Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 3
“Lo denger dari siapa?” tanya Arlen akhirnya.
Najla mengangkat alis. “Gw bukan anak kecil, Bang. Gw tau kalian bukan cuma orang biasa.”
Regar menatap ke arah lain, menahan senyum kecut.
Arlen menarik napas dalam. “Naj, itu bukan hal yang—”
“—yang perlu gw tau, ya?” potong Najla cepat. “Tapi lo lupa, Bang, gw bagian dari keluarga ini. Gw punya hak buat tau kenapa setiap malam lo keluar tanpa kabar, kenapa lo bisa pulang penuh darah tapi selalu bilang ‘cuma kerjaan’.”
Hening lagi.
Arlen memejamkan mata sebentar. “Gw cuma pengen lo aman, Naj.”
Najla menatapnya dalam-dalam. “Dan gw cuma pengen lo berhenti ngerasa lo harus tanggung semuanya sendirian.”
Regar menatap mereka berdua. “Bang, waktu kita gak banyak.”
Arlen berdiri, mengenakan jaket hitamnya lagi. “Jaga Najla. Jangan kasih dia keluar rumah.”
Regar mengangguk.
Sebelum pergi, Arlen sempat menatap adiknya lagi — tatapan lembut tapi juga penuh rahasia.
“Tidur ya. Kalau Abang pulang, Abang ceritain semuanya.” katanya pelan.
Najla hanya mengangguk dengan mata berkaca.
Dan saat pintu tertutup…
Najla menatap jendela kamar, melihat hujan yang mulai reda.
“Hati-hati ya, Bang…” bisiknya.
Langit malam semakin kelam.
Gerimis sudah berhenti, tapi jalanan masih basah, memantulkan cahaya lampu-lampu jalan seperti serpihan kaca.
Sebuah mobil hitam melaju cepat menembus sunyi, dan di balik kemudinya — **Arlen** tampak fokus, rahangnya mengeras.
Di kursi belakang, layar ponsel menampilkan pesan baru.
**[R-09: Target berpindah ke gudang lama di pelabuhan utara. Tidak sendirian.]**
Arlen mengepalkan tangan di setir. “Sialan, mereka cepat banget.”
Suara di *earpiece* terdengar.
“Bang, ini Darren. Gw udah di titik dua. Regar tetep di rumah jaga Najla.”
“Oke. Jangan gerak dulu sebelum gw kasih aba-aba.” jawab Arlen datar.
Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti di dekat gudang tua yang remang.
Lampu jalan di sekitar tempat itu padam, hanya ada bunyi deburan ombak dan suara logam berderit ditiup angin laut.
Arlen turun, mengenakan sarung tangan hitam dan menutupi wajahnya dengan masker setengah.
Tatapannya dingin, tapi matanya menyala dengan insting tajam — seperti predator.
Ia menempelkan *comlink* kecil di telinga. “Darren, status.”
“Udah siap. Ada tiga orang di luar, dua di dalam. Yang lo cari kemungkinan target utama.”
“Baik. Lakukan hitung mundur.”
“Siap… tiga… dua… satu…”
Braakkk!!!
Pintu belakang gudang terbuka paksa.
Dalam sepersekian detik, Arlen sudah menyelinap masuk dengan senjata *silencer* di tangan.
Dua orang penjaga di dalam bahkan belum sempat menoleh sebelum suara *tumpul* terdengar — satu peluru tepat mengenai bahu, yang lain diserang cepat menggunakan belati pendek.
Satu lagi mencoba lari, tapi tangan Arlen lebih cepat. Ia menarik kerah orang itu, membantingnya ke lantai.
“Di mana orangnya?” tanya Arlen datar.
“G–gak tau! Bos pindah—”
Sret! Belati berkilat, berhenti hanya satu inci dari lehernya.
“Gw ulang. Di mana?”
“Lantai dua! Tapi—dia gak sendirian!”
Arlen melepaskannya. “Terima kasih.”
Langkah kakinya tenang naik ke lantai dua, tapi setiap gerakan terukur.
Di sana, di balik dinding kaca setengah pecah, berdiri seseorang yang sudah menunggunya.
Sosok tinggi, berpakaian jas hitam, dengan bekas luka di pipi.
“Udah lama ya, Arlen.” suaranya berat.
Arlen berhenti di ambang pintu. “Rayan.”
Orang itu tersenyum sinis. “Kau masih dingin seperti dulu. Gak berubah.”
“Berhenti main teka-teki. Apa yang lo lakuin di wilayah gw?”
“Wilayah lo?” Rayan tertawa pendek. “Lo pikir dunia masih milik The Arselion Family?”
Mata Arlen menyipit. “Jadi lo masih dendam.”
“Dendam? Enggak. Gw cuma mau balas apa yang mereka ambil dari gw.”
“Lo salah jalan, Ray. Kalau lo terus terusin ini, gw gak akan tahan diri gw sendiri.”
Rayan mengeluarkan pistol dari balik jas. “Gw harap lo gak menyesal.”
Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan menggema di seluruh gudang.
Arlen menunduk cepat, berguling ke belakang tumpukan peti. Peluru memantul di dinding logam.
Ia menembak balik — tepat di arah pantulan bayangan lawan.
Rayan terpental, bahunya berdarah, tapi masih hidup.
“Lo makin cepat…” katanya terengah.
“Dan lo makin ceroboh.” jawab Arlen, menodong pistolnya tepat ke kepala Rayan.
Namun sebelum pelatuk ditekan, suara lain terdengar dari radio Arlen.
“Bang! Hati-hati! Ada pergerakan dari belakang lo!”
Darren.
Arlen refleks berbalik —
Dor!
Peluru melesat mengenai kaca di sampingnya. Pecahan beterbangan.
Dari balik bayangan muncul tiga orang bersenjata penuh. Mereka bukan penjaga biasa — melainkan pasukan bayaran lain.
“Sial…” gumam Arlen. Ia berlari, menendang peti kayu, lalu melompat ke lantai bawah dengan gerakan cepat.
Suara tembakan memburu, tapi Arlen menghilang di antara tumpukan barang.
Rayan berdiri lagi, tersenyum miring sambil menatap arah keluarnya Arlen.
“Selalu kabur di detik terakhir, ya… Pembunuh Bayaran Keluarga Arselion.”
Di sisi lain — di rumah Arlen.
Najla terbangun dari tidurnya.
Jantungnya berdegup kencang, seperti ada firasat buruk.
“Kenapa perasaan gw gak enak banget, ya…” katanya pelan.
Regar yang berjaga di depan pintu mendengar suara itu.
Ia mendekat. “Naj, lo belum tidur?”
“Abang Arlen di luar, kan?”
“Iya. Tapi lo tenang aja, dia udah biasa.”
Najla menatap keluar jendela. “Itu justru yang bikin gw takut.”
Angin malam menyusup lewat celah jendela, membuat tirai kamar Najla bergerak pelan seperti bayangan yang bernafas.
Di luar, dunia tenang.
Tapi di hati Najla—badai.
Regar menghela napas, menyandarkan bahu ke dinding. “Naj… kadang takut itu bukan karena kita ragu sama orangnya. Tapi karena kita tau seberapa berat beban yang dia pikul.”
Najla menatapnya. “Lo ngomong kayak lo paham banget soal Abang.”
Regar menyeringai kecil, tapi hambar. “Gw gak cuma paham. Gw lihat sendiri gimana dia tumbuh jadi orang yang gak pernah punya pilihan selain kuat.”
Najla terdiam.
“Kalau dia jatuh, gak ada yang boleh lihat dia berdarah. Itu prinsip dia.” lanjut Regar pelan.
Najla mengepalkan selimutnya. “Tapi dia juga manusia…”
Regar menatapnya lama, lalu mengangguk. “Iya. Sayangnya, musuh-musuhnya gak peduli dia manusia.”
Kembali ke pelabuhan utara.
Arlen menahan napas di balik tumpukan kontainer, tubuhnya merendah, pendengarannya bekerja seperti radar.
Darah dari luka gores di pelipisnya menetes pelan, tapi ia tidak peduli.
Langkah kaki terdengar mendekat—tidak ragu, terlatih, dan teratur.
Bukan amatir.
Ia menekan *comlink*.
“Darren. Posisi.”
“Gw gerak ke barat gudang. Lo aman?”
“Belum. Ada tim tambahan. Blackfang mercenary.” jawab Arlen pendek.
Darren terdiam sedetik. “Sial… mereka kelas berat.”
Arlen menyeringai miring. “Baru seru.”
Tiga bayaran itu menyebar, menyisir gelap seperti serigala lapar.
Arlen memejam, menghitung langkah mereka dalam kepala.
Satu… dua… tiga…
Ia melesat dari bayangan, tak terlihat.
Belati meluncur dalam senyap, menancap di paha lawan pertama sebelum pria itu sempat mengangkat senjata.
Tangan Arlen menutup mulutnya, menarik tubuhnya jatuh tanpa suara.
*Drop one.*
Yang kedua tersadar, berbalik.
Arlen sudah di belakangnya.
Bugh!
Siku menghantam belakang kepala.
Tubuh besar itu limbung, lalu tumbang.
*Drop two.*
Tersisa satu.
Pria itu panik, menembakkan senjata ke segala arah.
Peluru menghujani kontainer, memercikkan logam.
Arlen meluncur rendah, menendang lututnya hingga patah.
Lelaki itu meraung kesakitan, senjatanya jatuh.
Arlen menunduk, pistolnya menempel di dahi lawan.
“Suruh bos lo berhenti libatkan keluarga gw… atau gw cariin dia sampai ke neraka.” kata Arlen dingin.
Lalu—
TAP.
Ia mengetuk pelatuk dengan sengaja *tanpa tembakan*, hanya bunyi kosong.
Pria itu memucat seperti mayat, keringat membeku di wajahnya.
Arlen bangkit, menepuk bahunya yang berdebu. “Larilah. Sampaikan pesan.”
Pria itu terseret pergi, tertatih seperti binatang terluka.
Darren muncul dari kejauhan sambil menurunkan senjata. “Lo sadis juga nggak bunuh dia.”
Arlen menoleh. “Kadang berita lebih menakutkan daripada peluru.”
Tiba-tiba, ponsel Arlen bergetar.
Bukan dari sistem.
Bukan dari tim.
Bukan dari musuh.
Tapi dari Najla.
Pesannya singkat:
“Abang pulang jam berapa?”
Arlen menatap layar cukup lama, sebelum mengetik pelan.
“Bentar lagi. Kunci pintu. Jangan nungguin.”
Kirim.
Arlen menyimpan ponsel, menghela napas panjang—yang mungkin jadi satu-satunya hembusan paling manusiawi malam itu.
Darren menatapnya. “Lo takut banget sama adek lo, Bang?”
Arlen berjalan ke mobil, suaranya rendah tapi tegas.
“Bukan takut…”
Ia membuka pintu mobil, berhenti sedetik.
“Gw cuma gak sanggup kalau dunia ini ikut nyakitin dia juga.”
Di rumah, Najla melihat balasan itu.
Ia meletakkan ponsel di dada, menenggelamkan wajah ke bantal.
“Pulang ya, Bang…” bisiknya.
Di luar, subuh mulai merayap.
Gelap bergeser, tapi perangnya mungkin baru dimulai.