Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Pintu Menuju Kejujuran yang Gelap
Pukul 13:45.
Luna berdiri di depan cermin, mengamati dirinya untuk yang kesekian kali. Ia mengenakan celana jeans longgar dan kaus katun hitam—pakaian yang paling tidak menarik, paling tidak menggoda. Bukannya ia ingin menyembunyikan daya tariknya; justru ia ingin Raka yang harus berusaha lebih keras untuk menanggalkannya, untuk menelanjangi bukan hanya tubuhnya, tapi juga semua lapis pertahanan yang tersisa.
Ia menyampirkan hoodie hitam itu. Kainnya tebal, terasa seperti perisai yang ironis. Itu adalah seragam, kata Raka. Seragam pengkhianatan, pikir Luna. Di saku terdalam, kunci apartemen itu terasa hangat, menyerap suhu tubuhnya. Dinginnya kunci kini telah berubah menjadi sensasi terbakar, sebuah penanda bahwa benda mati itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keputusannya.
"Lun? Mau berangkat sekarang?" Suara Naira terdengar dari ambang pintu.
Luna berbalik, memasang senyum 'murid baru yang bersemangat'. "Iya, Kak. Aku naik sepeda sampai perempatan dulu biar nggak terlalu sore sampai di studionya."
Naira tersenyum lega. "Bagus, Sayang. Nikmati harimu. Jangan lupa kirim foto lukisan pertamamu ya!"
"Pasti," jawab Luna. Kebohongan yang baru saja ia ucapkan terasa manis dan lancar di lidahnya. Ia mencium pipi Naira, sebuah ciuman perpisahan palsu, sebuah ritual pengkhianatan. Naira membalasnya dengan pelukan tulus, tidak tahu bahwa ia sedang memeluk seorang penipu yang beberapa menit lagi akan melangkah menuju kehancuran rumah tangganya.
Keluar dari rumah itu terasa seperti melepaskan jangkar. Luna mengayuh sepeda secepat yang ia bisa, bukan karena terburu-buru, tapi karena ia butuh laju angin untuk menampar sisa-sisa rasa bersalah di wajahnya.
Ia berhenti tepat tiga blok dari Studio Karsa, di sebuah kedai kopi yang sepi. Ia memarkir sepeda dan duduk di sana selama lima menit, hanya memesan air mineral. Itu adalah tindakan mengaburkan jejak, sebuah bagian dari skenario Raka. Ia tidak ingin ada yang melihatnya dari arah rumah mereka, lalu melihatnya masuk ke mobil asing.
Tepat pukul 13:58, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan singkat.
Raka: Sampai jumpa di belakang toko buku. Aku mengenakan topi.
Luna bangkit, meninggalkan botol air mineralnya. Ia berjalan kaki dua blok ke belakang sebuah toko buku antik yang remang-remang. Aroma kertas tua dan debu memenuhi udara.
Sebuah mobil berwarna abu-abu gelap, bersih dan biasa saja—jelas mobil sewaan—sudah menunggunya. Jendela belakang terbuka sedikit, dan ia melihat topi baseball gelap yang menutupi separuh wajah Raka.
Ia membuka pintu dan masuk. Udara di dalam mobil itu dingin, hening, dan berbau asing, tanpa jejak parfum Naira. Raka sudah melepaskan dasinya. Kemeja birunya kini tampak sedikit kusut, dan ia tahu, kekusutan itu diciptakan hanya untuknya.
"Halo, Lun." Suara Raka serak, lebih lembut dari biasanya. Ia tidak menoleh, matanya masih fokus pada kaca spion untuk memastikan tidak ada yang mengikuti.
"Hai, Mas."
"Kuncinya?"
Luna merogoh saku hoodie-nya, mengeluarkan kunci itu. Ia menyerahkannya tanpa bicara.
Raka mengambilnya dan membiarkan jari mereka bersentuhan. Sentuhan singkat itu adalah satu-satunya koneksi yang mereka butuhkan. "Selamat datang di kehidupan barumu, Luna."
Perjalanan terasa singkat dan tegang. Mereka berdua diam, sebuah keheningan yang penuh janji. Raka mengemudi dengan tenang, melewati jalan-jalan perumahan yang tertata rapi, hingga mereka tiba di depan gedung apartemen mewah yang tampak dingin dan anonim.
Raka mematikan mesin. Ia menoleh ke Luna, tatapannya kini lurus dan intens, menghilangkan semua topeng 'kakak ipar yang perhatian' yang ia kenakan di meja makan. Di matanya, Luna melihat pantulan dirinya sendiri—gila, berani, dan siap.
"Kita tidak akan bertemu lagi sampai malam, Lun. Jangan mengirim pesan apapun, jangan telepon. Aku akan sibuk. Begitu juga kamu." Raka memberi isyarat ke arah kunci di tangan Luna. "Ini adalah waktu untuk kamu menjadi orang lain."
Luna mengangguk, merasakan adrenalin menderu.
"Lantai sembilan. Unit 903. Kamu masuk duluan. Aku akan parkir mobil ini jauh dari sini dan akan naik sekitar sepuluh menit setelah kamu. Pastikan tidak ada yang melihatmu masuk," perintah Raka.
Luna keluar dari mobil. Kaki jenjangnya terasa sedikit goyah, namun ia memaksakan langkah mantap. Ia masuk ke lobi yang elegan, menghindari tatapan penjaga, dan menekan tombol lift.
Di dalam lift, ia memandangi wajahnya di pantulan pintu baja. Wajahnya adalah topeng yang sempurna. Tenang. Tanpa rasa takut. Ia telah sukses membilas semua kegelisahan.
Pintu lift terbuka di lantai sembilan. Koridornya sunyi, karpetnya tebal dan meredam setiap bunyi. Luna berjalan menuju Unit 903.
Kunci. Kunci menuju kebebasan yang paling kotor.
Ia memasukkan kunci itu. Sekali putar. Klik.
Ia mendorong pintu terbuka.
Udara di dalam apartemen itu terasa baru, beraroma kayu modern dan sedikit aroma bersih yang netral—belum tersentuh oleh aroma kehidupan, apalagi perselingkuhan. Ini adalah kanvas kosong.
Apartemennya kecil, studio yang elegan. Jendelanya lebar, membingkai pemandangan kota yang membentang luas di bawah, persis seperti yang ia bayangkan. Dunia yang sedang mereka tipu terlihat begitu kecil dari sini.
Ia meletakkan tasnya dan berjalan ke tengah ruangan.
Raka benar. Ini bukan lagi tempat pertemuan tersembunyi. Ini adalah sebuah markas. Sebuah tempat yang dibangun khusus untuk kebenaran mereka yang tersembunyi.
Pandangannya tertuju pada ranjang di sudut ruangan. Seprainya berwarna abu-abu gelap, polos, dan sangat elegan. Tidak ada lilin, tidak ada kemewahan murahan. Hanya keseriusan. Raka ingin mereka fokus pada apa yang paling penting: kejujuran yang telanjang.
Luna menutup matanya. Ia menghirup udara yang murni. Tidak ada aroma Naira. Tidak ada bau kari. Hanya dirinya dan janji yang baru.
Ia membuka matanya, dan saat itu, ia mendengar suara kunci berputar lagi di pintu.
Pukul 14:10. Raka telah tiba.
Raka melangkah masuk, melepas topi dan meletakkannya di meja. Matanya tidak berkedip saat menatap Luna.
"Kamu datang," ujarnya, suaranya bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang penuh kemenangan.
Luna tidak bergerak, namun hatinya berpacu dengan liar. "Tentu saja, Mas. Aku sudah memilih. Dan aku ingin melihat sejauh mana aku sanggup tenggelam."
Raka tersenyum—senyum yang mencapai matanya, namun kini bukan senyum sopan untuk Naira, melainkan senyum puas seorang iblis. Ia berjalan pelan ke arah Luna, menyingkirkan jarak di antara mereka.
"Bagus," bisik Raka, nadanya memuja. "Aku sudah menunggu untuk melihat mata itu tanpa kepura-puraan. Lepaskan hoodie itu, Luna. Seragam kita hanya untuk di luar. Di sini, kamu tidak perlu apa-apa lagi."
Raka mengangkat tangannya dan menyentuh saku di mana kunci itu tadi berada, lalu ia menyentuh ritsleting hoodie Luna.
"Aku melakukan semua ini, Lun, karena aku ingin memastikan," suara Raka semakin rendah, ia kini berdiri sangat dekat hingga Luna bisa merasakan panas tubuhnya, "bahwa aku adalah satu-satunya orang yang tahu siapa kamu sebenarnya. Aku menciptakan kamu. Dan sekarang, tunjukkan padaku siapa yang aku ciptakan."
Luna merasakan jiwanya robek, antara jijik pada manipulasi ini dan gairah tak tertahankan terhadap kekuatan di balik kata-kata itu. Ia tidak melawan. Ia mendongak, matanya bertemu dengan matanya, api melawan api.
"Tunjukkan padaku," ulang Luna, suaranya nyaris tidak terdengar, namun dipenuhi tekad. "Tunjukkan padaku apa yang kamu inginkan. Tapi jangan pernah, Mas, jangan pernah mencoba berpura-pura mencintaiku. Aku hanya butuh kegilaanmu."
Raka menyeringai. Ia menarik ritsleting hoodie itu ke bawah dengan gerakan yang disengaja. Kain tebal itu meluncur jatuh, dan Luna berdiri di hadapannya, hanya dengan kaus hitamnya.
"Aku tidak akan pernah mencintaimu, Luna," bisik Raka, kalimat yang seharusnya menghancurkan, tapi bagi Luna, itu adalah kejujuran yang paling membebaskan. "Aku hanya akan menjadi obsesimu. Dan kamu, kamu adalah kebenaran yang aku sembunyikan."
Tanpa kata-kata lagi, Raka memegang wajah Luna, jemarinya kasar dan yakin, dan memaksakan ciuman yang menghapus semua sisa-sisa kebaikan, semua sisa-sisa Naira, dan semua sisa-sisa masa lalu. Ciuman itu adalah sumpah. Sumpah untuk tenggelam bersama.
Luna membalasnya dengan intensitas yang sama, membiarkan dirinya sepenuhnya terbawa ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Ia telah menemukan rumah barunya, dan rumah itu adalah dosa.