Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Masalah Baru
Jam di ponsel salah seorang pekerja menunjukkan pukul tiga sore. Terik matahari sudah sedikit condong ke barat, namun panasnya masih terasa membakar kulit. Debu-debu beterbangan, menempel pada tubuh para pekerja yang basah oleh keringat. Kebanyakan dari mereka sudah mulai kelelahan, gerakan mereka melambat, dan frekuensi mereka untuk beristirahat semakin sering.
Kecuali satu orang.
Arjuna justru merasa sebaliknya. Tumpukan karung semen yang berhasil ia pindahkan sudah menggunung di gudang penyimpanan, jumlahnya jauh melampaui pekerja lain yang lebih senior dan berbadan kekar. Setiap karung yang ia angkut seolah bukan mengurangi tenaganya, melainkan justru memompa semangatnya lebih tinggi. Cincin di jarinya terasa stabil, mengalirkan energi yang konstan, membuatnya lupa akan rasa lelah.
Ia menatap ke arah jalan. Masih ada tiga truk semen yang mengantre untuk dibongkar. Baginya, itu bukan pertanda pekerjaan yang masih panjang, melainkan pundi-pundi rupiah yang menunggunya. ‘Semakin banyak yang kuangkat, semakin cepat aku bisa membayar kos bulan depan,’ pikirnya.
Dengan semangat yang kembali menyala, ia menghampiri truk berikutnya setelah meletakkan karung terakhir. Dua orang pekerja di atas truk sudah bersiap untuk menurunkan satu karung lagi untuknya.
"Tunggu, Mas," kata Arjuna sambil mendongak.
Kedua pekerja itu berhenti, menatapnya dengan heran.
"Bisa tolong turunkan tiga karung sekaligus?" pinta Arjuna dengan nada tenang. "Biar lebih cepat selesai."
Kedua pekerja di atas truk itu saling berpandangan, lalu menatap Arjuna seolah ia sudah gila. Pemuda kurus ini, yang sudah bekerja tanpa henti selama berjam-jam, kini meminta beban seberat 150 kilogram diangkat sekaligus?
"Jangan bercanda, Dik!" seru salah satu dari mereka. "Pinggangmu bisa patah beneran nanti! Satu saja sudah syukur kamu kuat!"
Arjuna hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. Ia tidak membantah, hanya berjongkok dan memasang kuda-kuda, siap untuk menerima beban. "Tidak apa-apa, Mas. Saya siap."
Sikapnya yang tenang dan penuh keyakinan itu membuat para pekerja lain yang sedang beristirahat ikut mendekat, ingin melihat apa yang akan terjadi. Mereka berbisik-bisik, menganggap Arjuna sudah kehilangan akal sehatnya karena kelelahan.
Melihat keributan kecil itu, Pak Tarno sang mandor berjalan mendekat. "Ada apa ini ribut-ribut? Cepat kerja lagi!"
"Ini, Pak Mandor," kata pekerja di atas truk. "Anak ini minta tiga karung sekaligus. Gila kan?"
Pak Tarno menatap Arjuna, yang masih dalam posisi siaga. Ia melihat keringat yang membanjiri tubuh kurus itu, namun ia juga melihat api yang berkobar di matanya. Api semangat yang sama yang ia lihat saat Arjuna memohon pekerjaan tadi pagi. Pak Tarno menghela napas, lalu berbalik menatap para pekerjanya yang lain.
"Sudah," katanya dengan suara tegas yang mengagetkan semua orang. "Biarkan saja dia. Kasih apa yang dia minta."
Ia lalu menatap para pekerjanya yang lain yang masih melongo dengan tatapan bijak. "Kalian jangan heran," ujarnya, suaranya kini lebih pelan, seolah sedang memberi pelajaran hidup. "Dia itu butuh uang untuk kuliahnya. Dia kuat bukan karena ototnya. Dia kuat karena dia punya semangat. Kalau orang sudah punya tujuan yang jelas, tekadnya itu bisa lebih kuat dari baja, tenaganya bisa lebih besar dari gajah."
Para pekerja terdiam mendengar kata-kata mandor mereka. Penjelasan itu, entah mengapa, terasa masuk akal bagi mereka untuk menjelaskan pemandangan mustahil yang akan mereka saksikan.
Kedua pekerja di atas truk, meski masih ragu, akhirnya menuruti perintah. Dengan susah payah, mereka mendorong tiga karung semen ke tepi bak truk dan menurunkannya perlahan ke atas punggung Arjuna.
BRUK!
Beban seberat 150 kilogram itu mendarat di punggung Arjuna. Lututnya sedikit menekuk, ia menggeram pelan menahan tekanan yang luar biasa. Untuk sesaat, semua orang menahan napas, mengira ia akan langsung ambruk.
Namun, ia tidak ambruk.
Perlahan, dengan otot-otot yang menegang dan urat-urat yang menonjol di lehernya, Arjuna bangkit. Ia berdiri tegak. Lalu, dengan langkah yang pelan namun sangat stabil, ia mulai berjalan menuju gudang.
Semua aktivitas di proyek itu berhenti. Suara mesin molen dan teriakan pekerja lenyap, digantikan oleh keheningan total. Semua mata, tanpa terkecuali, kini hanya tertuju pada satu titik: pada punggung seorang pemuda kurus yang sedang memikul beban tiga kali lipat dari berat badannya sendiri, berjalan di bawah terik matahari demi sebuah mimpi yang bernama kuliah.
Arjuna terus bekerja dengan ritme yang sama, seolah tak mengenal waktu. Ia baru tersadar saat bayangan tubuhnya sudah memanjang dan warna langit mulai berubah. Suara-suara di proyek pun sudah tidak seramai sebelumnya.
"Sudah, Dik! Cukup! Woi, Anak Kuat, istirahat!"
Suara teriakan Pak Tarno akhirnya berhasil menembus fokus Arjuna. Ia meletakkan karung semen terakhir yang ada di punggungnya dan berbalik. Sang mandor berjalan menghampirinya sambil tersenyum-senyum dan menggelengkan kepala.
"Sudah jam lima sore. Waktunya pulang," kata Pak Tarno, nadanya kini terdengar jauh lebih ramah. "Kalau diteruskan, bisa-bisa semua truk itu kamu bongkar sendirian malam ini."
Arjuna tersenyum sedikit malu, baru merasakan pegal dan lelah yang sesungguhnya saat ia berhenti bergerak. "Masih banyak ya, Pak?"
"Masih. Makanya," Pak Tarno menepuk pundak Arjuna yang keras karena debu semen. "Besok kalau masih mau kerja, datang lagi pagi-pagi. Saya jamin selalu ada pekerjaan buat kamu di sini."
Ini adalah sebuah pengakuan. Sebuah tawaran pekerjaan tetap, meskipun tak terucap secara formal. Hati Arjuna menghangat mendengarnya. "Iya, Pak. Terima kasih banyak. Besok saya pasti datang lagi."
"Bagus," Pak Tarno lalu merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan dompet tebal. Ia mengambil beberapa lembar uang dan mulai menghitung. "Saya sudah hitung tadi sama kenek truk. Kamu... kamu hari ini angkut tiga ratus karung semen, Dik."
Pak Tarno menatap Arjuna dengan tatapan tak percaya. "Tiga ratus. Sendirian. Kamu ini manusia atau bukan sebenarnya?" guraunya, meskipun matanya masih menyiratkan keheranan yang tulus.
Ia lalu menyodorkan tiga lembar uang berwarna merah. "Ini upahmu. Tiga ratus ribu rupiah. Sesuai perjanjian."
Mata Arjuna membulat. Tiga ratus ribu rupiah. Dalam satu hari. Ini adalah jumlah uang terbesar yang pernah ia pegang seumur hidupnya. Uang yang lebih dari cukup untuk membayar sewa kosnya selama sebulan dan masih ada sisa untuk makan.
Tangannya yang gemetar karena lelah dan debu menerima uang itu. "Pak... ini... terima kasih banyak, Pak! Terima kasih!" ucap Arjuna berkali-kali, membungkukkan badannya dalam-dalam. Rasa senang dan syukur meluap di dalam dadanya, menghapus semua rasa lelahnya.
"Sudah, sudah. Itu hak kamu. Kamu kerja lebih keras dari siapapun di sini hari ini," kata Pak Tarno. "Sekarang pulang sana, istirahat. Makan yang banyak biar tenagamu balik lagi."
Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Arjuna pun pamit. Ia berjalan meninggalkan area proyek dengan langkah yang terasa ringan, meskipun tubuhnya pegal luar biasa. Di dalam genggamannya, tiga lembar uang itu terasa seperti sebuah medali kemenangan.
Ia melirik penampilannya. Seluruh tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki tertutup debu semen yang tebal, membuatnya tampak seperti patung kelabu yang berjalan. Ia tidak mungkin kembali ke kos dengan keadaan seperti ini. Ia akan mengotori kamar mandi umum dan membuat penghuni lain tidak nyaman.
Tak jauh dari lokasi proyek, ia melihat sebuah pom bensin yang cukup ramai. Sebuah ide terlintas di benaknya. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke sana.
Ia masuk ke dalam toilet umum yang agak pesing, membayar dua ribu rupiah pada penjaga toilet, dan mulai membersihkan dirinya di wastafel. Ia membuka keran dan membasuh wajahnya. Air dingin itu terasa begitu nikmat. Ia melihat air yang mengalir ke lubang pembuangan berwarna kelabu karena lunturan debu semen. Ia menggosok lengan dan lehernya, mencoba membersihkan sisa-sisa kerja kerasnya hari itu.
biar nulisny makin lancar...💪