Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.
Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.
Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.
Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Istri Musuhku Tawanan Istimewa ku
Elara berdiri tegak, meski tubuhnya kecil dan rapuh di balik jeruji besi itu. Raut wajahnya berusaha tenang, menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam—identitas dan rahasia yang tak boleh terbongkar. Jemarinya meremas batang besi, dingin menempel pada kulitnya, namun tatapannya tajam menembus sosok tinggi yang kini berdiri di hadapannya.
“Apa yang kau ketahui, Pangeran Zevh Obscura?” suara Elara terdengar lantang, meski nadanya bergetar. Tantangan yang ia lontarkan seperti menampar dirinya sendiri, karena di balik keberaniannya, rasa takut menggumpal.
Mata Zevh menyala—cahaya merah dari Elysight-nya berpendar, menyorot ke arahnya dengan aura menekan. Langkahnya berat, namun pasti, seakan ada medan magnet yang menarik sekaligus menolak keduanya. Zevh mendekat, auranya membuat udara seolah lebih padat.
“Kau putri bangsawan Elowen. Calon istri dari musuhku.”
Gulungan perkamen terbuka di tangannya. Wajah Elara, rambut emasnya, sorot matanya yang berani, dan senyum samar di bibirnya terlukis jelas di atas kertas itu. Bukti yang tak bisa terbantahkan.
Elara menahan napasnya. Jemarinya bergerak cepat, menepis gulungan itu. “Hemh.” Ia mendengus, berusaha menutupi kegelisahannya. “Kau sudah tahu. Lalu apa yang akan kau lakukan, Pangeran Zevh Obscura?”
Dengan anggun, ia mundur dua langkah. Tubuhnya jatuh di bangku kayu kokoh yang dirantai ke dinding batu. Tatapannya menantang. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Sorot mata Zevh berubah dingin. “Karena aku membenci orang sepertimu. Hidupmu hanya untuk dirimu sendiri, penuh egoisme. Dan semua keegoisanmu itu—telah menjerumuskan Osca, melukai rakyatku.”
Jemari Elara meremas dress yang ia kenakan, amarahnya menekan di balik senyum tenang. “Aku tidak egois,” sahutnya dengan tajam, mengangkat dagunya.
Zevh mendekat, tangannya menghantam jeruji besi keras-keras hingga bunyinya menggema. “Bagus. Kau berani melawanku.”
Elara tak mundur. Meski suaranya bergetar di ujung kalimat, ia menatap lurus. “Walau aku dianggap membuat kekacauan di Osca, aku punya caraku sendiri untuk menyelesaikannya.”
“Kau ketakutan, Elara,” Zevh mendesis. “Kau tidak akan pernah menemukan jalan keluar dari masalahmu. Biar aku yang menyelesaikannya. Rakyat kecilku yang malang, pantas mendapatkan lebih baik.”
“Mau apa kau?” Elara menahan napas, saat langkah Zevh kian dekat dengan jeruji.
“Membuka mulutmu yang penuh kebusukan.” Nada jijik keluar dari bibir Zevh, membuat Elara menutup rapat mulutnya, menahan hinaan itu.
Zevh menatapnya lama, sebelum berbalik. “Kau tidak akan pernah jadi milik Arons. Kau adalah tawananku. Zevh Obscura.” Langkahnya mulai menjauh. “Tawanan istimewa panglima.”
Elara menatap punggung kekar Zevh yang menjauh. Jemarinya mengepal, amarah bercampur dengan sesuatu yang lain—takut, sekaligus tekad.
Lalu kilasan itu datang. Sungai Oxair. Gelombang air hitam mengamuk, menghancurkan desa Osca dan empat wilayah. Gambaran itu menghantam pikirannya, dan ia tahu Zevh juga melihatnya, karena langkah sang panglima berhenti.
Zevh menoleh, matanya berkilat. “Sungai Oxair menagih darah. Darah akan menjadi jalannya.”
Tubuh Elara gemetar. Ia berdiri, dresnya diremas dalam genggaman. Cahaya samar dari simbol di bahunya menyemburat, seolah menegaskan ikatan yang lebih besar dari keduanya.
Zevh menatap cahaya itu sebentar, lalu berbalik lagi, meninggalkan lorong gelap. Kata-katanya tertinggal, membekas dalam pikiran Elara.
"Oxair akan menagih. Dan darah akan menjadi jalannya."
Elara melangkah mendekat, menggenggam besi jeruji yang tadi digenggam Zevh. Masih hangat. Matanya bergetar.
Apa yang akan dia lakukan? Dan apa yang harus aku lakukan… untuk melindungi Osca, dari panglima kejam itu sendiri?
Lorong kembali sunyi, hanya menyisakan jejak dingin dari kepergian Zevh.
---
Lorong batu yang dingin akhirnya terputus, dan langkah kaki Zevh terhenti di halaman benteng yang masih diselimuti kabut fajar. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin, namun dadanya terasa berat—bukan oleh perang atau keputusan, melainkan oleh sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Sorot matanya menajam ke arah cakrawala timur. Bayangan itu kembali menghantam ingatannya. Sungai Oxair—gelombang hitamnya meluluh-lantakkan wilayah utara, barat, selatan, hingga timur. Empat wilayah yang berada di bawah kekuasaan Obscura, satu demi satu ditelan air, tanah berguncang, dan jerit rakyat menggema di telinganya.
Zevh menggenggam gagang pedangnya erat. “Apa ini?” desisnya. “Apakah mimpi… atau peringatan?”
Napasnya memburu. Selama hidupnya, Zevh tak pernah keliru membaca medan perang, tak pernah gentar menghadapi musuh, tapi kali ini hatinya bergetar—seperti seorang prajurit muda yang kehilangan arah.
Penglihatannya bukan sekadar mimpi. Ia merasakan dinginnya air, derasnya arus, dan bau tanah basah yang hanyut bersama darah. Ia bahkan bisa mendengar jeritan rakyatnya sendiri—jeritan yang biasanya hanya muncul setelah perang, bukan dalam bayangan aneh seperti ini.
“Aku panglima yang memerintah dengan pedang,” gumamnya lirih. “Tapi apa artinya semua ini… jika air mampu menelan besi dan darah sekaligus?”
Dadanya bergemuruh. Ada sesuatu, atau seseorang, yang mengendalikan Oxair. Namun siapa? Tidak mungkin manusia biasa. Tidak mungkin sekadar kutukan.
Dan—yang membuat Zevh lebih murka—penglihatan itu muncul bersamaan dengan cahaya simbol di bahu Elara. Seakan-akan gadis itu adalah kunci. Seakan-akan kehadirannya bukan kebetulan.
“Gadis itu…” desis Zevh, matanya menyala merah di balik bayangan kabut. “Dia lebih dari sekadar tawanan. Lebih dari sekadar calon istri musuhku.”
Jemarinya mengepal. Ia merasa seperti berada di tengah pertempuran yang tak bisa ditebak arahnya. Elara menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang bahkan mungkin lebih berbahaya dari pedang Arons.
Namun satu hal yang membuatnya resah: penglihatan itu tidak hanya tentang Osca, tapi tentang seluruh wilayah Obscura. Termasuk istana Zevh sendiri.
“Aku tak boleh goyah,” gumamnya, tapi suaranya terdengar ragu.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zevh Obscura merasakan sesuatu yang tak bisa ia kontrol. Bukan musuh, bukan pasukan, bukan politik kerajaan—melainkan air yang menelan segalanya, dan seorang gadis tawanan yang matanya seolah menyimpan jawaban.
Ia berdiri lama di atas benteng, menatap jauh ke arah Sungai Oxair yang samar-samar terlihat di kejauhan. Air itu mengalir tenang pagi ini, seakan tak pernah menunjukkan wajah buas yang tadi ia lihat.
Namun di dalam hati Zevh, keresahan itu terus bergema.
Jika sungai menagih darah… siapa yang akan menebusnya? Aku, atau dia?
“Zevh.”
Suara Veron memanggilnya, menembus angin pagi yang mengibaskan jubah hitam di punggung panglima itu.
Zevh menoleh perlahan, wajahnya kembali keras—tak menunjukkan keresahan batin yang baru saja menggerogoti dirinya. Cahaya matahari yang menanjak dari ufuk timur memantul pada sorot matanya yang merah Elysight.
“Aku membawa kabar,” ucap Veron, suaranya tegas namun ada kegelisahan tersembunyi. “Orang-orang Arons menyelundupkan bahan pangan lewat jalur Sungai Oxair. Beberapa menteri kita diancam, agar meloloskan suplai dari Utara seperti biasa. Jika ini terus berlanjut, Arons akan menguasai jalur pasokan rakyatmu dari Timur ke Barat.”
Mata Zevh menajam, rahangnya mengeras.
“Lindungi semua rakyatku. Beri pengawalan pada para menteri,” ucapnya dingin. “Tekan terus tindakan Arons. Jangan beri celah sedikitpun untuknya.”
Seorang ajudan berbisik cepat di telinga Veron. Veron menunduk mendengar laporan, lalu mengangguk dan mendekati Zevh lebih dekat.
“Zevh,” suaranya kini lebih rendah, “prajuritku melihat sesuatu di Sungai Oxair. Pusaran air… kecil, memang, tidak membahayakan. Tapi… anehnya, aliran sungai di sekitarnya mengering. Seolah air ditarik entah ke mana.”
Zevh menatap tajam. “Apa kau juga melihatnya?”
Veron terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia memberi isyarat pada tiga prajuritnya untuk mundur, menyisakan hanya dirinya dan Zevh di atas benteng tinggi itu.
“Aku melihat lebih dari sekadar pusaran,” lanjut Veron. “Saat menatapnya… aku seperti melihat air itu menghantam bentengku di Barat. Kerajaanku runtuh oleh gelombang.” Napas Veron memburu. “Apa itu, Zevh? Kenapa aku melihat masa depan hancurnya wilayahku oleh air?”
Zevh mengatupkan mulutnya rapat, dadanya mengeras. Jadi bukan hanya aku yang melihatnya. Gumamnya dalam hati.
Veron menatap lurus, sorotnya penuh keheranan sekaligus ketakutan yang jarang ia tunjukkan. “Apakah… sungai itu benar-benar menagih darah? Seperti mitos yang diwariskan? Saat keturunan Penjaga Sungai terancam, Oxair akan bangkit menagih tumbal?”
Zevh menarik napas dalam, lalu menjawab dengan nada datar, seolah menenangkan. “Itu hanya mitos, Veron. Jangan biarkan khayalan menakut-nakuti kita. Fokuslah pada rakyatmu, dan jalankan semua rencana kita. Arons adalah ancaman nyata, bukan cerita dongeng.”
Ia menoleh pada sahabatnya, menambahkan, “Cuaca akhir-akhir ini memang tidak stabil. Tanah sering berguncang, hujan tak menentu. Mungkin pusaran itu hanyalah gejala alam.”
Veron menghela napas berat, lalu mengangguk. “Mungkin kau benar.”
Namun, saat Veron berbalik untuk menuruni benteng, sorot mata Zevh tetap terpaku pada garis sungai di kejauhan. Tenang, berkilau diterpa matahari, seakan tak pernah menyimpan rahasia.
Padahal, di dalam hatinya, Zevh tahu satu hal: ini bukan sekadar mitos. Karena penglihatannya… kini juga dialami Veron.
Dan setiap kali ia mengingat cahaya simbol di bahu Elara yang menyala bersamaan dengan penglihatan itu, keresahannya semakin menjadi.
Oxair menagih darah… dan aku harus tahu siapa yang dipilih sungai itu.