda masih hidup.”

“Aku tidak mudah mati.”

Arven tersenyum samar. “Saya tahu. Orang yang pernah dilatih oleh Jenderal Nereth jarang mati muda.”

Kaen menatap Elara tajam.

“Jadi kau benar-benar pernah di bawah perintahnya?”

“Sebentar saja,” jawab Elara datar. “Cukup lama untuk tahu caranya berpikir dan caranya membunuh.”

Arven mengeluarkan selembar peta lusuh dari sakunya.

“Benteng Lethra kini dijaga ketat. Ada penjaga bayangan di setiap menara. Tapi ada satu jalur lama di sisi timur, melalui gua bekas tambang batu hitam. Jalur itu hanya bisa dilewati sebelum fajar.”

“Kalau begitu kita berangkat sekarang,” kata Elara sambil menaiki kudanya.

Arven menatapnya khawatir.

“Benteng itu bukan tempat bagi manusia biasa.”

“Untung aku bukan manusia biasa,” jawabnya tenang, lalu menunggang pergi.

Sementara itu, di istana, Kaelith menatap peta besar di ruang perangnya. Di depan para pengawalnya, suaranya tenang tapi tajam seperti pedang.

“Mulai malam ini, pasukan rahasia Raven bergerak ke utara. Kalian tidak akan menampakkan diri kecuali dalam keadaan terpaksa. Tujuan kalian: ikuti Permaisuri Elara.”

Salah satu komandan menunduk.

“Untuk melindungi beliau, Yang Mulia?”

Kaelith menatap tajam.

“Tidak. Untuk memastikan dia tidak menghancurkan perjanjian yang kubangun dengan darah.”

Hening sesaat.

Kemudian sang Kaisar berjalan ke balkon, menatap ke arah gunung jauh di utara. Angin malam menerpa jubahnya.

“Elara,” gumamnya lirih, “kau selalu berjalan di antara api dan es. Tapi kali ini… kalau kau jatuh, aku akan menyeret seluruh dunia bersamamu.”

Beberapa hari berlalu.

Elara dan Kaen menembus hutan gelap, di mana suara serigala menggema di kejauhan. Mereka hampir tidak berbicara hanya berjalan, mengikuti jalur samar yang ditunjukkan peta Arven.

Di malam ketiga, mereka berhenti di tepi tebing. Di bawah sana, tampak lembah berkabut dan bangunan besar yang berdiri seperti benteng batu hitam.

Benteng Lethra.

Kaen menatap ke bawah.

“Kau benar-benar ingin masuk ke sana?”

“Aku tidak datang sejauh ini hanya untuk melihat dari jauh.”

Elara menarik napas panjang. Udara di sekitar lembah terasa berbeda berat, seperti menyimpan energi gelap.

Ia tahu, di sanalah masa lalunya menunggu.

“Kaen,” katanya pelan, “kalau sesuatu terjadi padaku… jangan biarkan Kaisar datang ke sini.”

“Jangan bicara begitu—”

“Janji.”

Kaen menatapnya lama, lalu mengangguk berat.

“Baik. Tapi aku juga janji, kalau kau mati di tempat ini… aku akan mengubur setengah benteng bersama mereka.”

Elara tersenyum tipis.

“Kau belajar mengancam sepertiku.”

Tengah malam.

Langit tertutup awan, hanya sinar petir sesekali menerangi jalan batu menuju gerbang benteng.

Dua penjaga bayangan berdiri di pintu masuk, tapi sebelum mereka sempat bereaksi, dua jarum tipis menancap di leher mereka tanpa suara.

Elara menyelinap masuk bersama Kaen.

Lorong benteng dipenuhi obor, tapi setiap langkahnya terasa seolah dinding batu berbisik dengan kenangan lama.

“Kau terlalu lembut untuk dunia ini, Elara.”

“Lembut tak berarti lemah.”

“Tapi di Lethra, kelembutan berarti mati.”

Suara masa lalu menggema di kepalanya, tapi ia menepisnya dengan dingin.

Sampai akhirnya mereka tiba di aula tengah ruangan luas dengan patung naga hitam di tengahnya.

Di bawah patung itu berdiri seorang pria berjubah perak, rambut hitam panjang, dan mata abu-abu dingin seperti salju.

“Sudah lama, muridku,” katanya dengan senyum yang tidak sampai ke mata.

“Selamat datang kembali di Lethra.”

Elara berdiri tegak.

“Nereth.”

Suasana seketika membeku.

“Kau masih suka menantang maut rupanya,” katanya pelan. “Kaisar Kaelith pasti tidak tahu siapa sebenarnya perempuan yang tidur di sisinya.”

Elara menatapnya tanpa gentar.

“Kau terlalu banyak bicara untuk orang yang hampir mati.”

Nereth tersenyum tipis.

“Kau belum berubah.”

Ia menunduk sedikit. “Tapi aku harap kau masih tahu caranya tunduk pada gurumu.”

Elara menarik belati dari pinggang, matanya menyala.

“Aku datang bukan untuk tunduk. Aku datang untuk mengakhiri apa yang kau mulai.”

Petir menyambar di luar benteng, menerangi wajah mereka berdua.

Dua bayangan lama akhirnya kembali bertemu bukan lagi guru dan murid, tapi dua iblis yang sama-sama lapar kekuasaan.

Suara hujan menghantam dinding batu benteng Lethra, seperti ribuan anak panah yang jatuh dari langit. Api obor menari di antara bayangan dua sosok yang berdiri saling berhadapan di aula besar itu.

Elara menatap pria di hadapannya. Nereth. Guru lamanya.

Orang yang dulu mengajarinya membunuh tanpa suara, tetapi juga orang yang hampir menghapus sisi manusia di dirinya.

“Aku pikir kau sudah mati,” katanya dingin.

“Kau tidak akan seberani ini kalau tidak yakin aku sudah di tanah.”

Nereth tersenyum miring.

“Kematian itu hanya mitos bagi orang seperti kita. Kau, aku, dan dunia yang kita jalani semuanya dibangun dari kebohongan yang sama.”

“Bedanya,” Elara melangkah maju, “aku belajar memutus rantai kebohongan itu.”

Ia mengangkat belatinya, dan dalam cahaya redup, pantulan matanya tampak seperti dua pecahan kaca.

Nereth hanya menatapnya dengan tatapan yang campur antara kagum dan nostalgia.

“Kau berbeda dari dulu,” katanya perlahan. “Lebih dingin. Lebih berbahaya.”

“Aku harus begitu,” jawab Elara. “Dunia yang kau bentuk tak menyisakan tempat bagi orang lembut.”

“Ah, tapi justru itu keindahannya,” Nereth berjalan perlahan mengitari ruangan. “Kelembutan itu bumerang, Elara. Dan sekarang kau akhirnya jadi seperti yang kuinginkan.”

“Kau salah,” potong Elara cepat. “Aku jadi seperti ini bukan karena kau. Tapi karena aku memilih hidup.”

Petir menyambar di luar, menerangi wajah keduanya. Dalam satu detik, mereka bergerak bersamaan.

Suara logam beradu, cepat, memantul di dinding batu. Kaen yang berdiri di sudut ruangan bahkan sulit mengikuti gerak mereka.

Elara melompat ke belakang, menghindari sabetan pedang Nereth, lalu berputar dan melemparkan dua pisau kecil. Nereth menepisnya dengan mudah tapi satu di antaranya ternyata hanya umpan; pisau kedua menancap di bahunya.

“Masih suka menipu dengan tangan kiri,” katanya sambil mencabut pisau dari bahunya. “Kebiasaan lama yang menjengkelkan.”

“Aku juga masih suka melihat darahmu mengalir,” jawab Elara datar.

Mereka kembali bertarung, kali ini lebih brutal. Tidak ada gerakan indah, hanya serangan cepat yang mematikan. Kaen mencoba maju membantu, tapi Elara menghentikannya dengan satu tatapan.

“Jangan ikut campur. Ini urusanku.”

Kaen menggertakkan gigi tapi mundur. Ia tahu, jika ikut, Elara justru akan kehilangan fokus.

Nereth memutar pedangnya, menebas dari bawah. Elara menangkis, tapi pedang itu menghantam lantai, memecahkan batu dan membuat debu berterbangan.

Dalam kabut debu itu, Elara menghilang.

Lalu suara lirih terdengar di telinga Nereth:

“Kau mengajariku terlalu baik.”

Darah menetes di lehernya. Elara sudah berada di belakangnya, belati menempel di kulit.

“Kau bisa membunuhku sekarang,” kata Nereth tenang. “Tapi apa kau yakin sudah siap menghadapi apa yang kutinggalkan?”

Elara membeku sejenak.

“Apa maksudmu?”

“Kau pikir aku hidup di sini sendirian?” Nereth berbalik pelan, senyum tipis di bibirnya. “Ada murid lain, Elara. Dan dia… lebih baik darimu.”

Suara langkah berat terdengar dari balik bayangan. Seseorang keluar bertopeng hitam, tubuh tinggi, dan mata berwarna perak pucat.

Kaen langsung menarik pedangnya.

“Siapa dia?”

Nereth tertawa pelan.

“Orang yang akan menunjukkan padamu arti kesetiaan sejati. Ia tidak punya nama. Tapi di dunia bawah, mereka memanggilnya Bayangan Perak.”

Elara menatap sosok itu lama. Ada sesuatu di matanya seperti pantulan masa lalu yang ia kenal.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, tatapan Elara sedikit goyah.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

Bayangan itu menunduk sedikit, lalu berbicara dengan suara yang nyaris tak manusiawi:

“Guru menyuruhku membunuhmu, Elara. Tapi kalau aku bisa memilih… aku tidak ingin melakukannya.”

Nereth tersenyum puas.

“Ah, ini bagian favoritku saat sang murid harus membunuh saudaranya sendiri.”

Kaen menatap Elara, tak mengerti.

“Apa maksudnya?”

Elara menghela napas panjang, matanya gelap.

“Karena dia…” suaranya nyaris bergetar, “adalah orang yang dulu kupikir sudah kubunuh.”

Petir menyambar lagi, menerangi wajah sang Bayangan Perak dan di balik topeng itu, tampak luka di pipi yang sangat dikenal Elara.

Kaen menatap antara keduanya, lalu bergumam,

“Dunia ini memang gila.”

Elara menurunkan belatinya perlahan, tapi tatapannya masih tajam.

“Nereth,” katanya pelan tapi berisi ancaman. “Kau benar-benar ingin bermain dengan api.”

“Api?” Nereth tertawa pendek. “Sayangku, kau lupa. Aku yang menyalakannya.”

Malam itu, benteng Lethra menjadi medan bayangan tempat masa lalu, dendam, dan rahasia mulai terbuka sedikit demi sedikit.

Dan Elara tahu…

Begitu fajar datang, tidak akan ada lagi jalan untuk kembali ke istana dengan tenang.

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!