Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Kamar 82
Sementara Amara memulai misinya, Arya tidak kembali ke apartemen mereka. Tujuannya sudah jelas begitu ia meninggalkan Amara di pinggir jalan.
Arya mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah kompleks apartemen mewah di sisi lain kota—apartemen Olivia. Dia tahu dia tidak bisa tidur sendirian di ranjang besar itu setelah semua ketegangan yang ia alami, terutama setelah pertarungan kata-kata dengan Amara.
Beberapa saat kemudian, Arya tiba di apartemen Olivia.
Arya langsung masuk setelah Olivia membuka pintu. Ia memeluk Olivia erat-erat, mencari penghiburan dan konfirmasi bahwa ia masih memegang kendali atas hidupnya.
"Aku merindukanmu," bisik Arya di rambut Olivia.
"Aku tahu, Sayang. Pasti sulit berpura-pura di depan mereka, apalagi di depan Kakek Umar," balas Olivia, menciumnya lembut, penuh kepuasan.
Arya melepaskan pelukannya dan berjalan ke jendela, matanya gelisah.
"Aku meninggalkan Amara di tengah jalan," aku Arya, suaranya sedikit tegang.
Olivia tertawa kecil. "Bagus. Itu tempatnya. Jangan biarkan dia berpikir dia bisa mengancammu."
"Tapi dia sendirian. Jika Kakek tahu—"
"Jangan khawatirkan pelayan kecil itu," potong Olivia, berjalan mendekat dan memeluk Arya dari belakang. "Dia akan naik taksi, atau menghubungi ayahnya. Dia tidak akan berani membuat keributan yang melibatkan pers. Lagipula, dia tidak punya pilihan selain kembali. Lupakan dia, Arya. Kau di sini sekarang. Bersamaku."
Olivia membalikkan tubuh Arya dan menciumnya. Arya membalas ciuman itu, berusaha menenggelamkan rasa bersalahnya dan rasa takut akan Kakek Umar di dalam pelukan Olivia.
Namun, di balik gairah yang terlarang itu, pikiran Arya tetap gelisah. Dia telah meninggalkan istrinya, dan ia tidak tahu kapan Amara akan kembali, atau dengan rencana apa.
Arya tidak tahu, pada saat itu, Amara tidak akan kembali. Amara sedang duduk di sebuah kafe, menyusun rencana untuk menghancurkan hubungan terlarang mereka.
Amara tiba di kafe yang ramai namun tenang itu. Matanya segera menangkap sosok Bayu yang duduk di sudut, di balik meja yang remang-remang, dikelilingi oleh layar laptop dan beberapa file.
Bayu adalah seorang private investigator yang andal, teman lama Amara, yang pernah membantunya dalam beberapa urusan bisnis rahasia Wijaya. Ia adalah satu-satunya orang yang Amara percaya di luar lingkaran keluarganya.
"Bayu," sapa Amara, suaranya pelan.
"Vanya," balas Bayu, segera berdiri dan menarik kursi untuk Amara. "Kau tampak... luar biasa untuk pengantin baru yang baru saja ditinggalkan di pinggir jalan."
Amara duduk, meletakkan tas tangannya dengan hati-hati. "Sandiwara harus berlanjut, Bayu. Apalagi di depan musuh."
Seorang pelayan datang, dan Amara memesan kopi hitam. Setelah pelayan pergi, Amara langsung ke inti masalah, tanpa basa-basi.
"Aku butuh informasi yang sangat spesifik, Bayu. Aku yakin ada orang ketiga yang terlibat di malam pernikahan itu. Arya tidak meniduriku, dan dia sangat mati-matian mendorongku keluar dari kamar kami," jelas Amara.
"Baik. Detail hotel apa yang kau curigai?" tanya Bayu, mengeluarkan tablet-nya.
"Hotel tempat resepsi diadakan. Aku butuh akses ke catatan tamu mereka, catatan kamar yang disewa atas nama pribadi, terutama yang berhubungan dengan Arya. Aku curiga ada kamar tambahan yang disewa di lantai yang sama atau di dekat kamar pengantin kami," jelas Amara.
"Itu sulit, Vanya. Hotel itu pasti memiliki keamanan data tingkat tinggi, apalagi karena Aldridge yang menggunakannya," kata Bayu, alisnya terangkat.
"Aku tahu," Amara mengangguk. "Itulah mengapa aku membayar mahal. Aku butuh tahu persis siapa yang dikunjungi Arya, atau siapa yang mengunjunginya. Wanita itu meninggalkan jejak. Aku mencium aroma parfumnya. Parfum yang sangat mewah," kata Amara, wajahnya mengeras karena mengingat penghinaan itu.
Bayu melihat ketegasan di mata Amara. Ia tahu Amara tidak sedang bermain-main.
"Aku mengerti. Jadi, tujuan utama: identitas wanita di malam pernikahan Arya Aldridge. Aku akan mulai dengan meretas sistem pemesanan dan keamanan hotel. Butuh waktu, tapi aku akan memberimu hasilnya secepat mungkin. Aku akan kirimkan file pertama besok pagi," janji Bayu.
"Terima kasih, Bayu," kata Amara, merasakan sedikit kelegaan karena akhirnya ia bertindak.
"Dan kau sendiri? Di mana kau menginap malam ini? Apartemen itu pasti jauh dari sini," tanya Bayu.
Amara tersenyum pahit. "Aku akan mengurus diriku sendiri. Aku perlu waktu untuk merencanakan langkah selanjutnya. Setelah apa yang Arya lakukan padaku di jalan tadi, aku tidak akan kembali ke apartemen itu sebagai 'istri yang diusir.' Aku akan kembali sebagai 'pemain' yang sudah memiliki kartu di tangan."
Amara meneguk kopi hitamnya yang pahit, siap menghadapi permainan yang baru ia mulai dengan suaminya.
...***...
Setelah menyelesaikan pertemuan dengan Bayu di kafe, Amara merasa lebih tenang. Ia telah menyerahkan beban investigasi kepada profesional dan kini siap menghadapi Arya. Amara memesan taksi online dan menuju apartemen mereka di Kemang.
Sekitar pukul 12 malam, Amara tiba di penthouse. Ia memasukkan kode keamanan dan mendorong pintu.
Begitu masuk, Amara disambut oleh kesunyian total dan kegelapan. Tidak ada lampu yang menyala, dan tidak ada suara sedikit pun.
Ia mengira Arya pasti sudah kembali dari meninggalkannya. Namun, apartemen itu terasa sepi, sunyi, dan gelap, sama seperti saat ia meninggalkannya beberapa jam lalu.
"Dia tidak pulang? Lalu ke mana?" gumam Amara pada dirinya sendiri.
Amara berjalan masuk dan menyalakan lampu ruang tamu. Ia melihat kunci mobil Arya tidak ada di tempatnya. Ia memeriksa kamar tamu tempat Arya mengasingkan diri, tetapi koper Arya sudah tidak ada di sana.
Dia tidak kembali ke sini. Setelah meninggalkanku di jalan, dia malah menghabiskan malam dengan wanita itu, pikir Amara, hatinya terasa perih, namun rasa sakit itu segera diubah menjadi bahan bakar untuk amarahnya.
Amara kemudian berjalan masuk ke kamar utama—kamar yang kini menjadi miliknya. Ia segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri dari sisa kelelahan hari yang penuh drama dan penghinaan.
Setelah mandi, Amara keluar hanya dengan mengenakan jubah tidur sutra. Ia duduk di tepi ranjang besar dan mengambil ponselnya.
Ia melihat ada pesan singkat dari Bayu.
[ Bayu ] Vanya, aku butuh setidaknya 6 jam untuk data hotel. Istirahatlah. Kau butuh energi untuk pertarungan ini.
Amara tersenyum tipis. Ia tahu Bayu akan menepati janjinya.
Ia membaringkan tubuhnya di ranjang mewah itu. Matanya menatap ke langit-langit yang gelap.
Amara kini memikirkan langkah selanjutnya. Arya pasti akan kembali pagi hari, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, atau berpura-pura marah.
Aku tidak akan memberinya kepuasan itu, putus Amara. Jika dia ingin aku menjadi Nyonya Aldridge yang sempurna, maka aku akan menjadi Nyonya Aldridge yang mengendalikan rumah ini.
Amara meraih ponselnya lagi dan membuka daftar kontak Kakek Umar. Ia ragu sejenak, lalu memutuskan untuk tidak menghubungi Kakek Umar saat ini. Ia akan menunggu data Bayu.
Namun, ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arya. Bukan pesan marah atau bertanya.
[ Amara] Selamat Malam, Tuan Arya. Aku sudah membereskan kamar sebelah untuk barang-barangmu. Aku juga sudah meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan untukmu pukul 7 pagi. Aku harap kau datang tepat waktu. Kita harus menjaga penampilan, bukan?
Amara meletakkan ponselnya. Pesan itu menunjukkan tiga hal:
* Dia sudah di rumah.
* Dia tahu Arya menginap di luar, tetapi dia tidak peduli.
* Dia mengatur jadwal dan mengambil kendali atas sandiwara mereka.
Kini, Amara menutup mata, membiarkan tubuhnya beristirahat. Dia tidak peduli di mana Arya berada, yang dia pedulikan hanyalah bukti yang akan ia terima di pagi hari.
...***...
Keesokan harinya, matahari pagi menyusup melalui celah gorden di kamar apartemen Olivia, menerangi ruangan yang berantakan.
Arya terbangun. Ia membuka mata dan melihat Olivia masih berada di pelukannya, telanjang dan tersenyum dalam tidurnya.
Rasa bersalah yang samar segera ditenggelamkan oleh gelombang hasrat. Arya mencium Olivia di puncak kepala, lalu menggeser dirinya dan mencium bibirnya. Ciuman itu intens, dan bibirnya mulai turun, menyusuri leher Olivia. Jari-jarinya kembali menyusuri tubuh Olivia yang telanjang, memantik api yang baru saja padam beberapa jam lalu.
"Arya..." desah Olivia, terbangun, suaranya serak dan penuh gairah.
Mata Olivia berbinar penuh kemenangan. Arya berada di sini, di pelukannya, di pagi hari setelah pernikahan resminya. Itu adalah konfirmasi mutlak: Dia milikku.
"Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain kamu," bisik Arya di telinga Olivia, suaranya dipenuhi keputusasaan dan hasrat.
Olivia tertawa kecil. "Aku tahu, Sayang. Lupakan istrimu. Hari ini milik kita."
Mereka pun melakukannya lagi, melupakan waktu, melupakan tanggung jawab, dan melupakan wanita yang sedang menunggu di apartemen mewah yang lain—wanita yang kini memegang kendali atas jadwal sarapan pagi Arya.
...***...
Beberapa saat kemudian, napas mereka kembali teratur. Arya berbaring di samping Olivia, merasa puas tetapi gelisah.
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi.
Arya tersentak. Pukul 07.15! Dia sudah terlambat untuk sarapan yang Amara siapkan.
Arya segera membuka ponselnya, dan matanya langsung tertuju pada pesan yang dikirim Amara tadi malam.
Amara (Pukul 00.30): Selamat Malam, Tuan Arya. Aku sudah membereskan kamar sebelah untuk barang-barangmu. Aku juga sudah meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan untukmu pukul 7 pagi. Aku harap kau datang tepat waktu. Kita harus menjaga penampilan, bukan?
Arya mengerutkan kening. Pesan itu tidak marah. Pesan itu adalah perintah. Amara bersikap seolah ia tidak peduli Arya meninggalkannya di jalan dan menginap di luar. Sebaliknya, Amara mengambil kendali atas jadwal pagi mereka.
Wanita itu... dia tidak panik. Dia sedang bermain.
Rasa panik Arya kini bukan lagi karena takut pada Kakek Umar, melainkan karena ia takut pada taktik Amara yang tidak terduga. Jika ia tidak segera kembali, Amara mungkin akan menelepon Amelia atau Kakek Umar, dan sandiwara itu akan runtuh.
Arya segera bangkit dari ranjang, membuat Olivia terkejut.
"Ada apa?" tanya Olivia, cemberut.
"Aku harus pergi. Sekarang," kata Arya sambil meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. "Aku sudah terlambat. Amara—dia membuat jadwal sarapan."
"Biarkan saja! Telepon saja dia dan katakan kau sakit!" protes Olivia, meraih lengannya.
"Tidak bisa. Dia sudah mengambil kendali. Jika aku tidak muncul, dia akan menggunakan ini untuk melawanku. Aku harus menjaga sandiwara ini," kata Arya, wajahnya tegang.
Arya berpakaian cepat. Ia mencium Olivia sekali lagi, janji bahwa ia akan kembali malam nanti, lalu bergegas keluar dari apartemen, meninggalkan Olivia yang kini kembali tersenyum puas—Arya mungkin pergi, tetapi dialah alasan mengapa Arya harus buru-buru.
Arya berlari ke mobilnya, mengemudi dengan kecepatan gila menuju apartemennya, berharap masih ada kesempatan untuk memperbaiki penampilannya sebagai suami yang taat jadwal.
...***...
Beberapa menit kemudian, Arya tiba di penthouse mereka.
Ia membuka pintu dan menutupnya dengan kasar, gema suara bantingan itu memenuhi apartemen yang luas. Arya berjalan masuk dengan tergesa-gesa.
Saat melewati ruang tengah, Amara yang sudah duduk di meja makan melihat kedatangan Arya.
"Kamu kembali," kata Amara dengan suara datar, tanpa sedikit pun nada menyalahkan atau lega.
Arya segera berhenti. Ia berbalik melihat Amara yang menatapnya. Ia melihat Amara sudah duduk rapi di ruang makan, mengenakan pakaian kasual yang elegan, dan menunggunya.
"Aku sudah membuatkanmu sarapan. Ayo kita makan," tambah Amara, seolah pagi yang penuh skandal ini hanyalah pagi biasa bagi pasangan yang sedang jatuh cinta.
Arya berjalan menuju meja makan dan melihat makanan yang sudah Amara siapkan di atas meja: pancake yang tertata rapi dengan buah-buahan dan segelas jus segar. Segalanya terlihat kontras dengan kekacauan mental Arya.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Arya, mengabaikan makanan itu. Suaranya rendah dan tegang, ia yakin Amara sedang merencanakan sesuatu.
"Tidak ada. Ayo kita makan," kata Amara tenang, menunjuk kursinya.
Arya merasa amarah dan rasa bersalahnya menyatu. Ia tidak suka Amara bersikap seolah ia mengendalikan situasi. Arya tidak mau memakan apa pun yang disajikan Amara.
"Heh..." Arya mendengus. Ia kemudian dengan cepat mengambil piring berisi pancake yang sudah Amara siapkan, berjalan menuju dapur, dan membuang semua isinya ke tempat sampah.
Bunyi makanan yang jatuh ke dalam tempat sampah terdengar tajam.
"Aku tidak mau," kata Arya, kembali dengan piring kosong.
Arya kemudian pergi meninggalkan Amara yang masih duduk kaku di kursi. Ia berjalan cepat menuju kamar tidurnya sendiri—kamar yang ia gunakan untuk mengasingkan diri—dan membanting pintu dengan keras.
Amara tersentak oleh suara bantingan pintu itu. Ia tetap duduk di kursinya, menatap tempat sampah di dapur dengan mata nanar. Makanan yang ia siapkan—sarapan pertama mereka di rumah baru—telah dibuang dengan kejam.
Air matanya hampir menetes. Ini bukan tentang makanan; ini tentang penolakan total dan penghinaan yang terus menerus. Namun, ia segera mengambil napas dalam-dalam.
Tidak, Amara. Jangan menangis. Kau tidak boleh memberinya kepuasan itu.
Ia mengingat aroma parfum di kemeja Arya dan ancaman Arya tentang ayahnya. Kekejaman Arya barusan hanya memperkuat tekadnya. Ia tidak lagi menghadapi suami yang dingin, tetapi musuh yang harus ia kalahkan demi melindungi keluarganya.
Amara berdiri, wajahnya kembali mengeras. Ia mengambil sisa makanan di meja dan membereskannya. Ia tidak akan membiarkan kekejaman Arya merusak rencana yang sudah ia susun bersama Bayu.
...***...
Saat Amara selesai membereskan meja, ponselnya berdering pelan. Itu adalah Bayu.
Amara segera mengambil ponselnya dan menuju ruang tamu.
"Halo," bisik Amara.
"Vanya, aku punya sesuatu. Sangat awal, tapi penting. Aku meretas sistem pemesanan kamar hotel," kata Bayu, suaranya serius. "Kamar pengantin kalian adalah Kamar 69. Tepat di lantai yang sama, hanya berjarak beberapa kamar, ada satu kamar lagi yang disewa secara pribadi dan dikosongkan pagi hari. Kamar itu adalah Kamar 82."
Jantung Amara berdegup kencang. Kamar 82.
"Siapa yang menyewa Kamar 82?" tanya Amara, suaranya menahan emosi.
"Tidak disewa atas nama Tuan Arya, atau bahkan nama wanita yang mencurigakan. Disewa atas nama sebuah perusahaan holding kecil yang terdaftar di luar negeri. Namun, aku punya foto keycard log dan rekaman CCTV lorong yang sangat samar, Tuan Arya terlihat masuk dan keluar kamar itu," jelas Bayu.
"Terima kasih, Bayu. Kirimkan semua file-nya padaku sekarang," perintah Amara. "Sekarang aku butuh kau lacak pemilik asli dari perusahaan holding kecil itu. Aku yakin itu akan menuntunku langsung ke wanita itu."
"Akan kulakukan. Hati-hati, Vanya," kata Bayu.
Amara mengakhiri panggilan. Ia kembali menatap pintu kamar tamu yang tertutup, tempat Arya mengurung diri.
Kamar 82. Kamu tidak hanya mengkhianatiku, Arya, kamu melakukan semua itu hanya beberapa meter dariku. Sekarang aku tahu kamar mana yang harus kucari.
Amara menarik napas dalam. Ia kini memiliki potongan informasi pertamanya. Sandiwara boleh berlanjut, tetapi perburuan ini juga akan berlanjut.
Setelah menerima informasi dari Bayu, Amara tidak bisa menunggu. Dorongan untuk memverifikasi lokasi Kamar 82 dan mencari petunjuk langsung mengalahkan akal sehatnya. Ia bergegas masuk ke kamar utama, mengganti pakaiannya menjadi setelan bisnis yang rapi, mengambil tasnya, dan segera keluar dari apartemen.
Ia bahkan tidak memedulikan Arya yang mengurung diri di kamar tamu.
Amara memesan taksi dan langsung menuju hotel tempat resepsi pernikahan diadakan.
...***...
Sesampainya di lobi hotel mewah itu, Amara berjalan menuju meja resepsionis dengan sikap percaya diri seorang Nyonya Aldridge.
"Selamat pagi. Saya ingin memastikan sesuatu tentang kamar yang disewa selama acara resepsi kami kemarin," kata Amara dengan suara tegas namun sopan.
Resepsionis itu mengenali Amara dan segera berdiri dengan hormat. "Tentu saja, Nyonya Aldridge. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin tahu tentang Kamar 82. Saya dengar ada masalah dengan kamar itu setelah acara, dan saya hanya ingin memastikan tidak ada komplain yang masuk ke manajemen hotel," Amara beralasan, wajahnya tampak prihatin.
Resepsionis itu menjadi cemas. "Kamar 82? Sebentar, Nyonya. Saya periksa log-nya."
Resepsionis tersebut membolak-balik layar komputernya. Ia melihat bahwa Kamar 82 memang telah dikosongkan pagi-pagi sekali dan disewa atas nama perusahaan.
"Kamar 82... sepertinya tidak ada masalah yang dicatat, Nyonya. Kamar itu disewa dan dikosongkan tepat waktu. Apakah ada barang yang hilang?" tanya resepsionis itu, penuh kehati-hatian.
"Tidak, tidak ada. Hanya memastikan saja," kata Amara, sedikit kecewa karena tidak mendapatkan informasi baru. "Terima kasih atas bantuannya."
Amara berbalik. Ia berjalan ke arah lift, menuju lantai tempat Kamar 82 berada, meskipun ia tahu ia mungkin tidak akan menemukan apa pun. Ia hanya perlu melihatnya.
Bersambung......