NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20

Gagang telepon itu terlepas dari genggaman Ahmad Sahroni yang lemas dan jatuh ke lantai dengan suara berdebam pelan, kabelnya yang terpilin bergoyang-goyang.

“Ka-u lu-pa… me-me-rik-sa… ba-yang-an.”

Suara digital itu seolah masih menggantung di udara yang pengap. Bayangan.

Mata Sahroni yang terbelalak liar menyapu setiap sudut gelap di penthouse-nya yang remang-remang. Lukisan mahal di dinding kini tampak seperti portal ke kegelapan. Tirai sutra tebal di ujung ruangan bisa saja menyembunyikan seseorang. Bayangan di bawah tangga spiral menuju lantai dua... apakah itu bergerak?

“Joko... Joko, jawab!” teriaknya ke panel interkom di dinding, suaranya kini pecah karena panik.

Tidak ada jawaban. Hanya desis statis pelan.

Jantungnya berdebar begitu keras hingga terasa sakit di dadanya. Kepanikan yang murni dan primitif kini mengambil alih. Keamanan telah ditembus. Seseorang ada di sini.

Otaknya yang biasanya tajam kini terasa lumpuh. Ia adalah seorang pria yang pernah membungkam parlemen, kini ia bahkan tidak bisa berpikir jernih. Lari. Aku harus lari.

Ia bergegas menuju lift pribadi di dekat pintu masuk. Saat ia menekan tombol panggil, panel itu tidak menyala. Mati. Listrik ke lift telah diputus.

Ia berbalik, bersandar di dinding, napasnya terengah-engah. Ia terperangkap. Terperangkap di istananya sendiri di atas awan.

“Selamat malam, Tuan Sahroni.”

Sahroni membeku.

Suara itu tidak datang dari koridor. Suara itu datang dari belakangnya. Dari tengah ruang tamu.

Perlahan, dengan kengerian yang membuat sendi-sendinya kaku, Sahroni berbalik.

Di sana, duduk dengan tenang di salah satu kursi berlengan kulit Italia yang mahal kursi yang menghadap jendela raksasa, tersembunyi dalam bayangan sesosok pria. Ia tidak bergerak dengan tergesa-gesa. Ia hanya duduk di sana, seolah-olah ia adalah pemilik tempat itu, mengamati Sahroni dengan sabar.

Saat ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, cahaya kota yang remang menyentuhnya. Sosok itu tinggi, mengenakan setelan jas berwarna gelap yang potongannya sempurna. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan, tetapi posturnya memancarkan aura ketenangan yang absolut. Dia tidak terlihat seperti pembunuh. Dia terlihat seperti seorang diplomat, seseorang yang terbiasa berada di ruang-ruang kekuasaan seperti ini.

Dan hal itu, entah kenapa, membuatnya seribu kali lebih menakutkan.

“Siapa kau?” desis Sahroni, punggungnya menekan dinding marmer yang dingin. “Bagaimana kau bisa masuk?”

“Pintumu memang mengesankan,” kata sosok itu. Suaranya. Tenang, dalam, dan berpendidikan. Bukan suara digital. Ini suara manusia sungguhan. “Tapi tim keamananmu terlalu bergantung pada teknologi. Beberapa menit gangguan sinyal pada server CCTV, satu override kode lift... dan bayangan bisa berjalan ke mana saja.”

Sosok itu berdiri. Gerakannya anggun dan penuh dengan tujuan yang mengerikan. Ia melangkah ke tengah ruangan, tepat di antara Sahroni dan pemandangan kota.

“Apa yang kau inginkan?” kata Sahroni, mencoba membuat suaranya terdengar kuat, namun gagal. “Uang? Ambil semuanya! Kartu kredit, cek, ambil apa pun yang kau mau!”

Sosok itu tertawa kecil, suara pelan yang tidak mengandung humor. “Uang?” katanya. “Uang adalah alatmu, bukan alatku. Aku di sini bukan untuk mengambil apa pun, Tuan Sahroni. Sebaliknya, aku di sini untuk memberikan sesuatu padamu. Sebuah penutupan.”

Ia melangkah perlahan ke arah meja kopi, ke arah kotak kayu yang masih terbuka. Ia menunjuk pasir dan koin perak di dalamnya.

“Kita mulai dari sini, mungkin?” ujarnya. “Sebuah transaksi kecil di sebuah vila di tepi pantai, dua puluh tahun yang lalu. Kau ingat pasirnya? Dan tentu saja, kau ingat koin-koin peraknya.”

Pikiran Sahroni terlempar kembali ke masa itu. Bau asin laut, suara ombak, wajah kontraktor tua yang berkeringat.

“Pasir itu,” lanjut sang penyusup, suaranya mengambil irama seorang penceramah, “adalah representasi dari tanah dan mata pencaharian yang kau rampas dari ratusan keluarga nelayan. Dan koin perak itu… adalah harga yang kau bayarkan untuk menenggelamkan masa depan mereka demi membangun fondasi kekuasaanmu. Kau menyebutnya ‘pembangunan’. Tuhan menyebutnya ‘pencurian’.”

Setiap kata adalah sebuah pukulan. Sosok ini tidak hanya tahu; ia memahami. Ia berbicara seolah-olah ia berada di sana.

“Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!” dusta Sahroni, sebuah refleks terakhir dari seorang politisi yang terpojok.

“Benarkah?” balas sosok itu. “Kalau begitu, mari kita segarkan ingatanmu dengan nama lain.”

Ia berhenti, membiarkan keheningan mengisi ruangan.

“Bintoro.”

Jika tuduhan pertama adalah sebuah pukulan, nama itu adalah sebuah tusukan pisau. Sahroni terhuyung mundur, seolah benar-benar ditusuk. Wajah Bintoro yang kebapakan, pria yang telah mengangkatnya, pria yang ia panggil “Bapak”, muncul di benaknya.

Tidak. Jangan.

Pikiran Sahroni hancur, terlempar kembali ke masa itu. Ia tidak lagi di penthouse-nya. Ia berada di ruang kerja Bintoro yang berbau tembakau pipa dan buku-buku tua. Ia merasakan pelukan hangat Bintoro di hari pelantikannya. “Kau seperti putraku sendiri, Ron,” kata Bintoro, matanya berbinar bangga. “Teruskan visi ini.”

Lalu, adegan itu bergeser. Malam hari. Ruangan yang sama, tapi kini kosong. Hanya Sahroni muda yang ada di sana. Tangannya yang gemetar membuka laci meja Bintoro. Ia mengambil setumpuk dokumen. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi karena sensasi kekuasaan yang memabukkan. Ia tahu dokumen-dokumen ini, jika diberikan ke lawan politik Bintoro, akan menghancurkan mentornya dan membuka jalan bagi dirinya.

Pengkhianatan.

Ia kembali ke masa kini, terengah-engah, bersandar pada jendela kaca yang dingin.

“Dia memercayaimu,” lanjut Sang Hakim, seolah baru saja selesai membaca pikiran Sahroni. “Dan bagaimana kau membalasnya? Kau memberinya kesetiaan palsu di depan wajahnya, sementara di belakang punggungnya, kau merekayasa kejatuhannya. Kau serahkan dia kepada serigala-serigala, lalu kau ambil kursinya saat ia jatuh.”

Air mata panas mulai mengalir di pipi Sahroni. Bukan air mata buaya di depan kamera, tetapi air mata yang nyata. Air mata dari rasa bersalah yang telah ia kubur di bawah tumpukan kekayaan.

“Kau tidak hanya mencuri posisinya,” kata Sang Hakim, suaranya kini terdengar begitu dekat. “Kau mencuri hidupnya. Enam bulan setelah vonisnya, ia meninggal karena serangan jantung di dalam selnya. Serangan jantung yang disebabkan oleh patah hati. Dan kau... kau menghadiri pemakamannya, memberikan pidato yang indah tentang ‘kehilangan seorang pahlawan bangsa’.”

Semua benteng yang telah ia bangun puluhan tahun kini runtuh. Di hadapan penuduhnya yang maha tahu ini, ia telanjang.

“Kenapa…?” bisik Sahroni. “Kenapa kau melakukan ini?”

Sosok itu akhirnya berhenti tepat di hadapannya. Untuk pertama kalinya, Sahroni bisa melihat matanya di dalam bayangan. Mata itu tidak menunjukkan kemarahan. Mata itu hanya menunjukkan kepastian yang absolut, seperti mata seorang dokter bedah yang akan melakukan amputasi yang diperlukan.

“Karena kau adalah sebuah kebohongan,” jawab Sang Hakim. “Kau membangun sebuah katedral kemegahan di atas fondasi dosa, Ahmad Sahroni. Kau berkhotbah tentang reformasi, tapi kau tidak pernah bertobat. Kau hanya mengganti satu jenis kejahatan dengan jenis kejahatan lain yang lebih canggih. Penebusanmu adalah sebuah penipuan. Sebuah mahakarya pencitraan.”

Penebusan palsu.

Kata-kata itu menggema. Sahroni ingat berita tentang Lukas Santoso. Riana Wulandari. Ia ingat peringatan polisi itu.

Dia bukan di sini untuk memeras.

Ya Tuhan. Aku adalah korban ketiga.

“Upah dosa adalah maut,” lanjut Sang Hakim. “Dan penebusan palsu… harus dikoreksi.”

Dari dalam jasnya yang rapi, sosok itu mengeluarkan sesuatu. Bukan pistol. Benda itu kecil, berkilauan tertimpa cahaya kota. Sebuah instrumen logam yang ramping dan elegan.

Sebuah skalpel bedah.

Sahroni menatap benda itu. Sisa kekuatannya lenyap. Kaki-kakinya lemas. Ia merosot ke lantai, terduduk di depan penuduhnya. Sang politisi perkasa, sang orator ulung, kini tak lebih dari seorang pria tua yang ketakutan, menangis tanpa suara di atas lantai marmernya yang dingin.

Sang Hakim berdiri menjulang di atasnya, siluetnya menutupi cahaya kota.

“Ini bukan hukuman, Tuan Sahroni,” katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan seorang pendeta. “Ini adalah sakramen.”

Ia mengambil satu langkah ke depan.

Sahroni memejamkan matanya, tidak lagi mencoba untuk lari. Ia bisa merasakan dinginnya marmer Italia di bawah tubuhnya. Ia hanya melihat wajah-wajah dari masa lalunya: para nelayan, Bintoro, dan lusinan lainnya yang telah ia korbankan.

Khotbah terakhir di ketinggian itu telah selesai. Dan kini, saatnya untuk persembahan.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!