7 tahun bertahan, lalu ditinggal tanpa alasan. Hanna pikir, cinta sudah cukup menyakitkan untuk dicoba lagi dan mungkin sudah saatnya ia memilih dirinya sendiri.
Namun jika bukan karena cinta yang pergi tanpa pamit itu.. mungkin dia tidak akan bertemu dengan dr. Hendra.
Sayangnya, dr. Hendra seperti mustahil untuk digapai, meski setiap hari mereka berada di bawah atap yang sama.
Kali ini, akankah Hanna kembali memilih dirinya sendiri? Entahlah..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon deborah_mae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAKUT TERLUKA
"Pa, ini kita beneran singgah sebentar aja kan?" tanya Tulus meyakinkan bahwa mereka tidak akan lama datang ke rumah teman ayahnya yang sedang sakit.
"Bentar doang, kok. Aman.." jawab papa.
Hanna duduk di kursi tengah sembari menikmati jalanan yang padat saat itu.
Dalam lamunannya ia teringat saat melihat dr. Hendra bersama seorang wanita yang bersamanya di restoran ramen kala itu.
Namun ingatan akan kejadian semalam saat dr. Hendra menggenggam tangannya pun muncul bersamaan seperti kaset rusak yang selalu mengulangi ingatan itu.
Entah perasaan apa yang ia rasakan saat itu. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya dr. Hendra rasakan terhadapnya sehingga ia kadang diperlakukan manis, kadang keras.
"Apa aku sedang dipermainkan?" gumam Hanna dalam hatinya.
"Oke.. kita sudah sampai. Ayo semuanya turun. Hanna tolong bawakan buahnya ya, nak.." perintah papa.
"Wah Thomas..selamat pagi.. Mari masuk. Sebentar saya panggil Mas Ishak dulu, ya.." ucap Bu Ratih, istri Pak Ishak.
"Ooh.. Ini namanya Hanna ya.. Sudah besar kamu. Cantik sekali, persis mama nya ya.." puji Bu Ratih
"Hehe.. Makasih banyak, Tante.. Tante juga cantik" jawab Hanna dengan tawa kikuk.
Mereka menunggu Pak Ishak di ruang tamu. Dengan langkah yang pelan, ia memeluk papa Hanna.
"Lho kok kurusan, Thom? Diet tah?" tanya Pak Ishak dengan nada berat.
"Ah bisa aja. Ini gara-gara Hanna ngajarin makan sayur ama buah mulu, nih jadinya langsing hahaha" jawab papa Hanna.
Hanna dan kedua adiknya bergantian memberikan salam kepada Pak Ishak.
"Anaknya belum pulang nih, mas?" tanya papa Hanna sembari menyeruput kopi panas yang disediakan Bu Ratih untuknya.
"Belum, nih. Harusnya bentar lagi udah nyampe rumah ya." jawab Pak Ishak.
Saat melihat anak-anak Thomas, Pak Ishak terpukau melihat mereka yang terlihat cantik dan tampan.
"Hanna.. Sekarang sudah usia berapa, nak?" tanya Pak Ishak dengan lembut
"Ehm.. ti-tiga puluh, om..." jawab Hanna dengan senyum tipis.
"Oalah.. Kok nggak keliatan tiga puluh ya? Awet muda berarti hahaha.." canda Pak Ishak.
Pak Ishak mengajak bernostalgia mengingat kenangan terakhir sekitar 20 tahun yang lalu.
"Kamu inget, nggak dulu waktu kecil sering dibawa kesini sama papamu?" tanya Pak Ishak.
"Hehe maaf, om.. Hanna nggak inget.."
Selama kurang lebih satu setengah jam, keluarga Hanna berbincang dengan Pak Ishak dan istrinya.
Sebelum berpamitan, Hanna izin ingin ke dapur meletakkan gelas bekas minum mereka dan lanjut ke kamar mandi.
Ketika Hanna sudah selesai dari kamar mandi, ia mencuci tangannya di sebuah wastafel yang terletak di luar kamar mandi itu.
Seorang pria yang mengenakan kaos polos berwarna hitam dengan celana setelan dari scrub medis menghampiri Hanna. Pria itu merasa tidak asing dengan punggung itu.
Hanna pun sudah selesai mencuci tangannya dan membalikkan tubuhnya.
Ia terkejut bukan main melihat dr. Arga sudah ada di belakangnya.
"Lho.. Dr. Arga??" tanya Hanna dengan wajah yang terkejut.
"Han.. Ngapain di rumahku? maksudnya kok bisa di rumahku?" tanya dr. Arga
"Hanna ikut papa jenguk om Ishak, dok.."
"Oalah.. itu ayahku, Han.. Hahaha" jawab dr. Arga dengan tawa yang lepas.
Sejak itu, Hanna dan dr. Arga semakin dekat. Hanna pikir tidak ada salahnya jika dia memilih dekat dengan dr. Arga. "dia bisa jadi sahabat yang baik" pikirnya.
"Lah? Jadi umur dr. Arga itu 28 tahun??" tanya Hanna dengan tidak percaya.
"Hehehe iya.. Kenapa? Keliatan banget pakde pakde nya ya?" canda dr. Arga dengan nada yang berpura-pura tersinggung
"Bukan Hanna yang bilang ya, dok.."
"Udah, gausah panggil dok. Panggil Arga aja. Aku aja manggil kamu Hanna padahal harusnya mbak hahaha" canda dr. Arga lagi.
"Apaan sih, dok"
***
Hari Minggu adalah hari yang wajib bagi Hanna untuk beristirahat. Tapi jika temannya mengajak untuk bertemu sekedar minum kopi bersama, dia tidak akan menolak.
Sore di hari Minggu, Hanna memutuskan untuk meng-iyakan ajakan temannya Rayya untuk bersantai menikmati kopi di Blue Cafe.
Sesampainya disana, Hanna terpukau melihat konsep kafe yang dominan berwarna biru langit dan putih.
Interiornya sangat modern namun sangat ramah bagi tamu yang datang bersama keluarga besarnya.
"Hanna.. disini.." panggil Rayya sambil melambaikan tangannya.
"Kamu tau aja ya kafe yang baru buka disini" ucap Hanna sembari mengeluarkan handphone dari tasnya.
"Kebetulan pas lagi pulang, aku ngelihat kafe ini. Makanya aku ajak aja kamu kesini sekalian" jawab Rayya.
Tak terasa, mereka berbincang sudah satu jam lamanya.
"Han, aku ke toilet bentar ya" ucap Rayya.
"Jangan lama-lama. Entar aku diculik" canda Hanna.
"Diculik om-om" canda balik Rayya.
Saat asyik melihat setiap sudut interior kafe itu, Hanna terfokus pada seorang pria dan wanita yang baru memasuki kafe itu.
Sepertinya Hanna mengenali mereka berdua.
"dr. Hendra..." ucap Hanna lirih.
"Dia bareng cewek itu lagi, ya.." Hanna terpaku melihat kejadian itu.
Saat sadar dr. Hendra hendak melihat ke arahnya, Hanna menundukkan kepalanya berpura-pura tidak melihat mereka.
Akhirnya dr. Hendra dan wanita itu memilih untuk duduk di luar saja.
Selama bersama temannya, Hanna menjadi tidak fokus dan merasa ingin segera pulang namun ia tetap menunggu temannya selesai jika masih ingin disitu.
Ia tidak percaya dengan perasaan yang dia rasakan saat itu.
Dia tidak merasa bahwa dia sedang cemburu, namun dia seperti merasakan sakit ketika melihat kejadian itu untuk kedua kalinya.
"Ternyata semua laki-laki sama aja.. Nggak bisa cukup dengan satu wanita.. Aku nggak mau jadi pelampiasannya.." gumam Hanna dalam hatinya.
Saat berjalan menuju parkiran, dia melihat dr. Hendra tersenyum lebar bahkan tertawa bersama wanita itu.
Dia tidak percaya bahwa ternyata seorang dr. Hendra bisa tersenyum bahkan tertawa.
"Aku nggak bisa jadi penghancur di hubungan mereka.. Aku harus jauh-jauh dari dia.. Tapi gimana?.."
Hanna hampir tak bisa tidur. Kepalanya berisik sekali.
Dia merasa harga dirinya dilukai.
Serangkaian perbuatan "manis" dr. Hendra yang dia terima seketika berubah menjadi sebuah "trik permainan" untuk menjebaknya.
Hanna terlalu lelah jika harus memahami maksud ataupun niat seseorang kepadanya. Dia tidak mau lagi terlibat dalam cinta lagi.
Dia tidak mau terlalu dalam mengenal dr. Hendra.
Dia pikir, sudah cukup untuk mempertanyakan apa yang ia rasakan sebenarnya.
Menurutnya, jika memang cinta seharusnya tidak membuatnya bingung atau hilang arah..
***
Dalam lorong rumah sakit, Hanna berjalan dengan lambat dan tenggelam dalam lamunannya.
Dia benar-benar terjebak dengan situasi yang membuatnya mempertanyakan apa maksud dr. Hendra bersikap manis padanya.
Saat sedang berjalan menuju gedung fisioterapi, dia berhenti sejenak melihat seorang wanita yang ia lihat bersama dr. Hendra di Blue Cafe semalam.
"Hah? Wanita itu bekerja disini juga??"
Saat wanita itu melewatinya, Hanna pura-pura tidak melihat dan melanjutkan perjalanannya menuju gedung fisioterapi.
Sesampainya di ruangan, Hanna hanya terdiam. Dia tidak ada tenaga untuk berbincang-bincang.
Namun, tidak seharusnya dia bertingkah seperti itu. Sama saja dia menarik perhatian orang di sekitarnya.
Maka ia memutuskan untuk lebih "sedikit tenang" saja.
Dalam kesibukannya, ia berpikir bagaimana caranya agar tidak bertemu dengan dr. Hendra lagi.
Semua pekerjaannya selalu ada sangkut pautnya dengan dr. Hendra
"Ada yang mau titip ke ruangan dokter ngga?" tanya Yati.
Dengan cepat Hanna menjawab "Ada kak. Tolong titip untuk dr. Hendra"
"Lho, tumben." tanya Yati dengan heran
"Hehe..Hanna lagi banyak kerjaan, kak. Boleh tolong yaaaa pleaseee" pinta Hanna dengan memelas.
"Yaudah.. Aku bawain.." jawab Yati.
Di ruangan dokter, tampak dr. Hendra sedang berbincang bersama wanita yang dilihat Hanna di lorong rumah sakit.
Yati pun penasaran karena belum pernah melihat wanita itu di lingkungan rumah sakit.
"Permisi, dok. Ini ada titipan dari Hanna." ucap Yati kepada dr. Hendra sembari memberikan setumpuk surat pengantar berobat klinik kebun.
Dr. Hendra bingung mengapa Yati yang memberikan kepadanya. Namun, ia tidak mau menambah gosip baru. Jadi, dia tidak memberi respon apapun.
"Oke, boleh tolong taruh di atas meja aja, Bu." jawab dr. Hendra.
"Maaf, dok. Kita kedatangan dokter baru, ya?" tanya Yati dengan sopan.
"Ooh..iya, Bu. Perkenalkan ini dr. Vera. Dokter Obgyn kita yang baru" ucap dr. Hendra.
Yati pun berkenalan dengan dr. Vera. Dan segera ia turun dan memberitakan hal itu kepada teman-teman yang ada di ruangan termasuk Hanna.
"Ooh.. Dokter Obgyn. Cocok lah mereka. Sama-sama dokter.. pasti nyarinya ya sesama dokter, kan.." gumam Hanna.
Siang itu, aroma kopi memenuhi minimarket. Di kursi belakang, tampak dr. Vera yang menunjukkan Handphone nya ke dr. Hendra. "Lihat nih foto kita waktu masih residensi. Kamu masih kurus, Hen. Hahaha"
"Waduh..masih aja kamu simpen foto jelek ini" canda dr. Hendra.
Hanna yang tak sengaja menyaksikan itu "lagi" dengan cepat membeli sesuatu yang ingin dia beli dan berpura-pura tidak melihat.
Dia kira, dia tidak akan dilihat oleh dr. Hendra. Namun ternyata dr. Hendra melihatnya.
"Hanna.."
Walaupun begitu, dr. Hendra tetap fokus berbincang bersama dr. Vera dan tidak memperdulikan Hanna yang sedang memilih jajanannya.
Itu cukup.
Membuat hati Hanna perih. Namun, akan ada yang lebih merasakan pedih lagi jika ia mendekat ke arah dr. Hendra.
Dia hanya sadar diri saat itu dan tidak mau terjebak dalam permainan..
Saat hendak menuju pintu keluar minimarket, Hanna hampir menabrak dr. Arga.
"Eh Hanna..!" sapa dr. Arga
"Maaf, dok. Hanna nggak sengaja.." ucap Hanna dengan sedikit merunduk.
Dr. Arga merasa ada yang salah pada Hanna.
"Kamu gapapa kan, Han? Kamu sakit ya?" tanya dr. Arga
Mendengar kata "sakit" itu, dr. Hendra refleks melihat ke arah Hanna dan memastikan kondisi Hanna saat itu.
Hanna hanya merunduk dengan wajah yang murung.
"Dia sakit lagi?" gumam dr. Hendra dalam hatinya.
"Mau aku antar ke ruangan?" tawar dr. Arga
"I-iya boleh, dok" jawab Hanna.
Hanna pun pergi menuju ruangannya bersama dr. Arga. Tanpa melihat ke arah dr. Hendra seakan-akan dia tidak melihat bahwa ada dr. Hendra disana.
Setelah semua pekerjaannya selesai, Hanna bersiap untuk pulang.
Ditengah-tengah persiapan pulangnya, dr. Hendra mengirimkan pesan.
📩 dr. Hendra Judes
"Surat pengantar berobat pasien klinik kebun udah selesai aku cek. Besok udah bisa kamu ambil"
Tanpa balasan dari Hanna, hanya centang dua biru.
Keesokan paginya, Hanna melanjutkan pekerjaannya. Ia berusaha untuk tetap sibuk agar kepalanya tidak berisik dan tidak memikirkan dr. Hendra lagi.
Dia yakin pasti bisa. Sebelumnya, dia pernah mengalami ini.
Namun, kali ini rasanya beda.
Dia tidak memiliki, namun merasa dikhianati.
Seandainya dia tidak perlu bekerja sama dengan dr. Hendra, dia tidak akan mengalami ini semua pikirnya.
Namun, semua sudah Tuhan atur. Mau tidak mau dia harus menjalaninya.
Sebuah pesan dari dr. Hendra pun masuk lagi
📩 dr. Hendra Judes
"Hanna, saya ada jadwal praktek di rumah sakit lain mungkin besok saya tidak masuk. Kapan kamu mau jemput surat pengantar berobat ini?"
Hanna masih tidak mau membalas pesan itu.
Seharusnya Hanna bisa bersikap profesional, namun egonya sangat kuat.
Begitulah Hanna. Jika dia merasa harga dirinya dilukai, maka dia akan berusaha untuk menghilang atau bahkan mengabaikan orang yang membuatnya merasa kecil.
Hari itu hujan lebat. Hanna tidak langsung pulang. Dia menunggu hujan reda dulu.
Hanya dia sendiri di ruangannya dan dia tetap melanjutkan pekerjaannya.
Suara langkah kaki mendekat ke arah ruangan Hanna dengan cepat berpacu dengan hujan lebat.
Dengan marah, dr. Hendra membuka pintu ruangan Hanna lalu meletakkan setumpuk dokumen dengan tegas didepan Hanna.
Hanna tetap tenang dan tidak memberi respon yang berlebihan.
Tanpa menatap dr. Hendra, dia mengucapkan terimakasih.
"Makasih, dok.. Maaf Hanna lupa ambil dokumennya.." ucap Hanna dengan pelan sembari lanjut menyortir dokumen.
dr. Hendra mengambil dokumen yang ada di tangan Hanna.
"Kamu harus tau tugas kamu apa, Hanna.." ucap dr. Hendra dengan lantang.
Hanna masih tetap diam, tidak mau menjawab dan tidak mau menatap dr. Hendra.
"Tugas kamu itu antar dan ambil dokumen ke aku..kamu jangan lupa itu.." ucap dr. Hendra dengan suara yang berat.
"Kalo udah selesai, boleh tinggalin Hanna dulu, dok? Hanna lagi sibuk.."
"Cukup, Hanna.."
Ada yang ingin dijelaskan oleh dr. Hendra kepada Hanna tapi semua itu seperti tertahan di bibirnya. Bahkan ia tidak sanggup untuk menjelaskan.
Seakan dia tahu apa yang menjadi penyebab Hanna diam dan menjauh, namun dia tidak yakin akan hal itu.
Rasanya ia ingin sekali menjelaskan bahwa tidak ada hubungan apa-apa antar dia dan dr. Vera.
"Jangan ganggu Hanna lagi, dok.."
Suara hujan yang sangat lebat menghalangi suara Hanna saat itu.
Suara petir yang besar serta disusul listrik mati membuat Hanna terbangun dari kursinya.
dr. Hendra reflek mencari tangan Hanna dan menggenggamnya. Ia tahu, Hanna takut kegelapan dan hujan..
"Hanna.."
Hanna melepas genggaman dr. Hendra
"Tolong jangan sembarangan sentuh-sentuh Hanna lagi, dok.." ucap Hanna dengan pelan
Listrik pun kembali menyala.
Saat itu pertama kali ia melihat Hanna.. Menangis..