⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 17
"Gimana ini? Telepon Papa-nya!" seru Risa dengan suara gemetar, air matanya hampir tumpah karena panik.
Ray menarik napas panjang. Tangannya yang dingin merogoh saku, mengambil ponsel. Dengan keberanian yang dikumpulkan dari sisa-sisa ketenangannya, ia menekan nomor Axel.
"Halo, ada apa, Ray?" suara Axel terdengar tenang namun berwibawa di seberang telepon.
"Om... Aluna..." Ucapan Ray terhenti. Lidahnya terasa kelu, ia benar-benar takut membayangkan kemurkaan pria di seberang sana.
"Aluna kenapa?!" suara Axel meninggi, firasat buruk mulai menyerangnya.
"Aluna pingsan, Om," ucap Ray dengan suara lirih.
"Apa?! Kenapa bisa? Apa yang terjadi?!" tanya Axel bertubi-tubi, suaranya menggelegar penuh kepanikan.
Ray menelan ludah, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Aku enggak tahu persis kejadiannya, Om. Tapi saat kami buka pintu, Aluna sedang dicekik oleh salah satu murid di sini," jelas Ray dengan jujur.
"APA?!"
Darah Axel mendidih seketika. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Tanpa sepatah kata lagi, ia langsung memutuskan panggilan dan bergegas naik mobil berangkat ke Jogja siang itu juga.
Di dalam kamar perawatan, Aluna terbaring lemah dengan wajah pucat. Ray duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Aluna yang terasa dingin.
"Al, bangun, sayang..." bisik Ray pilu, matanya memerah menatap gadis yang sangat ia cintai itu.
Davin masuk ke ruangan dengan terengah-engah. "Kata dokter apa?" tanyanya panik.
"Dia cuma syok," jawab Risa singkat, suaranya masih serak.
Davin mendekat, lalu matanya membelalak saat melihat ke arah leher Aluna. "Lihat, lehernya biru gitu, anjir!" serunya, emosinya kembali tersulut.
"Brengsek si Baskara! Gue harus hajar dia!" teriak Ray, kepalan tangannya mengeras, urat-urat di lengannya menonjol penuh emosi.
"Gue udah hajar dia sampai bonyok. Gue udah serahin dia ke guru," timpal Davin, mencoba menenangkan Ray meskipun hatinya sendiri masih panas.
Ray menoleh ke arah teman-temannya. "Kalian kalau mau pulang, pulang saja. Gue di sini nunggu Aluna sampai sadar."
"Tapi, Ray... enggak enak kalau kita tinggalin lo sendiri," ucap Tari ragu-ragu.
"Kalau kalian enggak bareng rombongan guru, kalian harus naik kereta sendiri. Rugi, dong, sudah bayar mahal. Barang-barang gue masukin ke kamar Aluna saja nanti. Gue pulang bareng dia, nunggu Papa-nya datang," perintah Ray dengan nada tegas yang tak bisa dibantah.
"Oke, kalau itu mau lo," ucap Tari akhirnya mengalah.
Mereka pun berpamitan, meninggalkan Ray yang masih setia menjaga Aluna di kesunyian ruang rumah sakit.
Waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Ray. Hingga beberapa jam kemudian, pintu kamar perawatan terbuka dengan kasar.
Axel muncul dengan napas memburu, wajahnya terlihat sangat tegang dan lelah. Di belakangnya, Romi mengikuti dengan langkah cepat, wajahnya penuh kecemasan.
Axel langsung menghambur ke sisi tempat tidur putrinya. Matanya yang tajam langsung menangkap bekas lebam kebiruan di leher jenjang Aluna. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi putrinya.
Ray menunduk di kursi, wajahnya pucat. Axel berdiri di hadapannya, napasnya berat, nyaris meledak karena amarah yang ditahannya.
“Kamu ngapain aja, nggak bisa jaga Aluna?!” suara Axel menggema seperti tamparan keras.
Ray menunduk makin dalam. “Kita lagi beli makanan, Om. Aluna nggak mau ikut,” jawabnya pelan, suaranya serak menahan takut.
Axel mengepalkan tangan. “Yang mana anaknya?” suaranya gemetar antara marah dan panik.
“Mereka udah pulang, Om...” ucap Ray, lirih.
Axel mengumpat pelan, rahangnya mengeras. “Akh, sial!” teriaknya sambil menendang kursi di depannya. Kursi itu terjungkal, membentur dinding.
“Udah... nanti aja diurusnya. Kita fokus ke Aluna dulu,” ucap Romi menenangkan, menepuk bahu Axel.
Axel berbalik, pandangannya melunak saat melihat wajah putrinya di ranjang. Ia meraih tangan Aluna dengan lembut.
“Al... ini Papa. Sayang, bangun, Nak...”
Mata Aluna perlahan terbuka, wajahnya pucat. “Jam berapa ini?” ucapnya pelan.
“Malam, sayang,” jawab Axel, senyum getir tersungging di bibirnya.
“Eh, Papa kok di sini?” tanya Aluna, heran tapi juga hangat.
“Kamu pingsan, Sayang. Papa khawatir banget,” ucap Axel, menatapnya penuh kasih.
“Pingsan apanya, orang cuma bobo kok,” jawab Aluna, mencoba bercanda, tapi suaranya lemah.
Axel menatapnya tajam. “Kamu sakit, Sayang. Kenapa orang itu cekik kamu?” nada suaranya turun tapi menahan amarah.
“Hmm... nggak tau. Tiba-tiba datang, terus kesal katanya,” ucap Aluna sambil manyun, mencoba menutupi lehernya yang masih memerah.
Axel menarik napas panjang. “Papa bakal keluarin anak itu, sama guru yang ngawasin hari ini,” ucapnya dingin, penuh tekad.
“Hmm, baguslah,” jawab Aluna datar sambil meneguk air minum.
“Kita pulang ya,” ajak Axel lembut.
“Hmm... bete di rumah sakit,” gumam Aluna sambil menarik selimutnya.
"Besok aja, sekarang masih malam," ucap Romi sambil menyentuh dahi Aluna.
Keesokan harinya mereka pulang.
Aluna duduk di kursi belakang mobil, bersandar pada bahu Anya sambil menggoda Axel di depan kemudi. Suasana di dalam mobil terasa hangat lagi.
Aluna cengengesan, sesekali melirik ke belakang ray menatapnya. Ray tersenyum tipis, matanya tak bisa berpaling.
Akhirnya gue lihat senyumnya lagi, pikir Ray, dadanya bergetar.
Bersambung....
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣