Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
“Bismillahirrahmanirrahim,” bisik Kinara dengan pelan.
Ia membuka pintu kamar itu dan melangkah masuk kedalam.
Hal pertama yang menyambutnya adalah aroma lembut—perpaduan wangi kayu cendana dan lavender yang terasa hangat dan menenangkan. Lampu tidur menyala temaram, memantulkan cahaya kekuningan yang membuat ruangan itu terasa jauh lebih hidup dibanding bagian rumah lainnya.
Kamar itu luas, namun tidak terasa dingin. Sebuah ranjang besar berada di tengah ruangan, dengan sprei berwarna putih gading dan selimut tipis berwarna krem. Di atasnya, tersebar kelopak bunga mawar merah muda dan putih yang ditata rapi, tidak berlebihan, justru terlihat sederhana namun penuh makna.
Di sisi kanan ranjang, terdapat meja kecil dengan vas bunga segar. Di sisi kiri, sebuah lampu tidur berdiri dengan kap kain lembut. Lemari kayu besar berdiri di sudut ruangan, sementara di seberangnya terdapat sofa kecil dengan meja rendah, tempat yang tampak nyaman untuk duduk dan berbincang.
Ada sentuhan maskulin dan feminin yang berpadu dengan pas. Jelas terlihat kalau kamar ini disiapkan dengan sungguh-sungguh.
Kinara melangkah lebih dalam, matanya menyapu setiap sudut kamar. Dadanya terasa menghangat tanpa sadar. Pak Ardhan benar-benar memikirkan semuanya. Bahkan detail kecil seperti warna tirai, lukisan sederhana di dinding, hingga sajadah yang sudah terlipat rapi di sudut ruangan.
“Subhanallah.” gumam Kinara dengan lirih saat ia mengagumi keindahan kamar pengantinnya itu.
Namun keindahan itu justru membuat jantungnya kembali berdebar. Kini, saat ia benar-benar berdiri di kamar ini, sebuah pertanyaan yang sejak tadi ia tekan dalam-dalam akhirnya muncul ke permukaan.
_Malam ini apakah kami akan melakukannya?_
Kinara menelan ludahnya pelan. Pipinya terasa hangat. Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling bertaut di atas pangkuannya. Hatinya berdebar tidak karuan. Ia bukan wanita yang tidak mengerti. Ia tahu, malam ini seharusnya menjadi malam pertama mereka sebagai suami istri.
Namun bayangan wajah Farhan yang penuh luka, kemarahan, dan tangis tadi kembali muncul di benaknya.
_Apa Mas Farhan sudah siap? Atau apa aku yang terlalu berharap?_
Kinara menghembuskan napasnya perlahan dan mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak ingin memaksa apa pun. Ia tidak ingin malam ini berubah menjadi beban bagi Farhan. Tapi ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia merasa gugup, cemas, dan sedikit takut.
Suara pintu kamar mandi terdengar terbuka dan membuat Kinara segera menoleh.
Farhan berdiri di ambang pintu kamar mandi. Ia sudah mengganti jas pengantinnya dengan piyama sederhana berwarna gelap. Rambutnya masih sedikit berantakan. Wajahnya tampak lebih tenang dibanding sebelumnya, tapi mata itu, mata yang sama yang masih menyimpan terlalu banyak cerita.
Untuk beberapa detik, mereka hanya saling memandang dan membuat suasana menjadi
sunyi dan canggung. Udara di antara mereka terasa berbeda. Bukan lagi tegang seperti tadi, tapi juga belum sepenuhnya nyaman. Farhan melangkah keluar dan menutup pintu kamar mandi di belakangnya. Suara pintu yang tertutup itu terdengar lebih keras dari yang seharusnya dan membuat jantung Kinara berdegup sekali lagi.
“Mas…” sapa Kinara dengan pelan.
Farhan mengangguk singkat. Ia tidak langsung mendekat. Justru berdiri beberapa langkah dari Kinara, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat di dalam kepalanya.
“Kinara,” akhirnya ia membuka suara. Nada suaranya rendah, tidak dingin, tapi juga tidak hangat.
“Ada hal yang perlu aku sampaikan.” ucap Farhan yang membuat Kinara mengangguk pelan.
“Iya, Mas.”
Farhan menghembuskan napas panjang. Tangannya terangkat sebentar, lalu turun lagi. Ada keraguan yang jelas terlihat di matanya.
“Aku belum siap.”
Kalimat itu keluar begitu saja tanpa basa basi, yang membuat Kinara terdiam. Farhan melanjutkan perkataannya dengan suaranya yang sedikit lebih berat,
“Aku belum siap untuk menjalani malam pertama ini. Bukan karena kamu kurang apa pun. Aku cuma belum bisa membuka hatiku sepenuhnya. Luka itu masih ada. Aku takut, kalau aku memaksakan diri, aku justru akan menyakitimu.” ujar Farhan sembari mengangkat wajahnya dan menatap Kinara dengan sungguh-sungguh.
Kejujuran itu menghantam perasaan Kinara dengan pelan, tapi tidak menyakitkan. Justru terasa seperti angin hangat yang menenangkan. Ia menarik napas, lalu tersenyum kecil.
“Aku mengerti, Mas.”
Ia melangkah satu langkah mendekat. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat Farhan mendengar suaranya dengan jelas.
“Aku juga tidak sepenuhnya mengerti apa itu cinta, Mas,” lanjutnya pelan. “Aku menikah dengan Mas bukan karena aku sudah jatuh cinta. Tapi karena aku percaya pada proses. Pada niat baik. Dan pada Allah.”
Farhan menatapnya dalam-dalam.
“Aku tidak akan menuntut apa pun dari Mas,” kata Kinara lagi. “Aku tidak mau memaksa Mas untuk mencintaiku. Kalau Mas butuh waktu, aku akan menunggu. Selama Mas mau berjalan dan melalui semuanya bersamaku.”
Keheningan kembali tercipta. Keheningan yang canggung dan rapuh. Keduanya sama-sama tidak tahu harus berkata apa lagi.
Farhan mengangguk pelan. Dadanya terasa sedikit lebih ringan saat istrinya itu bisa mengerti keadaannya.
“Terima kasih,” ucapnya lirih yang membuat
Kinara tersenyum.
“Sama-sama, Mas. Kalau begitu aku mau ganti baju dulu, sekalian melakukan sholat isya. Kalau mas nggak keberatan, maukah mas sholat isya berjamaah bersamaku dan menjadi imam sholat buatku?" Tanya Kinara dengan penuh harap.
Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Farhan tidak langsung menatap Kinara. Rahangnya mengeras, sudut bibirnya tertarik sedikit sebelum akhirnya membentuk senyum tipis yang pahit, nyaris sinis.
Sholat.
Kata itu terasa asing di lidahnya. Bahkan terdengar seperti lelucon yang tidak lucu.
“Sholat…?” ulang Farhan pelan, nyaris berbisik, namun ada nada getir yang jelas terdengar.
Kinara menangkap perubahan itu. Senyumnya perlahan memudar. Ia bisa melihat tatapan Farhan yang meredup, ekspresi wajahnya yang mengeras seperti tembok yang kembali tercipta setelah sempat runtuh sebentar.
Farhan akhirnya mengangkat wajahnya. Senyum sinis itu masih tertinggal, membuat dada Kinara terasa sedikit sesak.
“Kamu serius mau minta aku jadi imam?” tanya Farhan, suaranya datar tapi sarat dengan sesuatu yang gelap. “Untuk kamu?”
Kinara mengangguk pelan.
“Iya, Mas. Kalau Mas berkenan.”
Farhan tertawa kecil. Tawa pendek yang tidak mengandung bahagia sedikit pun.
“Kamu tahu nggak, Kinara,” katanya pelan, langkahnya menjauh sedikit, “aku bahkan sudah lama nggak yakin Tuhan itu masih peduli sama aku.”
Kalimat itu keluar begitu saja dan membuat Kinara terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia tidak menyela. Ia tahu, Farhan sedang membuka sesuatu yang sangat dalam, sesuatu yang selama ini ia kubur rapat-rapat.
“Aku nggak bisa.” lanjut Farhan yang kali ini terdengar lebih tegas yang membuat Kinara mengangkat wajahnya.
“Mas—”
“Aku tidak percaya pada Tuhan.” potong Farhan dengan cepat. Ia menghembuskan napas panjang, seolah dadanya terlalu sesak untuk menampung semua yang ingin ia keluarkan.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/