"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 20
"Ya, namanya Tiara. Dia calon mahasiswi baru di Universitas Galaxy." Salah seorang penghuni kost akhirnya meyakinkanku bahwa itu memang benar dia. Semenjak hari itu, aku jadi sering-sering memantaunya diam-diam tanpa berani menemuinya secara langsung.
Entahlah, biasanya aku percaya diri menghadapi para gadis, tapi yang satu ini aku justru tidak memiliki keberanian yang cukup. Jujur saja, aku masih sering memikirkan tentang rencana perjodohan kami di masa lalu, sebenarnya ada keputusan apa yang diambil kedua pihak keluarga.
1 Tahun kemudian, aku akhirnya lulus kuliah jurusan Arsitektur setelah menghabiskan 5 tahun di kampus berbeda mempelajari segala hal tentang arsitektur, dari desain hingga konstruksi.
Setelah lulus S1, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Universitas ternama mengambil jurusan Manajemen Properti. Aku ingin mempelajari lebih lanjut tentang bisnis properti dan bagaimana mengelola proyek-proyek besar. Sayangnya, keputusan itu membuatku tidak bisa lagi melihat Tiara di kesehariaku, sebab kampus yang aku pilih berada di kota lain yang letaknya di luar pulau.
Tapi, aku tidak akan pernah melupakan Tiara. Sebelum pergi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menemuinya ketika aku lulus kuliah nanti. Aku akan berani muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa aku adalah Bang Jaja yang dulu selalu memanjat layangan untuknya.
Namun ketika waktu yang aku nanti-nantikan itu akhirnya tiba, aku justru melihatnya sedang berbicara dengan Arkan, musuh bebuyutanku sejak SMA. Aku tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi? Lalu, aku mendengar kata-kata Arkan yang membuat jantungku berdetak tak karuan, "Rencananya tahun depan, 2 bulan setelah kamu wisuda, pesta pernikahan kita akan diselenggarakan."
Aku langsung bersembunyi di balik rak buku, tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi. Tiara akan menikah dengan Arkan? Lalu, perjodohan kami bagaimana?
Aku kembali ke rumah dengan langkah gontai, perasaan campur aduk.
Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Mengapa aku bisa sepatah hati ini? Sementara, aku bahkan belum sempat memilikinya. Apakah perasaan ini wajar?
Dan lagi, dari sekian miliar laki-laki di dunia ini, mengapa harus Arkan orangnya? Mengapa harus dia yang akan menikahi Tiara. Apa mungkin semesta memang menciptakan kami untuk bersaing?
Sebuah pertanyaan yang sejak lama menggantung di kepala, akhirnya aku baru bisa menanyakannya kepada ibuku saat itu. "Bu, mengenai rencana perjodohanku dulu dengan cucu Kek Mahmud, sebenarnya... apa keputusan kalian? Kenapa tidak pernah mengatakannya padaku?"
Ibu meletakkan majalah yang sedang dia baca, memicingkan kedua matanya setelah menurunkan kaca matanya sedikit, menatapku dengan tatapan heran dan penuh tanya. "Are you okay, Honey? Kenapa pertanyaan itu baru kamu tanyakan sekarang? Kenapa bukan dari 11 tahun yang lalu kamu menanyakannya?"
Aku tertunduk, menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Gak apa-apa, Bu. Cuma... penasaran aja," jawabku.
"Penasaran kok ditahan-tahan sampai 11 tahun. Untung anak Ibu sehat-sehat dan panjang umur." Ibu lalu tertawa. Makna halus dari ucapannya itu adalah, untung aku tidak mati muda dan jadi hantu penasaran. Iya juga sih. 11 Tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebelumnya, aku terlalu malu dan gengsi jika harus menanyakan hal itu, baru memiliki keberanian setelah hatiku patah, dan cemburu buta.
"Ya... karena Ibu sama Kakek dulu gak pernah cerita setelah kita pulang dari sana," jawabku.
Ibu kembali menatapku dengan intens. "Bukannya semua sudah jelas, Ja? Dulu, Ibu sama Kakek gak pernah cerita karena kamu yang lebih dulu menolak Tiara. Kan katamu kamu di sekolah sudah punya pacar yang lebih cantik, lebih putih dari gadis tomboy yang suka main layangan itu?"
Ibu tersenyum menggoda di ujung kalimatnya. Lagi-lagi aku menggaruk tengkuk tak nyaman. Dalam hati mengatai diri sendiri bodoh karena pernah mengatakan semua itu, men-judge Tiara dari penampilan, yang sejatinya bisa diubah menjadi lebih baik asal ada dana yang cukup. Sekarang aku baru menyesal, tapi semua sudah terlambat.
Memang, dulu aku pernah punya pacar, tapi tidak lama kemudian kami putus. Bahkan setelahnya pun aku masih pernah pacaran beberapa kali dengan gadis berbeda, tapi tetap saja Tiara memiliki tempat tersendiri di sudut hati yang tak bisa kumengerti. Mungkin karena aku terlalu meyakini bahwa kelak kami berdua pasti akan menikah, karena perjodohan dari para tetua.
"Ibu kok jadi bahas itu sih, aku 'kan jadi malu."
Ibu terkekeh. "Memang kenapa sih kamu tiba-tiba menanyakan hal itu? Masalah itu 'kan sudah berlalu lama sekali, Ja."
"Kan sudah kubilang, Bu, aku cuma penasaran."
Ibu mengangguk-anggukan kepala mengerti, dan mulai memasang tampang serius. "Sebenarnya, rencana perjodohan kalian dulu itu tidak bisa diteruskan karena ternyata ayahnya Tiara sudah lebih dulu menjodohkan putrinya dengan anak sahabatnya," jelas Ibu, yang membuat perasaanku makin loyo. "Alasan kami gak mengatakan apa-apa ke kamu setelah pulang dari sana, itu karena Ibu dan Kakek berpikir kamu justru senang kalau perjodohan itu tidak jadi."
Penjelasan Ibu bak tamparan keras untukku. Sebenarnya, aku merasa sangat menyesal sudah menolaknya. Tapi setelah kupikir-pikir, bahkan sebelum kutolak pun, perjodohan kami juga tak akan pernah berlangsung karena Tiara sudah lebih dulu terikat dengan orang lain.
Setelah mengetahui fakta itu, aku bertekad melupakan Tiara, terutama karena setelah lulus kuliah dia akan kembali ke kampung halamannya untuk menikah dengan Arkan. Berbagai cara kulakukan untuk menghilangkan perasaan suka tak bersambut yang sempat tumbuh di hati, tapi tetap tidak bisa hilang meski aku sudah mengencani beberapa gadis hingga bosan sendiri.
Hingga suatu ketika saat usiaku sudah menginjak 33 tahun, karirku sebagai Developer Properti sudah cukup gemilang. Ibuku yang sudah semakin tua tiba-tiba saja berkata, "Ja, Ibu rindu kampung halaman. Rasanya Ibu ingin sekali menghabiskan masa tua di sana. Beternak, berkebun di halaman rumah yang cukup luas, pasti rasanya sangat damai dan menyenangkan."
Aku yang selama ini hanya fokus pada karier dan hanya fokus ingin membahagiakan ibuku akhirnya menuruti keinginan beliau. Setelah merenovasi rumah tua peninggalan Kakek dan Nenek, aku dan Ibu akhirnya pindah ke sana. Meski sesekali aku masih harus bolak balik ke beberapa kota berbeda karena urusan pekerjaan.
Hingga suatu sore di bandara, aku melihat Arkan sedang bersama dengan seorang wanita yang sangat aku kenali, dia adalah Anika, kekasih Arkan sejak kami SMA dulu. Aku dan Arkan dulu memang sering berebut soal perempuan, tapi Anika adalah pengecualian. Sebenarnya dulu kami berebut bukan karena benar-benar menyukai gadis yang sama, tapi karena kami sama-sama meyakini bahwa yang menang adalah yang terhebat. Dan soal Tiara, aku kalah telak darinya, meski kami tidak pernah sepakat untuk bersaing seperti saat sekolah dulu.
Pertemuan yang tak kusengaja itu membuatku seketika bertanya-tanya. Apakah Arkan sudah bercerai dengan Tiara? Mengapa bisa Arkan bermesraan dengan wanita lain di tempat umum? Seketika ingatanku terhadap Tiara kembali menguat, rasa penasaran ingin mencari tahu tentangnya semakin besar.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan kemungkinan bahwa Arkan dan Tiara mungkin tidak bahagia bersama. Apa mungkin ini berarti bahwa semesta memberiku titik terang, yang berarti aku akhirnya memiliki kesempatan untuk bersamanya?