NovelToon NovelToon
Tak Pantaskah Aku Dicintai?

Tak Pantaskah Aku Dicintai?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Romansa / Cintapertama
Popularitas:90
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kartu As Amara Ditarik

Setelah Amara pergi meninggalkan meja resepsionis dan menaiki lift. tanpa Amara ketahui, resepsionis hotel itu bukanlah satu-satunya yang terkejut dengan pertanyaannya.

Di sudut lobi, ada seorang pria yang bekerja sebagai security detail tidak resmi, yang sebenarnya adalah suruhan Olivia yang bertugas membersihkan jejak.

Pria itu, Riko, sudah mengetahui bahwa Kamar 82 adalah kamar yang digunakan Olivia. Ia melihat Nyonya Aldridge yang baru itu, yang seharusnya sedang berbulan madu, malah datang dan menanyakan kamar itu.

Riko segera menghubungi Olivia.

"Halo, Riko, ada apa?" tanya Olivia, nadanya terganggu.

"Nyonya Olivia, saya punya masalah. Nyonya Amara, istrinya Tuan Arya, baru saja ada di lobi," lapor Riko dengan suara rendah.

"Amara? Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Olivia, suaranya menajam.

"Dia bertanya tentang Kamar 82," kata Riko.

Mendengar nama kamar itu, Olivia terdiam, cengkeramannya pada ponsel mengerat. Ia tidak menyangka Amara akan bergerak secepat ini. Arya pasti tidak becus menutup mulut.

"Pastikan dia tidak mendapat apa pun. Bersihkan log resepsionis secara manual jika perlu," perintah Olivia. "Dan jangan biarkan dia tahu kau di sana."

Setelah mengakhiri panggilan dengan Riko, Olivia segera menghubungi Arya, amarahnya sudah memuncak.

Sementara itu, Arya masih mengurung diri di kamar tamu, membaca dokumen bisnis sambil menghindari Amara. Ponselnya berdering keras. Itu Olivia.

"Halo, Liv, ada apa?" tanya Arya, berusaha terdengar santai.

"ADA APA?! Sekarang aku yang bertanya, Arya! Apa yang kau katakan padanya?!" teriak Olivia dari seberang telepon, suaranya penuh kemarahan.

Arya menjauhkan ponselnya dari telinga. "Aku tidak mengatakan apa-apa pada Amara. Kenapa?"

"Dia ada di hotel tadi! Dia menanyakan Kamar 82! Arya, dia sedang menyelidiki kita! Kenapa kau tidak bisa mengendalikannya?!" tuntut Olivia.

Arya membeku. Amara? Di hotel? Bertanya tentang kamar itu?

"Tidak mungkin," gumam Arya, meskipun ia tahu ini sangat mungkin. Amara yang cerdas dan keras kepala.

"Mungkin saja, Tuan Arya! Dia cerdas. Aku sudah mengirim Riko untuk menutup jejak, tapi ini akan sulit! Kau harus segera menghentikannya!" seru Olivia.

Rasa takut Arya akan Amara kini bercampur dengan kemarahan pada Amara. Dia telah melanggar perjanjian.

"Baik! Aku akan mengurusnya!" bentak Arya, mengakhiri panggilan.

Arya segera bangkit dari kursi, matanya menyala-nyala. Ia tahu Amara sedang bermain api. Kali ini, ia tidak akan membiarkannya lolos hanya dengan ancaman verbal.

Arya membanting pintu kamar tamu dan berjalan cepat menuruni tangga menuju pintu keluar apartemen. Ia bergegas masuk ke dalam lift dan menuju mobilnya yang diparkir di basement apartemen. Arya mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju hotel.

Di saat yang sama, Amara telah mencapai lantai atas . Ia berdiri tepat di depan Kamar 82. Pintunya terkunci, dan ia tidak bisa masuk. Ia hanya bisa menatap panel kartu akses itu, frustrasi.

Tepat saat itu, seorang petugas housekeeping dengan troli pembersih berjalan mendekat.

"Permisi, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas kamar itu, melihat Amara yang berdiri di depan pintu yang seharusnya kosong.

"Ya," kata Amara cepat. "Saya Nyonya Aldridge. Saya yakin saya meninggalkan barang saya—sebuah gelang—di dalam kamar ini tadi malam. Saya dengar kamar ini baru dikosongkan. Bisakah saya lihat ke dalam sebentar?"

Petugas kamar itu ragu, tetapi melihat Amara adalah istri tuan rumah acara besar kemarin, ia mengiyakan. "Tentu, Nyonya. Saya memang akan membersihkannya sekarang."

Petugas itu memasukkan kunci masternya. Pintu Kamar 82 terbuka.

"Silakan, Nyonya, tapi saya akan membersihkan kamar mandinya," kata petugas itu.

Amara masuk. Ia melihat seluruh ruangan: rapi, dingin, dan tidak personal. Ia segera menuju kamar mandi. Tidak ada sisa parfum, tidak ada bukti, tidak ada jejak pengkhianatan. Kamar itu sudah bersih total.

"Terima kasih banyak," kata Amara setelah beberapa detik, kecewa karena ia tidak menemukan apa pun. "Sepertinya saya salah ingat. Saya permisi."

Amara segera keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju lift. Ia menekan tombol lantai dasar.

Sesampainya di lobi, tepat saat Amara keluar dari pintu putar hotel, sebuah mobil sport hitam mewah memasuki area parkir dengan kecepatan tinggi dan berhenti mendadak.

Arya!

Amara terkejut melihat kedatangan suaminya yang tiba-tiba. Wajah Arya di balik kaca mobil tampak gelap dan penuh kemarahan.

Arya membuka pintu mobil dengan kasar dan keluar. Matanya langsung mengunci Amara.

"Amara!" kata Arya, nadanya mutlak. Ia berjalan cepat menghampiri Amara dan menarik pergelangan tangan Amara secara kasar menuju mobil.

"Masuk!" perintah Arya, membuka pintu mobil penumpang.

Amara didorong masuk ke kursi mobil. Arya mengunci pintu, memutar, dan masuk ke kursi kemudi, lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

"Arya! Kamu gila! Hentikan!" teriak Amara.

Namun Arya tidak mendengar. Ia hanya menambah kecepatan mobilnya, meninggalkan hotel dengan deru mesin yang keras.

"Arya!" kata Amara lagi. Ia memegang sabuk pengamannya dengan erat, ketakutan.

Beberapa menit kemudian, mobil Arya berhenti dengan decitan ban di parkiran apartemen mereka.

Arya keluar dari mobil, wajahnya sekeras baja. Ia meraih Amara yang masih terkejut, menariknya kasar, dan menyeretnya masuk ke dalam penthouse.

Bunyi pintu dibanting keras.

Arya segera menarik Amara dan mendorongnya ke dinding di dekat pintu, memojokkannya. Arya kemudian mencengkeram salah satu tangan Amara dengan kuat.

"Apa yang kau lakukan di hotel itu, hah? Kamu berani masuk Kamar 82!" kata Arya, napasnya memburu.

"Apa maksudmu? Lepas! Aku tidak melakukan apa-apa!" balas Amara, berusaha melepaskan diri.

"Heh..." Arya mendengus, matanya menyala. Ia mencengkeram tangan Amara semakin kencang.

"Sepertinya ancamanku tidak benar-benar kamu dengarkan, ya? Kamu coba bermain-main denganku, hah?" kata Arya, mencengkeram lebih keras.

"Ah, Arya, sakit!" kata Amara, meringis.

"Sakit? Jika kau berani macam-macam, aku akan berbuat lebih dari ini, Amara!" kata Arya, menguatkan cengkeramannya.

"Ah!" kata Amara. Air matanya mulai menetes. Salah satu tetes air mata panas itu jatuh tepat di tangan Arya yang mencengkeramnya.

"Tidak bisakah kau cukup diam dan tidak melakukan apa pun? Dan tidak mencampuri atau mengurusi kehidupanku? Tidak bisakah kamu hanya mengurus kehidupanmu sendiri? Apa tidak bisa?!" seru Arya, menyalurkan semua frustrasinya.

"Arya, sakit," ulang Amara, kini air matanya benar-benar menetes karena rasa sakit fisik dan mental yang ditimbulkan Arya.

"Cih," Arya berdecak jijik. Ia kemudian melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Amara terhuyung.

Amara memegangi pergelangan tangannya yang memerah, napasnya terengah-engah.

"Aku tidak main-main dengan ancamanku, Amara. Minggu depan bukankah Kakek akan mengatur jadwal pertemuan bisnis dengan papamu? Dan tepat saat itu, aku akan menghancurkan bisnis papamu itu," kata Arya, suaranya dipenuhi janji pahit.

Amara terkejut dan mendongak, matanya yang berkaca-kaca menatap Arya dengan ngeri. Ancaman itu langsung mengenai titik terlemahnya.

"Tidak! Jangan, Arya, jangan lakukan itu!" kata Amara, memegang tangan Arya.

Namun, Arya menepisnya dengan jijik.

"Arya, aku mohon, jangan libatkan Papa dan bisnisnya dalam masalah ini," pinta Amara, suaranya memohon. Ia rela menanggung rasa sakit apa pun, asalkan ayahnya aman.

"Lalu, jika kau tidak ingin aku menghancurkan Papamu dan bisnisnya, maka turuti setiap perkataanku dan lakukan apa yang aku perintahkan. Tetap diam! Kamu mengerti?" kata Arya, nadanya mutlak.

Amara mengangguk cepat. "Ya, asal kamu berjanji tidak melakukan itu," kata Amara, berusaha mencari kepastian.

"Tergantung bagaimana dengan sikapmu," kata Arya, menolak memberikan janji mutlak. Ia mempertahankan kendali penuh.

Arya kemudian berbalik dan pergi, menuju kamar tamunya, meninggalkan Amara yang terhuyung dan diliputi ketakutan.

Amara berdiri di sana, sendirian, pergelangan tangannya terasa nyeri, tetapi kini, jiwanya lebih sakit. Ia tahu, mulai saat ini, ia harus sepenuhnya tunduk pada sandiwara Arya demi ayahnya. Namun, Amara juga tahu bahwa ia harus menemukan cara lain untuk melindungi dirinya sendiri dan rahasia yang ia buru.

...***...

Amara berjalan terhuyung memasuki kamar utamanya. Ia menyentuh pergelangan tangannya yang memar akibat cengkeraman Arya. Ancaman Arya—menghancurkan bisnis ayahnya—benar-benar memaksanya mundur. Ia tidak bisa mengambil risiko itu.

Dengan tangan gemetar, Amara mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Bayu.

"Halo, Bayu," kata Amara, suaranya lemah.

"Iya, Vanya, ada apa? Apa ada perintah lainnya?" tanya Bayu, terdengar siap bekerja.

"Bayu, kita hentikan penyelidikan untuk sementara sampai aku menyuruhmu untuk melakukannya lagi," kata Amara, napasnya sedikit tertahan.

Ada jeda di seberang telepon. "Apa? Oke, sampai kapan?" tanya Bayu, terkejut dengan perubahan rencana mendadak itu.

"Sampai waktu yang tidak ditentukan. Aku tidak tahu sampai kapan, tapi tepat saat itu aku akan menghubungimu lagi," kata Amara.

"Vanya," panggil Bayu, nadanya berubah menjadi prihatin.

"Ya," jawab Amara.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Bayu.

Amara menelan ludah, berusaha menguatkan suaranya. "Ya, aku baik-baik saja," jawab Amara, meskipun air mata sudah membasahi pipinya.

"Baiklah. Bye. Kabari aku jika kau butuh bantuan," kata Bayu.

"Iya," kata Amara, segera mengakhiri panggilan.

Amara menjatuhkan ponselnya ke ranjang. Ia telah menghentikan satu-satunya senjata yang ia miliki. Kini, ia benar-benar sendirian, dipaksa untuk sepenuhnya tunduk pada kekejaman Arya.

...***...

Amara duduk di tepi ranjang. Ia menghapus air matanya dengan kasar. Menangis tidak akan mengubah apa-apa, dan hanya akan memberikan kepuasan pada Arya jika ia tahu.

Ia kemudian berjalan ke lemari, mengeluarkan pakaian yang lebih formal. Ia harus bersiap. Meskipun ia menghentikan penyelidikan, sandiwara sebagai Nyonya Aldridge yang sempurna harus terus berjalan. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan ayahnya.

Amara berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya. Istri pengantin baru yang baru sehari menikah, tetapi sudah menghadapi pengkhianatan dan ancaman yang menghancurkan.

Aku akan menuruti aturanmu, Arya, batin Amara, wajahnya kembali tanpa ekspresi, tetapi aku akan memastikan kau mendapatkan sandiwara yang paling sempurna, sampai saatnya tiba aku bisa mengalahkanmu.

Di kamar sebelah, Arya tidak tahu Amara telah membatalkan penyelidikan. Yang ia tahu hanyalah ia telah memenangkan konfrontasi itu.

Setelah mendinginkan amarahnya, Arya mengirimkan pesan singkat kepada Amara, tidak lagi melalui telepon, tetapi melalui pesan teks singkat dan perintah.

[ Arya (Pukul 14.00) ] Bersiaplah. Kita harus bertemu dengan Kakek dan Mama. Pukul 16.00. Jangan terlambat.

Amara melihat pesan itu. Sebuah perintah singkat tanpa sapaan.

[ Amara (Pukul 14.01) ] Aku mengerti, Tuan Arya.

Balasan singkat dan formal itu mengejutkan Arya. Amara tidak memprotes, tidak bertanya. Dia hanya patuh.

Arya tersenyum dingin. Gadis itu akhirnya tahu tempatnya.

Arya tidak tahu bahwa kepatuhan Amara yang tiba-tiba itu bukanlah tanda kekalahan, melainkan persiapan untuk permainan kesabaran yang jauh lebih berbahaya.

...***...

Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00. Arya sudah menunggu Amara di ruang tamu apartemen mereka. Ia sudah mengenakan pakaian formal kasual, siap untuk pergi menemui keluarga Aldridge.

Amara menuruni tangga. Ia sudah mengenakan setelan rok formal dengan blus berlengan seperempat yang elegan berwarna taupe—pilihan yang ia yakini sopan dan formal sesuai perannya.

Arya melihat Amara, dan matanya langsung tertuju pada pergelangan tangan Amara yang sedikit memerah. Meskipun lengan blusnya berusaha menutupi, bekas cengkeraman tangannya masih terlihat jika Kakek Umar atau Amelia melihatnya dengan teliti.

"Ganti bajumu," kata Arya, suaranya dingin dan mutlak.

Amara menghentikan langkahnya, menatap Arya dengan bingung. "Ada apa, Arya? Ini sudah formal, kan?"

"Ganti bajumu dengan yang lengannya lebih panjang sehingga menutupi pergelangan tangan," kata Arya, menekankan bagian yang memar itu.

Amara mengerti. Arya tidak ingin siapa pun melihat bukti kekerasan dalam pernikahan mereka. Ini bukan masalah etika berpakaian; ini masalah pengendalian kerusakan.

Amara menatap Arya sejenak, menelan amarahnya. Ia ingat ancaman Arya tentang ayahnya.

"Ya," kata Amara pasrah, tanpa membantah.

Amara segera berbalik dan menaiki tangga kembali ke kamar utama. Kepatuhan total Amara ini mengejutkan Arya. Amara yang biasanya melawan kini benar-benar tunduk pada setiap permintaannya, sekecil apa pun.

Beberapa menit kemudian, Amara kembali menuruni tangga. Kali ini, ia mengenakan jumpsuit elegan berwarna biru tua, dengan lengan panjang yang menutupi seluruh lengannya hingga pergelangan tangan. Amara tampak sempurna dan tidak meninggalkan celah sedikit pun.

"Sudah selesai," kata Amara, kembali menampilkan topeng Nyonya Aldridge yang tenang.

Arya mengangguk, puas. "Ayo. Jangan buang waktu lagi."

Mereka berdua berjalan keluar, menuju mobil Arya. Di dalam mobil, keheningan terasa berbeda. Amara tidak memprotes, tidak merengek. Ia hanya menjalankan perannya, tetapi kepatuhannya yang dingin membuat Arya merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang direncanakan di balik ketenangannya.

Dia terlalu tenang, pikir Arya, tangannya mencengkeram kemudi. Aku harus mengawasinya lebih ketat.

...***...

Di dalam mobil mewah Arya, keheningan tebal menyelimuti mereka saat Arya mengemudi menuju Kediaman Aldridge. Amara duduk di kursi penumpang, bersandar pada jendela, dengan lengan yang tertutup rapi oleh blazer elegan.

Amara menatap pergelangan tangannya yang terasa nyeri di bawah kain blazer. Ia telah membatalkan penyelidikan, mematikan satu-satunya harapannya untuk mendapatkan kendali. Ia dipaksa untuk memilih ayahnya di atas harga dirinya.

Ia melihat ke depan, ke arah Arya. Pria itu mengemudi dengan fokus, dingin, dan acuh tak acuh. Dia sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh kekejaman yang baru saja ia lakukan.

Realitas itu menghantam Amara: Ia hanya alat. Alat yang harus patuh agar ayahnya selamat.

Pertahanan emosional Amara goyah. Air mata mulai menetes. Itu bukan tangisan histeris, melainkan tetesan air mata yang sunyi dan pahit, mengalir perlahan di pipinya, tanpa suara.

Ia menangis bukan karena menyerah, melainkan karena kepedihan atas pengorbanan yang harus ia lakukan. Ia menangis karena ia harus membiarkan pria ini memenangkan pertempuran kecil demi melindungi perang yang lebih besar.

Aku tidak bisa melawan secara terbuka. Aku tidak boleh hancur.

Tetesan air mata itu terasa panas dan memalukan. Ini adalah air mata kesepian, air mata dari seorang istri yang terpaksa berbohong demi ayahnya.

Arya, yang sedang fokus di jalan, merasakan gerakan kecil di sebelahnya. Ia melirik Amara melalui ekor matanya dan melihat jejak basah di pipinya.

Arya mendengus pelan, nyaris tak terdengar. Ia salah mengartikan tangisan Amara.

Bagus, pikir Arya, merasa berkuasa. Dia akhirnya patah. Dia akhirnya tahu bahwa ancamanku nyata.

Arya merasa puas karena ia kembali memegang kendali penuh.

...***...

Amara merasakan mobil melambat saat mereka mendekati gerbang Kediaman Aldridge. Ia tahu waktunya tinggal beberapa detik.

Dengan cepat dan senyap, Amara menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengunci kembali emosinya. Ia tidak pasrah pada kekalahan, melainkan berkomitmen pada sandiwara yang telah ia pilih. Ia harus menjadi pemain yang jauh lebih baik daripada Arya.

Ia tidak akan pernah lagi memberikan kepuasan kepada Arya dengan menunjukkan ketidakpatuhan. Ia akan menjadi istri yang sempurna, namun hanya di permukaan, sembari menunggu saat yang tepat untuk menghidupkan kembali perburuannya.

Amara membuka mata. Senyum tipis, dingin, dan dipaksakan kembali terukir di wajahnya. Ia meraih pintu mobil, siap untuk pertunjukan berikutnya. Amara telah mengubah rasa sakitnya menjadi sebuah strategi.

Amara dan Arya berjalan bersama, memasuki pintu besar Kediaman Utama Aldridge. Di mata semua pelayan dan anggota keluarga yang mungkin melihat, mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.

Arya memastikan ia merangkul Amara dengan tangan di punggungnya. Namun, saat mereka melintasi ruang masuk, Arya memandang sekilas pergelangan tangan Amara yang tersembunyi di balik lengan blazer.

Arya kemudian memegang lengan Amara, seolah-olah untuk menunjukkan kemesraan. Ia menekan pelan pergelangan tangan Amara, tepat di titik di mana bekas cengkeramannya berada.

"Ah," desah Amara pelan, terkejut oleh rasa nyeri yang tiba-tiba, tetapi ia berhasil menahan suaranya agar tidak terlalu terdengar.

Arya segera mengendurkan pegangannya, menyadari bahwa ia bisa membahayakan sandiwara mereka jika Amara menunjukkan rasa sakit. Ia segera mengganti aksinya, menarik Amara lebih dekat, menempatkan tangannya di pinggang Amara, tersenyum pada Amelia dan Ethan yang menyambut mereka.

Arya dan Amara menghampiri Kakek Umar, Ethan, dan Amelia yang sudah menunggu di ruang tengah.

"Kalian sudah datang. Baguslah. Mari kita ke ruang kerja," kata Kakek Umar, tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, menunjukkan bahwa kunjungan ini bukan sekadar kunjungan sosial.

Kakek Umar berjalan lebih dulu, sosoknya tua namun penuh otoritas. Ethan berjalan di belakangnya, sementara Arya dan Amara mengikuti, menjaga jarak yang terlihat mesra.

Amelia menghentikan langkahnya sebentar di ruang tengah. Ia memanggil kepala pelayan. "Tolong siapkan minuman dan makanan ringan untuk kami di ruang kerja," perintah Amelia, berusaha menciptakan suasana yang lebih santai.

Di belakang, Arya menyempatkan diri untuk berbisik tajam pada Amara, "Ingat perjanjian kita. Satu kata pun yang salah, dan kau tahu konsekuensinya."

"Aku mengerti, Tuan Arya," balas Amara pelan, tanpa menoleh. Kepatuhannya yang mutlak membuat Arya sedikit gentar, tetapi ia segera mengabaikannya.

Mereka pun masuk ke ruang kerja Kakek Umar. Ruangan itu didominasi oleh perabotan kayu gelap dan rak buku tinggi, tempat di mana keputusan penting Aldridge selalu diambil. Di sana, Amara tahu, peraturan baru pernikahan mereka akan diumumkan.

Bersambung......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!