Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Jadikan Aku Tokoh Ceritamu
Setelah mencuci piring Hania berdiri di samping sofa panjang tempat Sabil duduk sambil menatap tablet, ia masih berkutat dengan tabel-tabel, membuat laporan medis beberapa orang pasien.
Ia menarik napas sebentar, lalu... "Apa yang ingin mas bicarakan?"
Tanpa mengangkat wajahnya, Sabil menepuk tempat di sebelahnya yang kosong. "Duduk di sini."
Tapi Hania tidak duduk di samping Sabil, ia duduk di sofa depannya, Hania takut detak jantungnya yang berantakan terdengar oleh Sabil. Kedua tangannya ia satukan di atas pangkuan. Sabil akhirnya mengangkat wajahnya, alisnya terangkat satu sambil menatap Hania.
"Aku sudah jinak Hania, kenapa duduknya jauh sekali?"
"Ini nggak jauh mas, kita masih berhadapan."
"Ada yang ingin aku tunjukan padamu, kemari lah." Sabil menepuk lagi sisi di sampingnya yang kosong.
Hania menghela napas pelan, lalu ia hembuskan dengan sedikit kasar. Ia mengangkat bokongnya lalu berpindah duduk di samping Sabil, masih menjaga jarak. Sabil langsung menyodorkan beberapa gambar bangunan dari tabletnya yang akan ia pilih menjadi klinik prakteknya di wilayah Bandung.
"Tolong pilihkan tempat yang cocok untuk tempat praktekku."
"Aku? Aku nggak ngerti apa saja idealnya tempat praktek seorang psikiater," ucap Hania.
"Apa yang kamu bayangkan saat sedang berkonsultasi dengan seorang psikiater, kamu bisa bayangkan di beberapa tempat ini."
Hania menggeser gambar demi gambar yang harus dipilih, menilai ruangan di masing-masing bangunan dan membayangkan jika ia sebagai pasien yang datang ke sana.
"Sasaran pasien dari kalangan apa?" tanya Hania masih serius menilai bangunan di layar tablet.
Sabil menjentikkan jemarinya, "good question! Aku ingin semua kalangan bisa terlayani di klinik ku, juga bisa menyediakan layanan rawat inap untuk pasien yang mengalami kritis dan memerlukan layanan khusus."
"Menurutku, kalau bangunan ini terlalu mewah meskipun semua fasilitasnya memadai, tapi pasien dari kalangan bawah akan berpikir ribuan kali untuk berobat. Baru melihat bangunannya saja, kaki mereka akan enggan melangkah apalagi untuk menanyakan biaya pengobatan. Selalu ada harga untuk fasilitas mewah bukan?"
Sabil bergeser mendekat, bahu mereka saling menempel tanpa Hania sadari.
"Kalau bangunan ini terlalu kaku, kesannya tidak homey seperti akan masuk ke dalam tempat penghakiman. Pemandangan luar pun jalan raya, tentu saja bising tidak nyaman untuk berkonsultasi, tempat parkirnya terbatas, hanya muat dua mobil. Bagaimana jika pasien dokter yang datang lebih banyak membawa mobil."
Sabil menarik pelan tangan Hania agar gambar di Tablet di tangan Hania bisa lebih jelas ia lihat, kini kepala mereka nyaris bertabrakan karena terlalu dekat.
"Dua tempat ini, sepertinya bisa kita perhitungkan. Halaman luas, banyak kamar yang mereka sediakan, halaman belakang bisa dipergunakan untuk olahraga dan berjemur. Kegiatan harian pasien opname bisa lebih leluasa. Bagaimana menurut dokter?" Hania mendongakkan wajahnya, di saat Sabil lebih menundukkan kepalanya.
Jarak wajah mereka terlalu dekat, Hania mengedipkan matanya berulang. Tubuhnya seketika kaku dengan posisi mereka yang terlalu dekat. Tatapan mereka saling mengunci.
"Apa bisa diterima pendapatku, dok?" tanya Hania pelan, dan perlahan tubuhnya menjauhi bahu Sabil.
"Baik... Sangat jelas uraian mu," jawab Sabil pelan masih terus menempelkan tatapannya pada wajah Hania. "Hari minggu kita ke Bandung untuk melihat lokasi," imbuhnya
"Kita? Aku dan mas?" tanya Hania wajahnya seketika panik.
"Sama bude juga," jawab Sabil pelan.
"Kalau sama bude, aku oke." Hania tersenyum lega.
Keduanya terdiam, seakan saling meredakan degup jantung masing-masing. Cukup lama dari keduanya terdiam. Keheningan menggantung di udara.
"Hania," panggil Sabil akhirnya.
"I-iya."
"Novel karya Author Badut, kenapa banyak draft yang tidak diposting?"
"Draft? B-bagaimana dokter tahu?" alis Hania saling terpaut.
"Aku ... Aku, sudah membacanya."
"Bagian mana yang sudah dibaca?"
"Semuanya."
"Itu melanggar privasi, dok. Kembalikan ponselku." Tangan Hania menadah di depan dada Sabil.
Pandangan Sabil turun ke telapak tangan Hania. Lama ia menatap telapak tangan itu, lalu akhirnya ia genggam telapak tangan Hania dengan erat dan ia bawa di depan dadanya.
"Beritahu aku, cerita itu hanya fiksi, iya kan?"
"Memangnya dokter berharap apa dari tulisan yang tidak layak untuk ku posting?"
"Kamu memanggilku dokter lagi, aku ingin menjadi temanmu. Kamu bisa menceritakan apapun padaku, jangan pendam sendirian."
'teman? Kenapa detak jantungku berantakan setiap kali matanya menatapku, sikap lembut dan perhatiannya padaku. Apa yang terjadi padaku?' gumam Hania.
"Apa selalu begini cara mas memperlakukan setiap teman?"
"Tidak, kamu spesial."
"Kita sedang membicarakan hubungan kan, bukan martabak?" tanya Hania polos, wajahnya antara tertegun dan melamun, matanya beralih pada telapak tangannya yang masih dalam genggaman Sabil.
Sebenarnya Hania sangat suka jika sedang bercerita lawan bicaranya bisa physical touch padanya.
'Mungkinkah ia membaca semua curahan hatiku di novel 'Embun'?' gumam Hania.
Sabil sontak tergelak mendengar pertanyaan polos Hania. "Memangnya seperti apa seharusnya teman bersikap?" tanya Sabil dengan senyum menggoda.
"Mas lepaskan tanganku dulu, nanti aku beritahu bagaimana seorang teman seharusnya."
"Tidak, aku nyaman seperti ini," jawabnya keras kepala.
"Tapi aku nggak nyaman."
"Mulai sekarang kamu harus membiasakan nyaman berada di dekatku. Kamu menyukai seseorang yang love language-nya physical touch, dan aku lah orangnya."
"Mas menawarkan pertemanan, bukan—"
"Kalau kamu mau lebih dari sekedar teman, aku juga mau, bagaimana?"
"Bagaimana apanya? jangan suka bermain-main!" Hania melepaskan paksa tangannya. Wajahnya cemberut dan menggeser duduknya menjaga jarak.
"Aku nggak main-main, aku serius nona Hania. Atau kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang? Orang masa lalu, Emh... Siapa namanya ya di novel itu?" Sabil mengetuk dimple-nya dengan jari telunjuk.
"Itulah efeknya jika melanggar privasi orang, tulisan yang bagiku nggak layak di posting, malah dokter baca." Hania merajuk.
"Ada sebuah kalimat yang aku baca di akun Author Badut, 'Menulis adalah cara sang penulis memahat kisahnya pada sebuah cerita. Cara penulis berdialog dengan dirinya sendiri, memberi jejak pada setiap kalimat, tentang apa yang ingin ia sampaikan dan apa yang perlu ia bungkam dalam kalimat hening. Karena pada akhirnya, tulisan adalah jati diri sendiri yang tertuang dalam sebuah karya.' "
"Saat seorang penulis diam, sejatinya ia sedang memahat makna dan bercerita tentang refleksi dirinya sendiri," ucap Sabil membuka kunci hati Hania.
Ada kaca-kaca yang siap tumpah dari mata bulat milik Hania, "Sudah terlalu jauh dokter melanggar privasiku, akan aku laporkan pada dewan dokter agar menegur anda."
Bibir Hania bergetar saat mengatakannya, ia tidak marah dengan Sabil tapi saat pria itu mengingat kalimat yang ia tulis di novel Embun, hatinya terketuk dan bergetar, ada seseorang di dunia ini yang kepeduliannya sama persis dengan Papa dan kaka lelakinya.
Sabil tersentak melihat wajah sedih Hania, "Kamu marah Hania?" tanya Sabil
"Iya. Kembalikan ponselku."
"Aku tidak bermaksud—"
"Tapi dokter sudah membacanya sampai episode ke delapan puluh."
"Ijinkan aku membaca sampai episode seratus tiga dan menjadi tokoh di akhir cerita novel Embun." Sabil mendekat, lalu mengusap airmata yang mengalir di pipi Hania.
"Bukan aku yang menentukan akhir ceritaku, bahkan nadi yang berdetak juga milik-Nya," jawab Hania
"Kita masih bisa merubah takdir dengan Doa,"
"Jika tidak bisa juga?"
"Aku akan maksa"
Mereka saling menatap. Ada kebingungan yang kental di sorot mata Hania.
"Sabil, tadi sore pak RT minta kamu laporan ada penghuni baru di rumah ini, mumpung kamu ada di rumah, sana temui pak RT dulu," sela bude yang ternyata sejak tadi memperhatikan mereka dari ruang televisi.
"E-eh... I-iyaa bude," jawab Sabil gugup.
Mereka berdua seakan terjebak dalam situasi yang canggung dan salah tingkah di bawah tatapan tajam bude Sunti.
...***...
Visual Dokter Sabil
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?