Di kota megah Aurelia City, cinta dan kebencian berjalan beriringan di balik kaca gedung tinggi dan cahaya malam yang tak pernah padam.
Lina Anastasya, gadis sederhana yang keras kepala dan penuh tekad, hanya ingin bertahan hidup di dunia kerja yang kejam. Namun, takdir mempertemukannya dengan pria paling ditakuti di dunia bisnis Ethan Arsenio, CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan berhati beku.
Pertemuan mereka dimulai dengan kesalahpahaman konyol, berlanjut dengan kontrak kerja yang nyaris seperti hukuman. Tapi di balik tatapan tajam Ethan, tersembunyi luka masa lalu yang dalam… luka yang secara tak terduga berhubungan dengan masa lalu keluarga Lina sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 23
Lina tidak tidur. Dia menghabiskan malam di apartemennya, duduk di sofa murahnya, menatap ke luar jendela. Dia sudah memikirkan seratus skenario untuk pagi ini. Dipecat. Dihadang keamanan di lobi. Diborgol.
Dia tidak mempersiapkan diri untuk... keheningan.
Pukul 07.50, kartu aksesnya berfungsi. Lift naik seperti biasa. Saat dia mendorong pintu mahoni lantai 50, dia setengah berharap menemukan tim keamanan yang menunggunya.
Kantor itu kosong.
Tidak. Hampir kosong.
Ethan Arsenio ada di sana. Duduk di singgasananya.
Dia tidak terlihat seperti baru datang. Dia terlihat seperti tidak pernah pergi. Jasnya masih yang kemarin, tapi dasinya hilang dan kemejanya kusut. Ada cangkir kopi ketiga yang sudah kosong di mejanya. Matanya merah di tepinya, tapi tajam seperti biasa.
Dia sedang menunggunya.
Lina berjalan pelan ke mejanya, jantungnya berdebar di tulang rusuknya. Dia duduk. Dia menyalakan komputernya. Dia menunggu kapak jatuh.
Bip.
Telepon di mejanya berdering seketika.
Lina mengangkatnya. Tangannya terasa dingin. "Ya, Tuan?"
"Ke mejaku."
Suaranya serak karena kurang tidur, tapi sekeras baja.
Lina berdiri. Dia berjalan melintasi karpet, setiap langkah terasa seperti di atas pecahan kaca. Ini dia.
Dia berdiri di depan meja mahoni itu.
Ethan tidak sedang menatapnya. Dia sedang menatap beberapa lembar kertas yang baru dicetak jelas bukan laporan Lina, tapi sesuatu yang baru.
"Santoso Wijaya," kata Ethan pelan, suaranya parau. "Mewakili 'Blackwater Capital'. Sebuah grup investasi swasta dari Hong Kong. Sangat tertutup, sangat agresif."
Jantung Lina berhenti berdetak. Itu adalah konfirmasi.
Ethan akhirnya mengangkat matanya. Tatapan itu menembus Lina. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kelegaan. Hanya intensitas murni yang membakar.
"Hipotesismu," katanya, "benar. Di setiap detailnya."
Lina tidak bisa bernapas. "Saya... saya hanya beruntung dengan pencarian..."
"Jangan," potong Ethan, suaranya tajam. "Jangan merendahkan pekerjaanmu. Kau menemukan dalam tiga jam apa yang gagal ditemukan oleh tim intelijenku dalam tiga hari."
Lina tidak tahu harus berkata apa. "Baik, Tuan."
Ethan menatapnya lama, seolah sedang memecahkan teka-teki terakhir. "Aku salah menilaimu, Nona Anastasya."
Ini adalah sebuah pengakuan. Bukan permintaan maaf, tapi sebuah pengakuan. Dari pria seperti Ethan Arsenio, itu lebih berharga dari emas.
"Aku menuduhmu sebagai mata-mata," katanya datar.
Lina menelan ludah. "Ya, Tuan."
"Aku masih tidak tahu siapa kau sebenarnya," lanjut Ethan. "Aku tidak tahu apakah kau putri Hermawan Anastasya yang naif, atau agen ganda paling cerdas yang pernah kutemui."
Lina tersentak. Dia tahu nama ayahnya. Tentu saja dia tahu.
"Tapi hari ini," kata Ethan, mencondongkan tubuhnya ke depan, "aku tidak peduli."
Dia mengambil dua dokumen tebal yang terikat rapi dari laci dan meletakkannya di atas meja dengan bunyi brak yang keras.
"Ini," katanya, menunjuk dokumen pertama, "adalah draf proposal asli kita untuk Proyek Pantai Emas. Sangat rahasia."
Dia menunjuk dokumen kedua. "Dan ini... adalah draf penawaran 'Aurelia Gold' yang baru saja 'dibocorkan' oleh sumber di tim hukumku pagi ini. Ini adalah rencana mereka."
Mata Lina terbelalak. Dia baru saja memberinya akses ke dokumen paling sensitif dalam perang korporat ini.
"Kau menemukannya," kata Ethan, suaranya kini bergetar karena adrenalin tempur. "Sekarang, kau akan membantuku menghancurkannya."
Lina menatap dokumen-dokumen itu. Ini bukan lagi jebakan. Ini adalah... undangan.
"Tuan... apa yang Anda ingin saya lakukan?"
"Kau akan membaca kedua proposal ini. Kau akan mempelajari setiap koma, setiap klausul," perintah Ethan. "Timku mencari celah hukum. Aku mau kau mencari celah psikologis. Aku mau kau temukan kelemahan, kesombongan, atau ketakutan mereka di dalam draf itu. Aku mau senjata."
Lina menatap mata Ethan.
"Anda memercayai saya?" bisik Lina, pertanyaan itu keluar sebelum dia bisa menahannya.
Ethan tersenyum tipis. Senyum yang dingin dan berbahaya.
"Aku memercayai otakmu," katanya. "Aku memercayai hasil kerjamu. Loyalitasmu... itu akan kita uji sekarang."
Dia mendorong dokumen-dokumen itu ke arah Lina.
"Bawa itu ke mejamu. Kau punya waktu sampai makan siang untuk memberiku kelemahan pertama mereka."
Lina mengambil dokumen-dokumen rahasia itu. Beratnya jauh melebihi berat kertas.
