Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Jahitan
Kabar kematian Tuan Gou menyebar seperti api di jerami kering. Di kedai-kedai teh, orang berbisik bahwa Geng Anjing Hitam telah menyinggung dewa penunggu Rumah Duka. Namun, di markas cabang Sekte Pedang Azure di Kota Yan, kematian itu dianggap sebagai penghinaan.
Siang itu, dua murid senior Sekte Azure datang menggedor pintu Rumah Duka.
Liang Wu, yang sedang menjemur kain kafan di halaman depan, segera membungkuk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya di balik caping.
"Di mana Pak Tua Ma?!" bentak salah satu murid.
Pak Tua Ma keluar dengan terhuyung-huyung, pura-pura baru bangun tidur. "Ada apa, Tuan-tuan Pendekar?"
"Tuan Gou mati. Mayatnya ditemukan di tumpukan sampah pagi ini. Anak buahnya yang gila bilang dia dibunuh di sini oleh 'hantu'. Apa kau melihat sesuatu semalam?"
"Hantu?" Pak Tua Ma tertawa, batuk-batuk. "Tuan, tempat ini isinya cuma mayat. Kalau ada hantu, saya sudah mati sepuluh tahun lalu. Semalam hujan deras, saya tidur nyenyak. Mungkin Tuan Gou mabuk dan jatuh?"
Murid itu menatap curiga ke sekeliling. Matanya berhenti sejenak pada Liang Wu yang sedang memeras kain.
"Siapa dia?"
"Kuli baru. Ah Wu. Bisu dan sedikit gila, tapi kuat angkat mayat," jawab Pak Tua Ma cepat.
Liang Wu membuat suara erangan tak jelas sambil menunjuk mulutnya, lalu kembali bekerja dengan gerakan kaku.
Murid itu mendengus jijik. "Tempat ini bau bangkai. Ayo pergi. Gou pasti dibunuh Geng Kapak Merah. Kita cari mereka saja."
Mereka pergi.
Liang Wu menghentikan pekerjaannya. Dia menatap punggung para murid itu. Mereka tidak curiga, tapi waktu Liang Wu di sini tidak akan lama. Cepat atau lambat, seseorang yang lebih pintar akan datang.
Malam harinya, sebuah kiriman khusus datang.
Bukan dari warga, bukan dari Sekte, tapi dari penjaga sungai.
"Mayat hanyut," kata penjaga itu, menurunkan tubuh basah kuyup dari gerobak. "Tersangkut di jaring nelayan dekat dermaga pribadi Sekte Awan Langit. Tidak ada identitas. Bakar saja besok."
Penjaga itu pergi setelah melempar koin perak untuk biaya bakar.
Liang Wu dan Pak Tua Ma mengangkat mayat itu ke meja batu.
Itu adalah mayat seorang pria muda, kurus, berpakaian hitam ketat di balik jubah nelayan. Kulitnya pucat dan keriput karena terendam air berhari-hari.
"Aneh," gumam Pak Tua Ma, memeriksa tangan mayat itu. "Kapalan di jari telunjuk dan ibu jari. Dia pemanah. Atau pengguna senjata rahasia. Bukan nelayan."
Liang Wu mendekat. Matanya yang tajam menangkap sesuatu yang lain.
"Lihat lehernya, Tuan Ma."
Di leher mayat itu, terdapat garis tipis berwarna biru. Hampir tidak terlihat.
"Racun Jarum Beku," kata Liang Wu. "Racun khas... Sekte Awan Langit."
Pak Tua Ma menatap Liang Wu. "Kau tahu banyak untuk seorang kuli kampung."
"Saya belajar dari mayat," jawab Liang Wu singkat.
Liang Wu mulai membersihkan tubuh itu. Saat dia membasuh bagian perut, tangannya merasakan ganjalan.
Ada bekas jahitan di perut bagian bawah. Jahitan itu rapi, tapi benangnya berbeda dengan benang bedah biasa. Benang sutra. Dan lukanya sudah sembuh sebagian, artinya benda itu dimasukkan saat orang ini masih hidup, mungkin beberapa hari sebelum dia mati.
"Tuan Ma," Liang Wu mengambil pisau bedah kecil. "Boleh saya buka?"
Pak Tua Ma menyalakan pipanya, matanya berkilat tertarik. "Lakukan. Anggap saja upah lembur."
Liang Wu mengiris bekas jahitan itu dengan hati-hati. Dia tidak membelah usus, melainkan meraba di antara lapisan lemak dan otot dinding perut.
Dua jari Liang Wu masuk ke dalam celah irisan. Dia menjepit sesuatu yang keras dan bulat.
Plop.
Sebuah bola lilin sebesar telur burung merpati keluar, bercampur sedikit darah hitam.
Liang Wu membersihkan bola lilin itu di ember air. Dia meremasnya hingga pecah. Di dalamnya, tergulung secarik kertas minyak yang sangat tipis.
Liang Wu membuka gulungan itu di bawah cahaya lilin.
Tulisan di dalamnya sangat kecil, ditulis dengan sandi angka. Tapi di bagian bawah, ada cap stempel merah bergambar bunga teratai awan. Dan sebaris kalimat yang ditulis dengan tinta biasa—mungkin terjemahan atau catatan kaki si pembawa pesan.
"Target 'Serigala' telah tiba di Kota Awan. Membawa 'Kunci Emas'. Pertemuan dengan Putri Ketiga dijadwalkan saat Festival Bulan Purnama."
Jantung Liang Wu berhenti berdetak sesaat.
Serigala. Kunci Emas.
Itu pasti Duan. Dan 'Kunci Emas' adalah Kitab Sutra yang dia curi.
Liang Wu meremas kertas itu. Jadi Duan tidak bersembunyi di Sekte Pedang Azure. Dia pergi ke Kota Awan di Provinsi Yun, wilayah kekuasaan Sekte Awan Langit. Dia ingin menjual kitab itu—atau dirinya sendiri—kepada Putri Ketiga Kekaisaran yang berkuasa di sana.
"Kabar buruk?" tanya Pak Tua Ma, melihat tangan Liang Wu gemetar.
"Kabar baik," suara Liang Wu dingin, tapi matanya terbakar api yang sudah lama padam. "Saya tahu ke mana anjing itu lari."
Liang Wu menatap mayat di meja. Pria ini kemungkinan adalah mata-mata Kekaisaran atau faksi lain yang mencoba memantau pergerakan Duan, tapi ketahuan dan dibunuh dengan racun Sekte Awan Langit, lalu dibuang ke sungai.
"Tuan Ma," kata Liang Wu, membakar kertas itu di api lilin hingga menjadi abu. "Saya harus pergi."
"Ke selatan?"
"Ke selatan."
Pak Tua Ma menghela napas panjang. Dia berjalan ke lemari tua di sudut ruangan, membuka laci tersembunyi, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain.
"Ambil ini," kata Pak Tua Ma, melempar bungkusan itu pada Liang Wu.
Liang Wu menangkapnya. Berat.
Di dalamnya ada satu set pisau bedah berkualitas tinggi, jarum perak, gulungan benang sutra, dan topeng kulit tipis yang belum jadi.
"Itu alat kerjaku dulu saat masih muda," kata Pak Tua Ma, menatap asap pipanya. "Topeng itu terbuat dari kulit babi yang diawetkan khusus. Kalau kau pandai merias, itu bisa menutupi wajah rusakmu lebih baik dari perban busuk itu."
Liang Wu terdiam. Dia menatap orang tua bungkuk itu.
"Kenapa?"
"Karena kau satu-satunya orang yang tidak jijik menyentuh tanganku saat menerima upah," jawab Pak Tua Ma ketus. "Dan karena aku benci Sekte Azure. Mereka menaikkan pajak arakku."
Liang Wu membungkuk hormat. Kali ini, bungkukan tulus seorang murid kepada guru.
"Terima kasih, Guru Ma."
"Pergilah. Sebelum subuh. Gerobak sayur Pak Liu akan berangkat ke perbatasan selatan jam empat pagi. Menyelip lah di sana."
Liang Wu mengemasi barang-barangnya. Parang besi, uang rampasan, tulang jari Han, dan kini peralatan bedah.
Dia mengenakan topeng kulit babi itu di separuh wajah kirinya. Warnanya sedikit berbeda dengan kulitnya, tapi dengan sedikit bedak dan bayangan caping, itu terlihat seperti kulit wajah yang kaku bekas luka bakar lama, bukan luka mengerikan yang terbuka. Jauh lebih tidak mencolok.
Saat dia melangkah keluar dari Rumah Duka Barat, hujan telah berhenti.
Kota Yan masih tidur. Tapi Liang Wu sudah terjaga.
Tujuannya jelas: Provinsi Yun. Kota Awan.
Di sana, di antara intrik politik dan pesta para bangsawan, dia akan memburu serigalanya.
Alurnya stabil...
Variatif