Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Sesampainya di halaman rumah yang dikelilingi oleh pagar bambu dan tanaman bunga sepatu yang bermekaran, suara roda angkot yang menjauh disambut senyap subuh yang masih menggantung embun di udara.
Grilyanto melangkah turun lebih dulu, kemudian membantu Sri yang menggendong Pramesh dengan pelan, penuh kehati-hatian.
Udara Magelang yang sejuk menyentuh kulit mereka seperti sapaan lembut dari tanah kelahiran Grilyanto.
Pintu rumah terbuka perlahan dan tampak sosok ibu Grilyanto berdiri di ambang pintu, mengenakan selendang batik dan kebaya lusuh yang tetap tampak rapi.
Wajahnya yang telah keriput tampak bersinar oleh cahaya lampu petromaks di belakangnya.
Senyum haru merekah di bibirnya saat melihat anak, menantu, dan cucunya berdiri di halaman rumah.
"Gril… Sri… Pramesh…" ucapnya lirih namun penuh rasa, seolah suara itu telah lama ditahan di dada.
“Ibu…” balas Grilyanto sambil menaruh tas dan segera meraih tangan ibunya, menciumnya dengan penuh hormat.
Sri tersenyum lembut dan maju satu langkah, lalu mengulurkan Pramesh yang masih tertidur di gendongannya.
Ibu Grilyanto menerima cucu kecil itu ke dalam pelukannya.
Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca saat menyentuh pipi halus Pramesh yang masih hangat dan pulas.
“Subhanallah… cantik sekali kamu, Nak,” bisik sang nenek sambil mengecup kening cucunya.
“Sudah lama nenek ingin memeluk kamu…”
Dari dalam rumah, tujuh saudara perempuan Grilyanto keluar kakak dan adiknya yang masih muda.
Mereka menyambut dengan senyum hangat dan kegembiraan yang tertahan sejak malam sebelumnya.
“Wah, Pramesh ya? Mirip Gril,” kata salah satu dari mereka sambil mencubit pipi bayi itu perlahan.
“Iya, kulitnya putih kayak ibunya,” tambah yang lain.
Grilyanto hanya tertawa kecil. Sri tampak lega, lelah perjalanannya seolah terbayar lunas oleh sambutan yang hangat dan penerimaan yang tulus.
Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah dan dalamibu sudah menyiapkan teh panas dan ubi rebus, hidangan sederhana tapi terasa istimewa bagi tamu yang ditunggu dengan rindu.
Setelah meletakkan tas dan barang bawaan, Sri duduk di sebelah ibu yang masih memangku Pramesh.
“Terima kasih sudah menerima kami, Bu…”
"Maaf, dulu Ibu keras. Tapi kamu kuat, Sri. Kamu menjaga Gril, dan sekarang kamu membawa cucu Ibu bahagia sekali.”
Sri menundukkan kepalanya dengan haru yang mengalir diam-diam dari matanya.
Grilyanto merangkul pundak istrinya, menyandarkan dirinya sejenak, menikmati momen keluarga yang utuh dan damai.
Di luar, fajar mulai menyibak tirai malam dan sinar mentari pertama menembus jendela rumah, menyentuh wajah Pramesh yang masih terlelap dalam pelukan neneknya.
Pagi di Magelang itu begitu hangat, bukan hanya karena mentari yang perlahan menyapu atap rumah dengan sinarnya yang lembut, tetapi juga karena aroma sedap yang datang dari dapur kayu milik Ibu Grilyanto.
Suara panci beradu pelan, kayu yang menyala tenang di tungku dan semerbak harum daun salam yang dimasak bersama daging menggoda siapa pun yang terjaga lebih dulu.
Sri keluar dari kamar setelah selesai memandikan Pramesh.
Rambutnya masih sedikit basah, dan di pelukannya, bayi kecil itu sudah kembali tertidur pulas, kenyang oleh ASI dan pelukan hangat ibunya.
Di ruang tengah, Grilyanto tengah membantu menyapu halaman rumah, menyapa pagi dengan senyum.
“Mas, Ibu di dapur?” tanya Sri pelan.
“Iya, katanya sudah masak brongkos daging sama ikan bakar. Buat sarapan katanya, biar kita makan enak setelah perjalanan semalam,” jawab Grilyanto sambil merapikan sapu lidi di sudut rumah.
Sri tersenyum, lalu menuju dapur. Di sana, Ibu Grilyanto sedang mengaduk kuah brongkos dalam belanga tanah liat.
Potongan daging yang empuk, tahu, dan telur rebus tampak mengambang di dalam kuah santan yang kaya bumbu.
Di sisi tungku lain, ikan nila yang sudah dibakar harum diletakkan di atas daun pisang, ditaburi sambal tomat dan irisan jeruk limau.
“Bu… harum sekali. Aku, bantu ya,” ucap Sri lembut.
I“Sudah selesai mandikan Pramesh? Kamu duduk dulu, nanti malah capek.”
“Tidak apa-apa Bu, Sri bantu potongin tempe gorengnya saja ya…”
Keduanya menyiapkan hidangan bersama, dengan tawa kecil dan obrolan ringan yang mengalir tanpa canggung.
Di tengah aroma rempah dan suasana rumah yang sederhana, Sri merasa diterima sepenuhnya sebagai bagian dari keluarga.
Tak lama kemudian, mereka memanggil Grilyanto ke ruang makan.
Meja kayu panjang sudah dipenuhi dengan nasi hangat, brongkos daging yang kental dan menggiurkan, ikan bakar bumbu kecap, tempe goreng, sambal, dan lalapan segar.
Grilyanto duduk di samping Sri, memandangi hidangan di depannya dengan kagum.
“Wah… ini sih menu lebaran, Bu.”
“Untuk menyambut kamu, Sri, dan Pramesh. Makan yang banyak ya.”
Mereka pun makan dengan lahap, berbagi cerita ringan seputar perjalanan, pekerjaan Grilyanto di Surabaya, dan perkembangan kecil Pramesh.
Suasana makan pagi itu bukan sekadar tentang makanan enak, tapi tentang keluarga yang mulai saling melebur, luka lama yang terobati perlahan, dan cinta yang tumbuh dalam keseharian.
Sri melirik ke arah Ibu yang tampak senang melihat mereka makan. Hatinya penuh syukur.
Dalam diamnya ia berdoa agar momen hangat seperti ini bisa sering terjadi karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain rumah yang menerima dengan tulus.
Tangisan kecil Pramesh memecah keheningan siang di rumah tua Magelang itu.
Sri yang sedang menjemur pakaian segera masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, diikuti oleh suara tenang Ibu Grilyanto dari dapur yang perlahan mendekat ke kamar depan.
“Astaga, Pramesh kenapa, Nduk?” tanya Sri dengan cemas sambil menggendong putrinya yang menangis keras.
Grilyanto yang sedang berbincang dengan kakaknya di ruang depan juga bangkit dan berjalan ke arah kamar.
Namun sebelum ia sampai, Ibu Grilyanto sudah lebih dulu menghampiri, tangannya yang keriput tapi penuh kasih dengan lembut menyentuh bahu menantunya.
“Sini, biar Ibu yang gendong. Mungkin dia hanya minta digendong neneknya,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Sri menganggukkan kepalanya dan menyerahkan Pramesh.
Dengan gerakan yang hati-hati namun penuh pengalaman, Ibu Grilyanto mengayun-ayunkan tubuh mungil itu dalam pelukannya, sambil mendendangkan sebuah lagu Jawa yang lembut dan mengalun pelan:
“Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo…
Wong tuwo turu, anaké nggolek yuyu…”
Suara Ibu terdengar serak tapi syahdu, seperti nyanyian masa lalu yang pernah menemani tujuh anaknya tidur saat mereka masih kecil.
Nada-nadanya mengandung doa dan ketulusan, menyatu dengan desir angin dan bau kayu tua dari rumah sederhana itu.
Sri berdiri di samping, terdiam dan ia belum pernah mendengar lagu itu dinyanyikan sedemikian lembut.
Pramesh perlahan mulai tenang, tangisnya mengecil menjadi rengekan lembut lalu lenyap seiring lirik lagu yang terus dinyanyikan.
Grilyanto yang berdiri di ambang pintu hanya bisa menatap dalam diam.
Ada rasa haru yang sulit dijelaskan, melihat ibunya yang dulu sempat menolak kehadiran Sri, kini menggendong cucunya dan menyanyikan tembang Jawa dengan penuh kasih sayang.
Setelah beberapa bait, Ibu Grilyanto mengecup kening Pramesh dan berkata pelan, seolah pada dirinya sendiri,
“Cucu iki kayak cah wedokku dhewe… suarane merdu, tangise nyentuh ati.”
Sri menyeka ujung matanya yang basah. Ia mendekat dan memeluk Ibu dari samping.
Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya pelukan hangat sebagai wujud terima kasih atas penerimaan, atas kasih yang kini mengalir tanpa syarat.
Di sudut rumah itu, dalam pelukan tiga generasi perempuan, kehidupan baru pun tumbuh penuh harapan, damai, dan cinta yang memaafkan masa lalu.