Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Hari itu adalah hari Sabtu. Nina sudah menyusun rencana untuk bersih-bersih rumah, sedangkan Devan punya rencana rahasia: tidur seharian. Masalahnya, Nina sudah bangun sejak jam enam pagi dan mulai menyapu dengan semangat, lengkap dengan musik dangdut remix dari ponselnya yang digantung di leher.
“Bangun, Van! Hari ini jadwal nyapu dan ngepel bareng,” teriak Nina dari ruang tamu.
Devan, yang baru saja akan balik badan dan menarik selimut, langsung menggeliat dan mengerang pelan.
“Hari ini hari libur, Sayang… libur berarti tidur!”
“Libur bukan berarti kamu jadi mager!” Nina masuk kamar sambil membawa sapu. “Ayo bangun, atau aku sulap kamu jadi sapu lidi!”
“Serem banget ancamannya,” gumam Devan, lalu duduk dan memeluk bantal. “Gimana kalau aku bagian ngelap meja dan bagian nyemangatin kamu?”
Nina berkacak pinggang. “Nggak bisa! Hari ini kita kerja tim.”
Akhirnya, setelah dibujuk dengan segelas susu hangat dan ancaman dijemur di teras, Devan pun ikut bersih-bersih. Tapi... tentu saja dengan cara Devan banyak drama.
“Pel ini kayak mantan—berat dan bikin capek,” keluh Devan sambil memeras pel lantai.
Nina nyengir. “Halah, kamu kan belum pernah punya mantan.”
“Makanya aku bisa ngomong dengan objektif!” Devan melempar senyum centil.
Mereka pun tertawa dan saling saling lempar sapu kecil karena rebutan tisu dapur. Rumah yang tadinya hening berubah jadi arena perang tawa.
Setelah rumah bersih dan kinclong, Nina memasak camilan favorit mereka, pisang goreng keju cokelat. Devan, yang dari tadi mencium aroma harum dari dapur, mengendap-endap seperti maling.
“Ssst… chef Nina, boleh cicip sedikit?” bisik Devan dari balik punggung Nina.
“Baru juga ditaruh di piring, udah mau nyomot aja,” protes Nina.
Devan mencolek lelehan cokelat dari atas pisang goreng, lalu menjilatnya pelan. “Cokelatnya kayak kamu, manis dan lengket.”
Nina langsung melempar lap ke muka suaminya. “Ih! Norak!”
Devan ketawa terpingkal-pingkal. “Tapi kamu suka kan dipuji manis?”
Nina mengerucutkan bibirnya. “Hmm... lumayan lah.”
“Ya udah, sini peluk,” kata Devan sambil membuka tangannya lebar.
Nina pura-pura jual mahal, tapi akhirnya tetap masuk ke pelukannya. Mereka berdiri di dapur, berpelukan dengan piring pisang goreng di tengah mereka.
“Enak banget, ya, hidup kayak gini. Sederhana tapi bahagia,” bisik Nina.
“Karena kamu, semuanya jadi enak,” jawab Devan.
Tapi, siangnya ada sedikit drama lucu. Devan yang biasanya nempel terus, mendadak mengunci diri di kamar kerja. Nina menjadi curiga.
“Van! Kamu ngapain sih di dalam? Tumben diem aja!”
“Nggak apa-apa! Lagi banyak kerjaan,” jawab Devan dari dalam.
Padahal... Devan lagi belajar main gitar dari YouTube. Diam-diam, dia ingin membuat kejutan ulang tahun pernikahan mereka yang sebentar lagi.
Sayangnya, karena terlalu semangat, suara petikan gitarnya terdengar sampai ke ruang tamu. Nina langsung berdiri dan mengetuk pintu.
“Van! Kamu belajar gitar, ya?!”
“Enggak!” teriak Devan gugup.
“Devaaaan... aku dengar tuh suara ‘tweng tweng nggak jelas’!”
Devan pasrah membuka pintu, lalu menunjukkan gitar murah pinjamannya.
“Yah, ketahuan deh.”
Nina terkekeh. “Astaga, kamu ngapain sih?”
“Rahasia. Pokoknya jangan kepo. Dan kamu pura-pura lupa soal ini, ya.”
“Kenapa emangnya?”
“Kalau kamu tahu semuanya, nanti nggak spesial.”
Nina tersenyum lebar. “Baiklah, Mr. Rahasia.”
Malam harinya, Nina ngambek. Tapi ngambek yang... manja. Devan keasikan nonton bola dan lupa menemani Nina nonton drama Korea.
“Van! Kita udah janjian nonton bareng jam delapan!”
“Lagi adu penalti ini, Sayang! Satu menit aja, please!”
“Setiap bilang satu menit, ujung-ujungnya dua episode bola!” Nina manyun, lalu langsung memindahkan posisi duduknya menjauh dari Devan.
Devan sadar dia dalam bahaya. Dia pelan-pelan merangkak mendekat, lalu menyodorkan popcorn.
“Maaf ya, Nona Nina. Aku salah. Tapi yang benar-benar penting itu… kamu. Bukan bola.”
Nina menoleh sekilas. “Terlambat.”
Devan lalu tiba-tiba menirukan gaya pemain bola yang mencetak gol dramatis, lalu sujud di karpet.
“GOLLLLL! Tapi gol cintaku hanya untuk istriku tercinta! Wawancara dulu, gimana komentar istri tentang pertandingan ini?”
Nina mencoba menahan tawa, tapi gagal. Dia melempar bantal ke arah Devan sambil ngakak.
“Kamu itu kenapa sih lucu banget?”
“Karena aku takut kamu marah beneran. Lebih serem dari adu penalti!”
Nina akhirnya memaafkan, lalu mereka nonton drama Korea sambil berselimut. Devan pura-pura paham plotnya, padahal setengah ketiduran.
“Van, ngerti gak ini kenapa si cewek bisa sakit hati?”
Devan mengangguk-angguk sok serius. “Karena… cowoknya lupa tanggal ulang tahun ibunya?”
“Lho? Itu mah di episode dua belas! Kita nonton episode tujuh belas sekarang!”
Devan langsung pasang wajah kaget. “Eh, iya ya? Lho kok cepet banget waktu berjalan…”
Nina hanya bisa geleng-geleng, lalu menyandarkan kepala di pundak suaminya.
"Aku sayang sama kamu, Van."
Cup
Devan mengecup kepala Nina dengan sayang.. "I Love you more sayang... Anytime, everything, everyone..."
Nina terkikik geli, namun ia sungguh sangat bahagia di cintai oleh Devan.
Di tengah malam, Nina terbangun karena mendengar suara gitar lagi. Ia mengendap ke ruang kerja, membuka pintu pelan-pelan.
Dan di sana, Devan sedang duduk dengan ekspresi serius, dan memegang sebuah gitar mencoba menyanyikan sebuah lagu.
“…karena cinta, bukan hanya kata… tapi hadir tiap kamu tertawa…”
Nina berdiri di balik pintu, matanya berkaca-kaca. Devan belum tahu ia sedang ditonton diam-diam.
Setelah beberapa menit, Nina masuk dan memeluk Devan dari belakang.
“Van…”
Devan tersentak. “Eh? Kamu denger?”
“Denger dari awal. Dan… aku makin cinta.”
Devan tersenyum malu, lalu meletakkan gitarnya dan menarik Nina duduk di pangkuannya. “Belum bagus, masih belajar.”
“Tapi niat kamu, Van… itu yang bikin semuanya indah.”
Malam itu mereka duduk berdua, dikelilingi sisa-sisa makanan ringan dan gitar yang belum sempurna nadanya. Tapi bagi mereka, tak perlu musik sempurna untuk bahagia.
Yang mereka butuhkan hanya satu sama lain.