Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Semen Jadi Cuan
Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk ke kamar nomor 13 seolah membawa energi baru. Malam tadi, Arjuna memang tidur dengan pikiran yang berat, namun ia terbangun dengan sebuah kesadaran sederhana: takdir mungkin telah memberinya beban yang luar biasa, tapi takdir tidak akan membayar sewa kos atau mengisi perutnya yang lapar. Ia harus tetap bergerak.
Pagi itu, sebelum penghuni kos lain ramai, Arjuna keluar ke lorong belakang yang sempit. Ia melakukan beberapa gerakan peregangan sederhana. Saat ia mencoba beberapa push-up, ia merasakan perbedaan yang nyata. Gerakannya terasa begitu ringan, napasnya tetap teratur meski sudah melakukan puluhan kali. Kekuatan fisik yang ia rasakan saat pertarungan kemarin ternyata bukanlah ilusi. Ini adalah bagian dari dirinya sekarang. Ia tidak sedang berlatih untuk bertarung, melainkan mencoba memahami dan berdamai dengan tubuhnya yang baru.
Setelah mandi dan mengenakan kemeja bersihnya yang lain, ia bertemu dengan Budi dan Gofar yang sedang menyeruput kopi di depan kamar mereka.
"Pagi, Jun! Wah, seger bener muka lo hari ini," sapa Gofar.
"Nah, gini dong!" timpal Budi sambil menepuk pundak Arjuna. "Kemarin-kemarin muka lo ditekuk mulu kayak bon utang. Ada kabar baik apa nih?"
Arjuna tersenyum, kali ini senyumnya terasa lebih tulus. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan beban rahasianya membuatnya jauh dari teman-teman yang sudah baik padanya. "Nggak ada apa-apa, Mas. Cuma tidur lebih nyenyak aja semalam."
"Baguslah!" kata Budi. "Mau kemana nih pagi-pagi udah rapi? Mau ngejar beasiswa lagi?"
"Bukan, Mas," jawab Arjuna sambil merapikan tas selempangnya. "Mau coba cari kerja lagi. Nunggu pengumuman beasiswa kelamaan, bisa-bisa jadi fosil di kamar nanti."
"Nah, itu baru semangat pejuang!" seru Gofar. "Jangan lupa sarapan, Jun. Tenaga itu penting, apalagi tenaga buat menghadapi penolakan."
"Siap, Mas Gofar!" Arjuna tertawa kecil. Candaan ringan seperti ini terasa seperti angin segar yang meniup pergi sedikit kegelisahan di hatinya.
Setelah berpamitan, Arjuna melangkah keluar dari gang kos dengan semangat yang diperbarui. Ia tidak kembali ke area di mana insiden ambulans kemarin terjadi. Ia merasa lebih bijaksana untuk mencari di tempat lain, menghindari kemungkinan dikenali orang.
Ia naik angkot menuju area perbelanjaan dan perkantoran yang berbeda, sebuah kawasan yang lebih ramai dan padat dengan berbagai macam usaha, dari yang besar hingga yang kecil.
Dan dengan begitu, Arjuna kembali ke medan perangnya yang sesungguhnya. Bukan pertarungan melawan preman atau perdebatan dengan tenaga medis. Melainkan pertarungan sehari-hari melawan kerasnya ibu kota, berbekal ijazah SMA, beberapa lembar uang di saku, dan sebuah rahasia besar yang melingkar di jari manisnya. Ia berjalan dari satu ruko ke ruko lain, dari satu kedai ke kedai lain, matanya kembali awas mencari selembar kertas bertuliskan kata "LOWONGAN", siap untuk ditolak, dan siap untuk terus mencoba lagi. Perjuangannya baru saja dimulai kembali dari titik nol.
Matahari Jakarta berada tepat di puncak, memanggang aspal dan menguapkan sisa-sisa semangat Arjuna. Sudah berjam-jam ia berjalan, masuk dan keluar dari puluhan toko, kafe, dan rumah makan. Jawabannya selalu sama: "Tidak ada lowongan," "Sudah terisi," atau yang paling menyakitkan, tatapan meremehkan dari atas ke bawah sebelum ia sempat membuka mulut.
Rasa lelah dan putus asa mulai menggerogotinya. Ia berhenti di sebuah jembatan penyeberangan, menatap lalu lintas yang padat di bawahnya. Mungkin memang benar kata teman-teman kampusnya dulu. Tanpa koneksi atau ijazah tinggi, Jakarta adalah hutan yang siap menelannya hidup-hidup.
Saat itulah matanya menangkap sebuah pemandangan yang kontras. Di seberang jalan, sebuah proyek pembangunan gedung tampak sibuk luar biasa. Debu beterbangan, suara mesin molen beradu dengan teriakan para pekerja. Yang paling menarik perhatiannya adalah deretan truk besar yang sedang antre, dipenuhi karung-karung semen. Para kuli bangunan, dengan tubuh kekar dan berpeluh, sibuk menurunkan karung-karung itu satu per satu.
Sebuah ide gila dan iseng terlintas di benak Arjuna. Pekerjaan kasar. Pekerjaan yang hanya butuh otot. Ia melirik lengannya yang kurus. Mungkin ia akan langsung ditolak. Tapi, apa ruginya mencoba?
Dengan sisa keberanian yang ada, ia menyeberang dan menghampiri area proyek itu. Ia bertanya pada salah seorang pekerja di mana ia bisa bertemu mandornya. Pria itu menunjuk ke arah seorang pria paruh baya berperut buncit yang sedang berdiri sambil berteriak-teriak memberi instruksi.
Arjuna mendekat dengan sopan. "Permisi, Pak."
Sang mandor, yang bernama Pak Tarno, menoleh. Matanya yang tajam langsung memindai Arjuna dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ada apa?" tanyanya dengan nada galak.
"Maaf mengganggu, Pak. Saya lihat sedang banyak pekerjaan di sini. Apa mungkin... butuh tenaga tambahan untuk angkut-angkut?" tanya Arjuna sedikit ragu.
Pak Tarno tertawa sinis. "Tenaga tambahan? Kamu?" Ia menunjuk Arjuna dengan dagunya. "Badan kamu kurus kering begitu, ngangkat semen satu karung juga bisa patah pinggang kamu nanti. Ini kerjaan orang kuat, bukan buat anak sekolahan kayak kamu."
Hinaan itu terasa familiar, tapi Arjuna tidak membiarkannya mematahkan semangatnya. Ia tahu ini kesempatan terakhirnya hari ini.
"Saya mohon, Pak," ujar Arjuna dengan sungguh-sungguh. "Saya benar-benar butuh pekerjaan. Saya sedang cari uang tambahan untuk biaya kuliah. Saya janji akan bekerja sekuat tenaga."
Mendengar kata "kuliah", ekspresi Pak Tarno sedikit melunak. Ia menatap mata Arjuna yang penuh permohonan. Entah karena kasihan atau karena memang ia benar-benar kekurangan orang, ia akhirnya menghela napas.
"Ya sudah, ya sudah! Tapi jangan harap bayaran harian," katanya. "Saya bayar borongan. Seribu rupiah untuk setiap karung semen yang kamu pindahkan dari truk ke gudang sana. Sanggup?"
Seribu rupiah. Harga yang sangat murah untuk mengangkat beban seberat 50 kilogram. Tapi bagi Arjuna, itu adalah sebuah kesempatan. "Sanggup, Pak! Saya sanggup!" jawabnya mantap.
"Bagus. Coba sana!" kata Pak Tarno sambil menunjuk truk terdekat, masih dengan nada ragu. Ia lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya, menganggap Arjuna paling hanya akan kuat mengangkat lima karung sebelum menyerah.
Arjuna menarik napas dalam-dalam dan menghampiri truk semen. Beberapa kuli lain meliriknya dengan senyum mengejek. Arjuna mengabaikan mereka. Ia berjongkok, memposisikan punggungnya, dan dengan sekali hentak, ia mengangkat satu karung semen ke bahunya.
Anehnya, karung itu tidak terasa seberat yang ia bayangkan. Tentu, bobotnya terasa, tapi sangat bisa dikendalikan. Kekuatan dari cincin itu seolah mengalir, memperkokoh tulang punggung dan otot-ototnya.
Dengan langkah yang mantap, ia membawa karung itu ke gudang penyimpanan yang berjarak sekitar dua puluh meter dan meletakkannya dengan rapi. Lalu ia kembali. Mengambil satu lagi. Membawanya. Meletakkannya. Lagi, dan lagi.
Satu jam pertama, para pekerja lain tidak terlalu memperhatikannya. Tapi memasuki jam kedua, mereka mulai menyadari sesuatu yang aneh. Anak kurus itu... tidak berhenti. Sama sekali.
Sementara mereka yang bertubuh kekar sudah beberapa kali istirahat, menyeka keringat dan menenggak air, Arjuna terus bergerak seperti mesin. Ritmenya konstan. Punggungnya tetap tegak, napasnya teratur. Keringat memang membasahi seluruh tubuhnya, tapi tidak ada tanda-tanda kelelahan di wajahnya.
"Gila..." bisik salah seorang kuli pada temannya. "Itu anak minum bensin apa gimana? Tenaganya nggak habis-habis."
Pak Tarno yang sedang memeriksa catatan, akhirnya ikut memperhatikan. Matanya membelalak. Tumpukan semen yang dipindahkan oleh Arjuna sudah jauh lebih banyak dari pekerja lainnya. Anak kurus yang tadi ia remehkan kini bekerja dengan energi dan efisiensi yang tidak masuk akal.
Semua orang kini melongo. Aktivitas mereka sedikit melambat, sebagian besar kini hanya menatap Arjuna dengan mulut ternganga. Mereka sedang menyaksikan pemandangan yang mustahil: seorang pemuda berbadan ceking dengan kekuatan seekor banteng, memindahkan semen karung demi karung seolah itu hanyalah bantal.