"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unwanted hero.
Suasana di dalam ruangan menjadi benar-benar canggung berkat ulah Tama sendiri. Si bapak supervisor yang tidak sengaja salah sebut nama sang kekasih menjadi nama seseorang yang mungkin tidak pernah hilang dari dalam hatinya. Sora yang sudah mati-matian menjaga diri agar tidak melakukan sebuah kesalahan, jelas menjadi tidak enakan kepada Giselle. Lagi dan lagi.
Setelah hari itu, sikap Giselle kepada semua orang benar-benar berubah. Tidak ada lagi Giselle si pendiam, si penurut. Karakter aslinya muncul dan membuat senior-seniornya takjub. Segala komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaan dia lakukan dengan dingin dan jauh dari kata ramah.
Baginya, untuk apa ramah kalau tidak satupun dari mereka yang menyukainya? Sudah empat bulan berlalu namun mereka masih menganggap Giselle sebagai orang yang tidak seharusnya ada di ruangan ini. Gadis itu tentunya sangat kesal.
Dia juga lelah mendengar ocehan-ocehan tidak penting yang meninggikan Sora di mata semua orang. Kalau obrolan seperti itu sudah mulai muncul, secara terang-terangan dia keluar dari ruangan dan tidak lupa mengajak Tama. Dia tidak ingin Tama ikut-ikutan memuja Sora tanpa sepengetahuannya. Kalau pria itu menolak dengan alasan masih ada kerjaan, Giselle akan ngambek dan pergi sendiri. Sungguh, dia memang sudah gila.
"Sayang, nggak apa-apa ya aku pergi sama Kayla?"
Ini adalah hari ke sepuluh Julian dan Sora resmi pacaran kontrak. Panggilan 'sayang' itu seakan sudah melekat di setiap awal maupun akhir percakapannya dengan Sora.
"Oke. Tiati ya, sayang." Begitupun dengan Sora yang sedang dalam upaya untuk move on. Dia memanggil laki-laki itu 'sayang' tanpa merasa janggal ataupun sejenisnya.
"Kayla, jangan macam-macam lo!" Pura-pura mengancam Kayla seolah dia tidak percaya kepada sang sahabat. Namun jelas dia hanya bercanda.
"Makanya, lo aja deh yang pergi. Biar lu berdua sekalian kencan."
"Enak aja. Itu kan emang customer lo. Just kidding, sayang. Titip pacar gue ya!" Sora menepuk bokong Kayla saat perempuan itu keluar dari kursinya.
"Baik, Nyonya. Biaya titipnya dua rebu ya, Nyah?" Kayla berseloroh.
"Lo kira penitipan helm?" sambung Sora lagi. Setelah itu keduanya tergelak.
Julian yang sudah selesai beres-beres, menghampiri meja Sora dan mengacak pelan puncak kepalanya. "Jalan dulu ya," ucapnya.
Sesederhana itu, namun selalu membuat Axel, Jo dan Kayla ikut kesemsem. Membuat Salsa ingin muntah karena jijik dan membuat Tama harus banyak-banyak menahan emosi di dalam dada. Dia menerima ini sebagai pembalasan yang setimpal atas apa yang dialami Sora di awal-awal hubungan dia dan Giselle. Dulu, demi meyakinkan Giselle, Tama memang harus melakukan beberapa kontak fisik yang seperti itu.
Apakah dia sedang menanggung karma? Tidak. Tama tidak berharap hubungan kedua orang ini berlanjut setelah satu bulan selesai. 'Sebentar lagi, Sora... please, tunggu gue', batin Tama pilu. Seharusnya dia yang ada di posisi Julian sekarang. Laki-laki itu sungguh tidak rela.
Sora kembali memusatkan perhatiannya kepada layar komputer setelah sang kekasih dan sang sahabat pergi demi tuntutan pekerjaan. Kebetulan salah satu customer besar Kayla dan juga customer besar Julian, sama-sama ada pengiriman barang hari ini dan mereka harus ke sana untuk membawakan dokumennya.
Karena kedua customer itu searah dan posisinya ada di pinggiran ibu kota, Julian menawarkan untuk berangkat bareng saja dari pada pergi sendiri-sendiri. Dan Sora sama sekali tidak keberatan. Kasihan juga kalau Kayla pergi sendirian ke tempat jauh.
Keributan di dalam ruangan jelas berkurang karena dua personilnya sedang pergi. Namun Axel, Jo dan Sora masih aktif membahas sesuatu sambil bekerja. Kadang tentang berita yang sedang viral di jagad media sosial, maupun kisah yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Dan Giselle tetap menjadi orang yang tidak pernah diajak dalam pembahasan apapun. Semakin ke sini semakin tidak ada yang peduli kepadanya.
Sore hari menjelang jam pulang, Sora mendapat kabar kalau Julian dan Kayla masih terjebak macet di tempat yang sangat jauh dari kantor. Sepertinya Sora akan kemalaman jika harus menunggu Julian. Perempuan itu cukup tau apa yang harus dia lakukan. Pulang duluan, tentu saja.
Tama dan Giselle baru saja keluar saat Axel dan Jo pun ikut menyusul. Sebelumnya, saat formasi masih lengkap, kedua laki-laki itu sudah mengajak Sora untuk turun bareng. Tapi perempuan itu bilang akan ke toilet dulu. Dia harus mengganti pembalut. Dan kebetulan kebelet pipis juga.
Kamar mandi di lantai itu berdekatan dengan pantry. Which is berlawanan arah dengan jalur pulang orang-orang yang akan turun dengan memakai lift. Saat Sora masuk, toilet sedang kosong. Perempuan itu menuntaskan panggilan alamnya dan lanjut melakukan penggantian pembalut. Dia tidak akan nyaman naik kendaraan umum dengan kondisi pembalut yang penuh seperti sekarang.
Sekitar sepuluh menit berlalu, akhirnya Sora selesai dengan semuanya. Dia akan kembali ke ruangan untuk mengambil tas, lalu turun. Biasanya lantai ini akan kosong dengan cepat. Orang-orang lebih memilih menunggu jemputan di loby.
Namun saat dia membuka pintu, Sora merasakan sekujur tubuhnya mendadak kejang.
Pintu itu terkunci. Dari luar.
***
Jam delapan malam, Tama kembali ke apartemen. Pria itu baru saja kembali dari kediaman Rahmat setelah sebelumnya mengantar Giselle pulang. Tama harus segera menuntaskan misi sebelum hati Sora sungguhan berpaling kepada Julian. Cara gadis itu memanggil Julian dengan sebutan 'sayang', terdengar begitu lugas di telinga Tama. Laki-laki itu khawatir, lama-lama Sora akan benaran nyaman dan suka kepada si anak direktur.
Ngomong-ngomong, setelah insiden nyaris unboxing tanpa kondom beberapa waktu yang lalu, Tama masih sering masuk ke dalam unit apartemen Sora. Kebiasaan mereka yang dulu seperti kembali terulang. Bedanya, dulu perempuan itu masih mau menyapanya meski ikhlas tak ikhlas. Mau memasangkan selimut. Sekarang benar-benar seperti orang yang tidak saling mengenal.
Keduanya seperti sepakat hidup berdampingan tanpa mengusik satu sama lain. Tama juga tidak menuntut Sora mau berbicara dengannya. Yang penting dia tau Sora ada di sekelilingnya, dalam keadaan baik-baik saja, sudah. Cukup.
Mungkin karena sudah paham akan kebebalan Tama, Sora juga tidak ingin buang-buang energi untuk melarang atau melakukan sebuah tindakan ekstrim untuk mencegah laki-laki itu masuk ke dalam unit apartemennya. Selama Tama tau diri, tidak mengusiknya, Sora memilih untuk menghemat energi saja. Pertemanan yang sudah tahunan, juga membuat keduanya sama-sama paham definisi benci tapi tidak bisa benar-benar putus hubungan.
Palingan, saat Tama masuk ke unitnya, Sora sengaja tidur cepat untuk menghindar. Dan keesokan paginya, ketika dia bangun, pria itu sudah kembali ke unit sebelah untuk mandi. Lalu mereka bertemu di kantor seperti tidak terjadi apa-apa di apartemen.
Setelah mandi, berganti pakaian, Tama kembali masuk ke unit sebelah. Hal pertama yang biasanya langsung mencuri perhatian Tama adalah sepatu kerja Sora. Kalau sudah ada di rak, berarti perempuan itu sudah pulang dan mengurung diri di dalam kamarnya yang selalu tertutup. Tapi barusan, benda itu belum ada di sana. Apa dia belum pulang?
Penasaran, Tama membuka kamar. Kosong. Tas perempuan itu pun belum ada. Namun dia masih penasaran untuk mengecek kamar mandi. Sama, kosong juga.
Seingat Tama tadi, Sora pulang sendiri karena Kayla dan Julian masih terjebak macet. Bukankah seharusnya dia sudah ada di sini? Apakah dia jalan-jalan sendiri?
Tama gelisah. Status WA nya offline, last seen adalah jam pulang kantor tadi. Mustahil 'kan dia di luar tapi tidak menyentuh ponselnya? Setidaknya bertukar pesan dengan Julian. Di mana dia sebenarnya?? Tama ingin sekali bertanya pada Kayla atau si brengsek Julian, namun rasanya terlalu gengsi.
Laki-laki itu memutuskan untuk menunggu setengah jam, sebelum akhirnya menghubungi lagi nomor Sora yang tak kunjung online. Setengah jam adalah waktu paling maksimal yang bisa dia berikan sebelum hatinya benar-benar meledak karena rasa takut.
"Come on, Sora. Angkat teleponnya!" Tama mondar-mandir di ruang tamu. Sudah panggilan ke enam dan tidak ada respon sama sekali. Berbagai pesan juga dia kirimkan namun hanya dua centang abu.
Tama galau antara ingin memberi tahu Julian atau tidak. Karena kalau iya, itu artinya secara tidak langsung dia mengaku sudah memasuki unit apartemen Sora tanpa permisi. Dia tidak ingin terjadi keributan lagi.
Mending dia mencari tau sendiri. Kalaupun ternyata sekarang Sora sedang bersama Julian, it's oke. Yang penting dia cari dulu.
Langkah pertama yang Tama lakukan adalah pergi ke kantor untuk mengecek absen pulang Sora. Mobilnya berlari kencang seperti mengejar sesuatu yang penting. Mesin absen berupa pemindai sidik jari itu akan menunjukkan data jam datang dan jam pulang jika kita memasukkan NIK karyawan secara manual. And of course, Tama sangat hafal nomor induk kepegawaian Sora.
"What?? Belum pulang??" Dahinya berkerut. Kok bisa?
Satpam yang berdiri di sebelahnya juga ikut kebingungan. Gedung sudah dikunci. Kosong. Dan tidak ada lagi orang di dalam sana.
"Tadi Bapak lihat Sora keluar dari kantor??"
"Wah, kurang perhatiin, Pak. Tadi hanya lihat pak Julian dan ibu Kayla. Itu juga nggak masuk gedung lagi. Sampai parkiran, langsung pencar mobil, trus pulang."
Tiba-tiba saja dada Tama berdebar tidak karuan. Jika last seen WhatsAppnya adalah persis jam 5 sore, itu artinya dia masih ada di kantor di waktu itu. Apakah...
Ya Tuhan! Tadi dia bilang mau ke toilet dulu 'kan?!
"Pak, buka pintunya!" Tama memberi instruksi bahwa mereka akan kembali membuka pintu utama gedung. Dengan langkah seribu, kedua laki-laki itu bergerak menuju bangunan kantor yang berjarak sepuluh meter dari pos satpam.
Tama tidak sabaran. Sesaat setelah pintu kaca dibuka, laki-laki itu langsung menerobos masuk. Sambil satpam menyalakan listrik, dia sudah masuk ke tangga darurat yang gelap. Tidak sabar menunggu lift menyala.
"Sora!!!" Teriakannya langsung terdengar sesudah sampai di lantai dua. Langsung bergerak ke ruang kerja mereka dan membuka pintu.
Sial!! Tas Sora benar ada di sana. Ya Tuhannnn!
Hati Tama langsung dilanda sedih dan merasa bersalah. Diambilnya tas itu dan cepat-cepat keluar. Sora sudah pasti ada si sekitar sini. Toilet adalah tujuan Tama berikutnya.
"Sora!!" Dia memanggil dari depan pintu kamar mandi perempuan. Tidak ada sahutan. Dilihatnya posisi anak kunci sedang melintang. Itu artinya pintu tersebut sedang terkunci dari luar.
Segera dia putar benda tersebut, lalu menekan gagang pintu ke bawah.
"Sora, oh Tuhan!" Tama melihat perempuan yang sejak tadi dia cari, tergeletak tak berdaya di lantai kamar mandi. Tubuh pria itu lantas berpindah tempat dalam hitungan detik. Dari ambang pintu hingga kini menopang tubuh Sora yang lemah.
Tanpa menunggu lama, dia mengangkat Sora dengan posisi tangan berada lipatan lutut dan punggung perempuan itu. Satpam yang sudah sampai di lantai dua terlihat shocked dan tak sanggup berkata-kata. Apakah besok dia akan dipecat? Seantero kantor pun tau kalau Sora adalah kekasih anak direktur.
Satpam membantu membukakan pintu mobil Tama. Sesudah itu dia berkali-kali meminta maaf dan berharap untuk tidak dipecat.
"Saya akan merahasiakan ini asal bapak juga melakukan hal serupa. Jangan sampai ada yang tau kalau Sora terkunci di toilet, sampai saya berhasil menemukan pelakunya. Dan tidak perlu ada yang tau kalau saya juga datang ke kantor malam ini," pesan Tama sebelum akhirnya pergi meninggalkan halaman kantor yang begitu luas.
Tadi laki-laki itu masuk ke dalam kursi kemudi dengan posisi masih memangku Sora. Hanya tas wanita itu yang berpindah tempat ke kursi sebelah. Namun Sora sendiri masih berada dalam dekapannya yang hangat. Untung saja dia mahir mengendalikan kemudi dengan tangan kiri. Sehingga dia bisa memeluk Sora dengan tangan kanannya yang kekar.
Gerakan mobil yang tidak terlalu cepat rupanya membuat kesadaran Sora kembali secara perlahan. Kelopak matanya mulai bergerak kecil. Penciumannya mulai aktif. Tanpa membuka mata pun, dia tau kalau dia sudah keluar dari kamar mandi. Dan kini berada di atas pangkuan laki-laki yang tidak dia harapkan.
Ke mana Julian? Kenapa harus Tama?
Sora masih lemah. Perempuan itu tidak punya pilihan selain membiarkan hati dan pikirannya tenggelam bersama Tama sekarang.
Pelukan ini... begitu erat dan hangat. Sora seperti diajak bernostalgia akan perasaan cinta yang sedang berusaha dia kubur dalam-dalam. Hati seorang Sora kembali bagai diperas. Sakit sekali. Sampai kapanpun dia tidak akan bisa mengenyahkan perasaan itu. Sejujurnya, dia tidak pernah berhenti mencintai Tama.
Sekalipun luka yang ditorehkan laki-laki ini sudah teramat banyak, Sora akan selalu cinta. Tama adalah first love yang amat berkesan bagi perempuan itu. Sesempurna apapun Julian, Tama akan selalu punya tempat yang khusus di dalam relung hati Sora.
Tama merasa deru napas perempuan dalam pelukannya sedikit berubah. Tiba-tiba seperti memburu dan terkesan terisak. Pria itu mengecek apakah Sora sudah bangun. Dan ketika dia mendapati pipi perempuan itu sudah basah, Tama langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan.
"Maaf gue terlambat." Dia mengusap pipi Sora dan membuat perempuan itu menengadah ke padanya. Mata cantik itu terlihat begitu kelelahan.
Sora sendiri menatap Tama tanpa satu katapun yang terucap dari bibirnya. Hanya tetes demi tetes air mata yang meluncur sebagai luapan perasaan yang dia alami saat ini.
"Gue cinta sama lo, Ra. Gue sakit kita kayak gini terus." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Tama yang seharusnya bertanya 'lo masih takut?' atau 'kenapa bisa kekunci?'. Entahlah. Bagi Tama, kejadian ini adalah salah satu akibat dari kelalaiannya menjaga Sora. Karena hubungan mereka yang sudah sangat kacau.
"Gue mau kembali seperti dulu. Please."
Sora melihat sorot menyedihkan dari bola mata Tama. Dia sadar laki-laki itu sedang serius. Ini sudah pernah terjadi 'kan? Namun yang terjadi setelah-setelahnya selalu bertentangan dengan pengakuan ini. Kenyataanya Tama tidak punya niat untuk menyudahi hubungannya dengan Giselle. Lantas maunya apa?
"Lo... tau dari mana gue masih di kantor?" Sora tidak mau tenggelam dalam emosi pria itu. Memilih bertanya bagaimana laki-laki ini bisa menemukannya.
"Kenapa? Lo nggak senang gue yang datang menyelamatkan lo?"
Sora mengangguk dengan yakin. "Itu tugas Julian, Tam. Bukan tugas lo."
***