Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Tak Tenang
Kedatangan Selene meninggalkan luka Orion kembali terbuka. Kenangan saat dia di tinggalkan kembali bermunculan. Menyisakan sesak di dalam dadanya.
Orion duduk diam di kursi rodanya, kamarnya kembali gelap tanpa ada cahaya. Hanya sinar dari TV tanpa suara yang terlihat di kamarnya.
Beberapa menit kemudian, Damian masuk dengan langkah cepat.
“Orion, aku dengar Selene datang ke sini. Apa benar?”
Tidak ada jawaban. Orion hanya memutar kursinya perlahan, menatap Damian dengan pandangan kosong.
“Dia sudah pergi,” jawabnya datar. “Kamu nggak perlu cemas.”
Damian menatapnya lama, napasnya berat. “Aku minta maaf, seharusnya aku bisa menahannya. Aku benar-benar tidak tau kalau dia itu mantan pacarmu.”
“Aku tahu, Dok.” Suara Orion terdengar tenang tapi tajam.
“Dia datang karena ingin memastikan aku masih hancur. Dan sekarang dia sudah tahu jawabannya.”
Damian terdiam. Di wajah Orion, tak ada emosi. Tapi di balik itu, matanya tampak lelah dan kosong.
“Kalau kamu butuh tenang, aku bisa minta Luna untuk tidak datang dulu beberapa hari ini,” kata Damian hati-hati.
“Tidak,” potong Orion cepat.
“Kalau dia nggak datang, ruangan ini akan kembali mati.”
Damian hanya mengangguk kecil, kemudian meninggalkan ruangan dengan perasaan tak nyaman.
Sejak kejadian siang tadi, Luna kembali pulang ke rumah. Dia berinisiatif untuk membuatkan makanan kesukaan Orion. Sejak siang tadi ponselnya sibuk mencari artikel yang membicarakan hal itu. Akhirnya dia menemukan, jika Orion suka sup merah buatan ibunya.
Sudah hampir empat jam Luna bergerak di dapur, akhirnya sup merah buatannya jadi. Hanya saja kali ini dia memakai resep yang pernah mamanya ajarkan.
"Aaahh.. Akhirnya jadi, semoga dia suka."
Halaman belakang rumah sakit sudah sangat sepi, gerimis mulai kembali turun. Luna mempercepat langkah kakinya, untungnya sebelum hujan turun sepenuhnya. Dia sudah sampai di pintu belakang.
Rumah sakit sudah sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan. Beberapa hari terakhir rumah sakit sedang sepi pasien.
Di dalam kamar Orion membaringkan tubuhnya di kasur. Dia menatap kosong layar TV yang masih menyala tanpa suara. Sudah hampir dua jam sejak ia memejamkan mata, tapi tubuhnya tetap tegang.
Dadanya terasa berat dan tiba-tiba rasa nyeri menusuk di bagian kaki kirinya. Refleks, tangannya menggenggam sandaran kasur.
Urat di lehernya menegang. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis.
Rasa sakit itu datang tiba-tiba, seperti bara yang menyala di dalam tulangnya. Dia mencoba menahan napas, menekuk tubuhnya ke depan sedikit, tapi nyeri itu makin kuat.
Tidak ada teriakan.
Tidak ada suara.
Hanya desahan pelan dan tubuh yang gemetar.
Di luar, langkah kaki terdengar pelan. Luna baru saja kembali ke rumah sakit membawa kotak makanan yang baru dia siapkan khusus untuk Orion.
Ia berhenti di depan pintu, mengetuk pelan.
“Rion? Aku bawa makan malam. Kamu udah tidur belum?”
Tidak ada jawaban.
Luna mengernyit, lalu membuka pintu perlahan.
Begitu masuk, pandangannya langsung membeku. Meskipun hanya ada cahaya dari TV.
Luna bisa melihat jelas,Orion terbaring di kasur, tubuhnya mengeliat, napasnya tersengal pelan. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi pelipis dan lehernya.
“Orion!” Luna berlari mendekat. “Kamu kenapa?!”
Pria itu berusaha bicara, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Kakiku…”
Luna membuka selimut memegangi kakinya yang tampak kaku. Rasa hangat air mata naik begitu melihat bagaimana Orion menahan sakit tanpa suara.
“Kenapa kamu nggak panggil perawat, hah?!” pekik Luna.
“…Aku bisa sendiri,” jawabnya lirih, dengan wajah menahan nyeri.
“Tidak, kamu nggak bisa begini!” Luna panik, tangannya gemetar.
Dia buru-buru menekan bel darurat di sisi tempat tidur. Tapi matanya tidak lepas dari wajah Orion.
“Lihat aku, Rion. Lihat aku!” katanya pelan tapi tegas. Tanpa sadar air mata menetes begitu saja dari matanya.
Orion menatapnya sekilas mata itu memerah karena menahan rasa sakit, tapi di baliknya ada semacam kelegaan kecil.
“Kenapa kamu nangis…” suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.
Luna terisak kecil. “Karena kamu keras kepala.”
Perawat masuk dengan cepat, diikuti Damian yang berlari beberapa detik kemudian.
Seketika ruangan itu dipenuhi aktivitas alat tekanan darah, suntikan, kompres, dan suara instruksi dari Damian.
Luna berdiri di sisi ranjang, tidak beranjak. Tangannya tetap menggenggam tangan Orion yang dingin.
“Tenang, Rion. Tarik napas, ya.” Damian menatap sekilas ke arah Luna, sedikit kaget melihat air mata di wajah gadis itu.
Setelah beberapa menit, keadaan sedikit mereda.
Obat penghilang nyeri sudah bekerja, dan napas Orion mulai tenang. Damian menghela napas, menepuk bahu Luna pelan. “Terimakasih Luna, Kalau kamu nggak datang, mungkin keadaannya lebih buruk.”
Luna menunduk, suaranya parau. “Dia keras kepala, Kak.”
Damian tersenyum lelah. “Iya. Tapi dia beruntung kamu datang.”
Beberapa jam berlalu. Luna masih duduk di sisi tempat tidur, menjaga Orion yang kini tertidur.
Lampu kamar diredupkan, dan suara mesin infus menjadi satu-satunya hal yang terdengar.
Ia menatap wajah Orion dalam diam,wajah itu jauh lebih tenang saat tidur, tapi tetap terlihat rapuh. Tangan Luna bergerak pelan, menyapu keringat di dahi Orion dengan tisu.
“Kenapa kamu harus menanggung semuanya sendirian…” bisiknya pelan.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Dia memegang tangan Orion, menggenggamnya pelan.
“Aku nggak tahu kalau ini akan semenyakitkan itu. Kamu harus pulih,aku janji, aku nggak akan pergi sampai kamu baik-baik saja."
Orion, yang masih dalam setengah sadar karena efek obat, sedikit menggerakkan jari-jarinya.
Suara pelan keluar dari bibirnya, nyaris seperti gumaman dalam mimpi.
“Jangan pergi, Luna…”
Luna membeku, menatap wajahnya tak percaya.
Senyum tipis muncul di wajahnya di antara air mata.
“Aku nggak akan ke mana-mana, Rion,” bisiknya lembut.
“Malam ini, aku di sini.”