Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 - Pacar Khayalan
Tanpa diduga, mata Rangga dan Astrid bertemu. Pandangan itu hanya berlangsung beberapa detik, namun terasa jauh lebih lama bagi Rangga. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu, bukan sekadar penasaran, melainkan keterkejutan yang begitu jelas. Astrid membulatkan matanya, seolah baru saja melihat sesuatu yang tak pernah ia sangka akan ia temui di tempat itu.
Ekspresi wajahnya berubah cepat. Dari terkejut, lalu terpana, lalu seperti ingin memastikan sesuatu. Rangga sendiri refleks menegakkan tubuhnya, alisnya sedikit berkerut. Ia yakin dirinya tidak salah lihat. Astrid benar-benar sedang menatapnya dengan intens, tanpa berkedip.
“Astrid, kamu bisa duduk sama Utami di belakang ya,” kata Bu Wati dengan nada tegas namun ramah.
Namun Astrid tidak segera menjawab. Tubuhnya masih mematung di tempat semula. Matanya masih terpaku ke arah Rangga, seolah suara Bu Wati sama sekali tidak terdengar olehnya.
“Astrid? Astrid!” panggil Bu Wati lagi, kali ini sedikit lebih keras.
“Eh iya, Bu,” sahut Astrid akhirnya. Ia tersadar seperti orang yang baru terbangun dari lamunan. Dengan sedikit kikuk, ia melangkah menuju bangku yang ditunjuk dan duduk di samping Utami.
Rangga menarik napas pelan. Dadanya terasa sedikit sesak, entah kenapa. Ia mencoba mengalihkan perhatian ke buku di mejanya, tapi pikirannya masih tertinggal pada tatapan Astrid barusan.
“Ga, tadi kayaknya dia lihat ke arahmu deh,” bisik Ifan sambil menyenggol lengan Rangga.
“Terus kenapa?” jawab Rangga datar, pura-pura tak peduli.
Ifan menyeringai. “Aneh lah. Kau kenal dia ya? Kenal cewek cantik kok nggak pernah bilang.”
“Kenal apaan! Enggak kok,” bantah Rangga cepat. “Baru kali ini aku ketemu dia.”
Tak lama, Junaidi ikut menoleh ke belakang. Ia ikut menyimak situasi. “Kayaknya anak baru itu tadi terpaku ke arah Rangga,” imbuhnya pelan.
“Nah tuh,” sahut Ifan cepat. “Junai aja sadar. Dia kayak kenal gitu kan sama Rangga?”
“Iya!” Junaidi mengangguk mantap. “Kau kenal dia, Ga?”
Rangga berdecak kesal. “Ck. Sudah kubilang enggak! Kita tiap hari bareng kok. Kalian tahu aku nggak pernah punya kenalan cewek. Apalagi dari kota,” jelasnya dengan nada defensif.
“Benar juga sih,” gumam Ifan akhirnya. Ia tak bisa membantah logika Rangga.
“Tapi dia terus lirik ke arahmu loh,” ujar Junaidi sambil menunjuk ke arah belakang menggunakan bibirnya.
Rangga dan Ifan refleks menoleh. Benar saja, Astrid sedang menatap ke arah Rangga lagi. Tatapan itu terang-terangan, tanpa usaha untuk disembunyikan. Saat mata mereka kembali bertemu, Astrid justru tersenyum lebar. Bahkan, gadis itu mengangkat tangannya dan melambaikannya pelan.
Mata Rangga langsung terbelalak. Ia spontan memalingkan wajah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Reaksi Rangga yang kaku itu justru membuat Junaidi dan Ifan semakin heboh.
“Woi! Dia senyum!” bisik Ifan bersemangat.
Junaidi bahkan ikut melambaikan tangan, disusul Ifan yang ikut-ikutan menyapa. Astrid menanggapi mereka dengan senyum tipis, lalu kembali menatap Rangga sekali lagi sebelum akhirnya menghadap ke depan.
Rangga menelan ludah. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.
Saat bel istirahat berbunyi, suasana kelas langsung berubah riuh. Beberapa murid berdiri, sebagian lain keluar kelas. Rangga baru saja berdiri dari kursinya ketika Astrid tiba-tiba menghampirinya. Gadis itu berjalan lurus, mengabaikan semua orang di sekitarnya, termasuk Junaidi dan Ifan yang berdiri tepat di samping Rangga.
“Hei, aku Astrid!” sapa gadis itu ceria.
Rangga tersenyum singkat, senyum formal yang terasa kaku. “Sudah tahu,” jawabnya. “Apa kau mengenalku? Lagaknya kayak sudah kenal.”
“Enggak,” sahut Astrid santai. “Tapi aku sekarang ingin kenalan.”
Rangga mengangkat alis. Belum sempat ia menanggapi, Astrid melanjutkan dengan ekspresi penuh semangat, “Kamu itu mirip banget sama pacar khayalanku. Sumpah!”
Sambil berkata begitu, Astrid mendekatkan wajahnya ke wajah Rangga. Jarak mereka kini hanya terpaut beberapa inci. Rangga bisa melihat dengan jelas wajah Astrid, kulitnya bersih, matanya berbinar, dan senyumnya begitu percaya diri. Bibir mereka tampak nyaris bersentuhan.
“Pacar khayalan?” Rangga refleks menghindar. Ia melangkah mundur setengah langkah, dahinya berkerut tajam.
Astrid mengangguk girang. “Persis! Rambut cepak, badan atletis, dan tampan,” katanya tanpa ragu. Dengan begitu santainya, ia menekan-nekan bahu Rangga, seolah sedang memastikan kekuatan dan kebugaran tubuh lelaki itu.
Rangga semakin tidak nyaman. “Kau aneh,” katanya dingin. “Menjauhlah dariku.”
Dia lalu menoleh ke arah kedua sahabatnya. “Ayo, Fan, Nai. Kita ke kantin!” ajaknya sambil berjalan lebih dulu.
Junaidi dan Ifan sempat menoleh ke Astrid, lalu menyusul Rangga dengan wajah penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, Astrid sama sekali tidak terlihat tersinggung. Ia malah tersenyum lebih lebar dan bergumam pelan, “Oh… mode kulkas dua pintu. Menarik.”
Hari itu, Rangga benar-benar berusaha menghindari Astrid. Dia merasa sikap gadis itu terlalu blak-blakan dan tatapannya membuatnya tidak nyaman. Ia bahkan secara tegas meminta Junaidi dan Ifan untuk tidak membicarakan Astrid di hadapannya.
Untungnya, Astrid tidak mencoba menempel terus-menerus. Ia hanya menatap Rangga dari kejauhan, kadang terlalu terang-terangan. Namun di hari pertama pindah sekolahnya saja, hampir semua orang sudah tahu satu hal—cowok yang menjadi gebetan Astrid adalah Rangga.
Ketika bel pulang berbunyi, Rangga merasa sangat lega. Ia segera berkemas dan keluar kelas. Ada satu hal yang membuatnya sedikit tenang, dia akan pulang dan bertemu Dita di rumah. Entah kenapa, keberadaan kakak iparnya itu selalu memberi rasa nyaman tersendiri.
Setibanya di rumah, Rangga langsung melihat Dita sedang mengambil jemuran di samping rumah. Tumpukan pakaian terlihat cukup banyak. Tanah di sekitar tempat jemuran tampak gelap dan licin karena dipenuhi lumut.
“Baru datang, Dek,” sapa Dita ramah sambil tersenyum.
“Biar aku bantu, Kak,” ujar Rangga cepat. “Hati-hati tanahnya licin.”
Ia bergegas mendekat. Namun bukannya membantu dengan aman, kakinya justru terpeleset.
Buk!
“Aduhhh!” rintih Rangga. Bokong dan punggungnya menghantam tanah dengan cukup keras.
“Rangga!” Dita langsung panik. Ia meletakkan pakaian yang diambilnya ke dalam ember, lalu berlari kecil menghampiri Rangga. “Ya ampun!”
Ia membantu Rangga berdiri. “Seragammu jadi kotor. Sakit ya?”
“Sakit,” jawab Rangga jujur sambil meringis.
“Kakak panggilkan tukang urut ya,” tawar Dita khawatir.
“Nggak usah, Kak. Aku nggak apa-apa,” kata Rangga, memaksakan diri berdiri tegak meski wajahnya jelas menahan nyeri.
“Nggak apa-apa kok wajahnya meringis gitu,” ujar Dita, nadanya berubah sedikit tegas. “Ya udah, ke kamar gih!”
Rangga mengangguk patuh. Ia agak takut melihat Dita marah, meski kemarahan itu jelas dilandasi kekhawatiran.
Di kamar, Rangga berganti pakaian. Dia melepas seragamnya hingga menyisakan celana pendek. Saat itulah pintu kamar terbuka dan Dita masuk.
“Kak Dita!” Rangga kaget bukan main. Ia refleks menutupi tubuhnya dengan tangan.
“Jangan lebay kamu,” ujar Dita santai. “Sini. Biar Kakak aja yang pijitin kamu.”
“Hah?” Rangga semakin terkejut. “Kak Dita yang pijitin?”
Jantungnya berdegup kencang, pikirannya mendadak kacau, sementara Dita tetap berdiri di sana dengan ekspresi tenang, seolah apa yang ia katakan barusan adalah hal yang sepenuhnya biasa.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari